Bayang-Bayang Pilkada di Ruang Sidang
-Baca Juga
Udara di ruang sidang Cakra, Pengadilan Negeri Mojokerto, terasa dingin dan menegangkan. Di tengah hiruk pikuk kampanye Pilkada Serentak 2024, Edo Yudha Astira, Kepala Desa Randuharjo, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur duduk di kursi pesakitan. Wajahnya pucat, matanya menatap kosong ke depan.
Edo, pria berusia 35 tahun itu, kini menghadapi dakwaan atas dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada Kabupaten Mojokerto. Ia didakwa melanggar Pasal 188 Jo Pasal 71 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang melarang pejabat negara, termasuk kepala desa, untuk melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Kades Randuharjo Kecamatan Pungging Kabupaten MojokertoSidang perdana, yang digelar pada Selasa, 26 November 2024, diawali dengan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ari Budiarti. Ari dengan tegas menjabarkan bukti-bukti yang memberatkan Edo, terutama dua video yang diunggah di akun TikTok @Kadesjapanesse99.
Dalam video pertama, Edo terlihat mengenakan kaos berlogo pasangan calon yang didukungnya, dengan senyum lebar dan jari telunjuk teracung sebagai tanda nomor urut pasangan calon tersebut. Video kedua, yang lebih kontroversial, memperlihatkan Edo duduk di meja dengan tumpukan uang tunai. Ketika ditanya tentang uang tersebut, Edo menjawab bahwa uang itu untuk kebutuhan kampanye pasangan calon yang didukungnya dan akan disebarkan ke masyarakat di beberapa daerah.
"Insya Allah, pasangan calon yang saya dukung akan menang dalam Pilbup Mojokerto satu putaran," tegas Edo dalam video tersebut.
Pernyataan Edo itu menjadi pemicu laporan ke Bawaslu Kabupaten Mojokerto. Dugaan pelanggaran netralitas yang dilakukan seorang kepala desa, yang seharusnya menjadi panutan dan menjaga netralitas, mengundang kecaman dari berbagai pihak.
Di ruang sidang, Edo hanya terdiam, tidak mengajukan keberatan atas dakwaan. Ketua Majelis Hakim, Fransiskus Wilfrirdus Mamo, menetapkan sidang akan berlangsung selama tujuh hari kerja. Saksi-saksi dan ahli akan dihadirkan untuk mengungkap kebenaran.
"Sidang selanjutnya akan meliputi pembacaan tuntutan, pledoi pembelaan, hingga putusan," ujar Hakim Mamo.
Di luar ruang sidang, Nala Arjhunto, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Mojokerto, menyatakan bahwa terdakwa terancam hukuman penjara minimal satu bulan dan maksimal enam bulan, serta denda minimal Rp600.000 dan maksimal Rp6 juta.
Kisah Edo Yudha Astira menjadi cerminan dari realitas Pilkada di Indonesia. Di tengah semangat demokrasi, masih ada oknum yang tergoda untuk memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, bahwa netralitas dan integritas harus dijaga dalam setiap tahapan Pemilu.
Bayang-bayang Pilkada di ruang sidang Cakra, Pengadilan Negeri Mojokerto, menjadi pengingat bahwa setiap tindakan, setiap ucapan, memiliki konsekuensi. Edo Yudha Astira, yang dulunya dikenal sebagai kepala desa, kini harus menghadapi proses hukum, dan masa depannya tergantung pada keputusan majelis hakim.
Tentang Pasal 188 yang disebutkan dalam kasus ini. Membahas kasus dugaan pelanggaran netralitas oknum Kepala Desa (Kades) di Kecamatan Pungging, Edo Yudha Astira (35) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Dalam kasus ini, Pasal 188 UU RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati dan Pemilihan Wali Kota menjadi UU Jo Pasal 71 (1) UU RI Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati dan Pemilihan Wali Kota menjadi UU Jo Pasal 64 (1) digunakan sebagai dasar dakwaan.
Pasal ini mengatur tentang tindakan pejabat negara, pejabat pemerintah, aparatur sipil negara, TNI/Polri, Kepala Desa/Lurah atau sebutan lainnya yang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Ancaman hukumannya adalah maksimal 6 bulan penjara.
Dalam kasus ini, Kades Edo Yudha Astira diduga melakukan tindakan yang merugikan salah satu pasangan calon dalam Pilkada. Namun, karena ancaman hukumannya tidak lebih dari 6 bulan, maka berdasarkan KUHAP, penahanan tidak dapat dilakukan.
Penting untuk dicatat bahwa Pasal 188 KUHAP yang disebutkan terkait dengan penilaian kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dan bukan Pasal 188 UU Pilkada yang disebutkan dalam kasus ini.
Meskipun demikian, bahwa Pasal 188 memiliki peran penting dalam proses hukum di Indonesia, baik dalam konteks pelanggaran netralitas dalam Pilkada maupun dalam penilaian kekuatan pembuktian.
Penulis DION
Editor DJOSE