DESA SENDI DULU DITENDANG KINI DISAYANG ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

DESA SENDI DULU DITENDANG KINI DISAYANG

-

Baca Juga




Pemandangan Alam Pegunungan Desa Sendi Mojokerto Jawa Timur







KLAIM
PARA PENJARAH





Sendi
adalah nama sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Welirang. Desa Sendi telah
ada jauh sebelum kemunculan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Desa yang
terletak di ketinggian ± 800 mdpl ini merupakan wilayah subur yang dikelilingi
oleh potensi alam berupa sumber mata air dan kawasan hutan. Keanekaragaman
hayati dalam kawasan hutan tersebut membuat masyarakat di Desa Sendi
menggantungkan kehidupan mereka dari hasil pertanian, hutan, serta mencari kayu
bakar dan rumput. Dari sinilah, keharmonisan hubungan masyarakat Desa Sendi
dengan alam sekitarnya tercipta.





Keharmonisan
ini bertahan sampai kedatangan pemerintah Hindia-Belanda ke Desa Sendi. Melalui
Boschweezen (Jawatan Kehutanan Belanda), pemerintah Hindia-Belanda kemudian
merampas seluruh tanah Desa Sendi dan menjadikannya sebagai perkebunan serai.
Proses perampasan tanah tersebut dengan menggunakan dalih tukar menukar dan
ganti rugi.





Hal
tersebut dibuktikan dengan berita acara No. 3 tahun 1932 tanggal 10 Oktober
1932 tentang tukar menukar (ruislag) dan ganti rugi dari warga Desa Sendi,
Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto kepada Boschweezen, dengan luas tanah yang
dibebaskan adalah seluas 762,9 Ha, khusus untuk Desa Sendi adalah seluas 72,55
Ha. Kemudian berdasarkan Berita Acara Tata Batas tanggal 27 Maret 1935
ditetapkan bahwa Desa Sendi menjadi Kawasan Hutan Pegunungan Anjasmoro dan
disahkan pada tanggal 23 Agustus 1935 oleh Inspektur Kepala Jawatan Kehutanan
Belanda di Bogor.





Masa
Perampasan


Sebenarnya,
di tahun 1915, secara de jure pemerintah Hindia-Belanda telah mengakui
keberadaan Desa Sendi dengan nama resmi Gouvernement Oost-Java Residente
Soerabaia, Regentschap Modjokerto, District Djaboeng, Desa Sendi Oorspronkelijk
Opgenomen 1915. Susunan perangkat desa yang dibentuk saat itu berupa Kepala
Desa, Carik, Kepetengan, dan Kebayan. Masing-masing perangkat diberikan tanah
ganjaran sebagai kompensasi gaji atas jabatan mereka.









Namun
di tahun 1932, Boschweezen melakukan pengklaiman atas seluruh tanah Desa Sendi
dengan menggunakan dalih tukar menukar dan ganti rugi. Proses pengklaiman
tersebut dilakukan dengan cara menekan dan mengintimidasi warga Desa Sendi
untuk segera menyerahkan seluruh tanah mereka. Pemerintah Hindia-Belanda
sendiri berkepentingan untuk menjadikan kawasan Desa Sendi sebagai perkebunan
serai. Tidak terjadi tukar menukar dan ganti rugi, karena memang faktanya warga
Desa Sendi tidak mendapatkan tanah atau ganti rugi lainnya dalam bentuk apapun.





Kemudian
di tahun 1935, pemerintah Hindia-Belanda menetapkan wilayah Desa Sendi sebagai
kawasan hutan. Dengan penetapan tersebut, seluruh warga Desa Sendi diusir oleh
Belanda untuk keluar dari kawasan hutan (yang sebelumnya adalah rumah warga
sendiri). Para warga pun mengungsi ke dusun yang berada di bawah Desa Sendi.
Pengungsian mereka terjadi sampai masa kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.





Pada
masa Agresi Militer II (tahun 1948-1949), Desa Sendi menjadi markas pejuang
gerilya dari Kesatuan Bn 42 Diponegoro dan Bn 19 Merak, juga kesatuan-kesatuan
lainnya. Pihak Belanda pun akhirnya mengetahui Desa Sendi dijadikan sebagai
markas para pejuang. Kemudian Belanda membombardir desa ini, baik dari darat
(dari arah utara) juga serangan dari udara. Situasi pertempuran tersebut pada
akhirnya menjadikan warga Desa Sendi kembali mengungsi untuk menyelamatkan
diri.





Beberapa
diantara mereka mengungsi ke selatan (Batu) dan kebanyakan mengungsi ke utara
(Dusun Ngeprih). Rumah-rumah yang tidak terkena bom Belanda, dibakar oleh
tentara penjajah. Melihat desanya luluh lantak, para warga Desa Sendi enggan
untuk kembali ke desanya. Segala urusan administrasi Desa Sendi pun dititipkan
ke Desa Pacet.





Masa
Pengklaiman


Setelah
Agresi Militer II, wilayah Desa Sendi diklaim oleh Perhutani KPH Pasuruan
sebagai kawasan hutan. Dasar pengklaiman yang digunakan oleh Perhutani adalah
berita acara No. 1 tahun 1931 tanggal 21 November 1931 tentang pemberian ganti
rugi dan berita acara No. 3 tahun 1932 tanggal 10 Oktober 1932 tentang tukar
menukar dan ganti rugi dari warga Desa Sendi, Kecamatan Pacet, Kabupaten
Mojokerto kepada Boschweezen. Klaim yang digunakan Perhutani tersebut
diberlakukan sampai sekarang.









Sejak
penetapan oleh Perhutani tersebut, Desa Sendi dihilangkan dari wilayah
administratif Kabupaten Mojokerto. Warga Desa Sendi pun mempertanyakan mengapa
dasar yang digunakan Perhutani adalah dasar hukum Belanda yang sarat dengan
unsur-unsur penjajahan. Namun, pertanyaan mereka tidak mendapatkan respon dari
Negara. Sejak saat itu pula, ditambah situasi negara masa Orde Baru yang sangat
represif, warga Desa Sendi bermukim di dusun tempat pengungsian mereka sampai
masa reformasi 1998.





Masa
Reclaiming


Masa
reformasi 1998 adalah suatu masa dimana warga Desa Sendi kembali melakukan
pendudukan (reclaiming) atas tanah Desa Sendi. Saat itu memang reclaiming
terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa Timur yang memiliki pengalaman sejarah
yang sama dengan Desa Sendi. Reclaiming tersebut terjadi bukan karena warga
yang lapar tanah, namun karena warga ingin merebut kembali hak-hak mereka yang
dirampas.





Warga
yang melakukan reclaiming tergabung dalam satu organisasi rakyat bernama Forum
Perjuangan Rakyat (FPR). Awalnya, FPR adalah kelompok tani Dusun Ngeprih yang
aktif dalam membuat pupuk dan pestisida organik. Bentuk gerakan ini kemudian
berkembang menjadi gerakan tani yang ditujukan untuk merebut kembali hak-hak
petani atas tanah di Desa Sendi yang diklaim oleh Perhutani. Anggota FPR memang
adalah para ahli waris warga Desa Sendi.





Perjuangan
yang dilakukan FPR bukannya tanpa bukti. FPR memiliki bukti sejarah berupa
makam leluhur warga Sendi yang masih terawat, meskipun setelah dijadikan medan
pertempuran. Mereka juga memiliki saksi hidup yang bisa menceritakan secara
jelas kronologis sejarah Desa Sendi. Bukti lain yang dimiliki oleh FPR adalah
surat-surat pajak tanah dan peta desa yang dibuat oleh Belanda.





Lahan
yang saat ini diduduki oleh FPR seluas kurang lebih 200 Ha. Komposisi tata guna
lahan yang berhasil diduduki adalah 10% digunakan untuk pemukiman, 40%
difungsikan untuk hutan desa, sedangkan 50% sisanya untuk perkebunan yang
dikelola dengan konsep agroforestry. Hutan desa tersebut dimaksudkan sebagai
hutan resapan atau konservasi dengan kemiringan lahan sekitar 40 derajat. Yang
patut dicatat adalah salah satu komitmen yang mereka bangun dalam melestarikan
hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Salah satunya adalah konsep
agroforestry-nya untuk lahan pertanian, serta green village untuk lahan
pemukiman. Kedua konsep ini menurut FPR adalah untuk mengembalikan hutan
sebagaimana mestinya.





Berdaulat
Tanpa Merusak


Visi
ekologis FPR yang menitikberatkan pada pelestarian lingkungan ini membuka
pemahaman bersama bahwa tidak hanya Perhutani saja yang mampu menjaga fungsi
ekologis suatu wilayah. Rakyat pun bisa memainkan peran dan fungsi ekologis di
suatu wilayah, tentunya dengan demokratisasi dan kedaulatan rakyat dalam
pengelolaan sumber daya alam. Dalam hal ini, kedaulatan rakyat atas
sumber-sumber agraria menjadi kunci terwujudnya keadilan sosial.









Sebelumya,
lahan Desa Sendi yang merupakan kawasan hutan produksi pinus yang dikelola oleh
KPH Pasuruan tersebut sudah gundul karena ditebang oleh Perhutani. Kemudian FPR
menanami kawasan tersebut dengan tumbuhan buah-buahan. tumbuhan yang ditanam
oleh FPR bukanlah tumbuhan yang manfaatnya berupa kayu, akan tetapi
buah-buahan. Dengan begitu, pohon yang ditanam tidak akan ditebang dalam waktu
yang sangat lama karena yang diambil manfaatnya bukan berupa kayu, akan tetapi
buahnya.





Perhutani
kerap menggunakan alasan wilayah hutan di Jawa sudah berada di bawah angka 30%.
Alasan ekologis yang cukup kuat bagi Perhutani untuk tidak melepaskan wilayah
kuasanya. Namun, ketika melihat fakta sosial saat ini di Desa Sendi, alasan
tersebut tentu menjadi lemah. Faktanya, rakyat lebih mampu menjaga fungsi
ekologis suatu kawasan tanpa harus merusak ekosistem di kawasan tersebut.





 Penulis ; Adib Dian Mahmudi (Kordinator
Wilayah KPA Jawa Timur)


Mungkin Juga Menarik × +
VIDEOS
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode