Kades Dangdut: Tarian Kepala Desa Mojokerto Picu Kontroversi Pemilu ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

Kades Dangdut: Tarian Kepala Desa Mojokerto Picu Kontroversi Pemilu

-

Baca Juga


Sebuah kejadian baru-baru ini yang melibatkan seorang kepala desa dari Desa Baureno, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah memicu kontroversi dan menarik perhatian Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) setempat. Kepala desa tersebut, yang dikenal dengan kecintaannya pada musik dangdut, mendapati dirinya berada di tengah perdebatan setelah terlihat menari di atas panggung selama acara kampanye untuk Paslon 02, MUBAROK.
Meskipun tindakan kepala desa tersebut murni didorong oleh kecintaannya pada dangdut, tim lawan dari Paslon 02 MUBAROK menuduh bahwa tarian kepala desa tersebut merupakan pelanggaran terhadap undang-undang pemilu terkait netralitas. Video yang beredar di media sosial menunjukkan kepala desa tersebut menari dengan antusias di atas panggung tanpa simbol atau dukungan yang terlihat untuk para calon.

Penampilannya yang energik, mengingatkan pada gerakan ikonik Michael Jackson, digambarkan sebagai ekspresi spontan dari kegembiraan, yang dipicu oleh kecintaannya pada musik dangdut. Kepala desa, yang dikenal dengan gaya flamboyan-nya, terlihat mengenakan topi koboi dan penampilan yang rapi, menambah kemegahan pertunjukan.

Terlepas dari tuduhan tersebut, kepala desa bersikeras bahwa tindakannya murni bersifat pribadi dan tidak dimaksudkan sebagai bentuk partisipasi kampanye. Dia telah berulang kali menyatakan bahwa kecintaannya pada musik dangdut memaksanya untuk menari setiap kali dia mendengarnya, terlepas dari konteksnya. Kecintaannya pada genre ini telah menjadi sifat seumur hidupnya, dengan dia secara teratur menghadiri pertunjukan dangdut dan bahkan sawer uang kepada para sang penyanyi.

Bawaslu telah mengkonfirmasi penerimaan pengaduan terkait tarian kepala desa tersebut, dan kasus ini sedang dalam penyelidikan. Meskipun tindakan kepala desa tersebut mungkin tidak memenuhi syarat sebagai keterlibatan langsung dalam kampanye, Bawaslu sedang memeriksa apakah kehadirannya di acara tersebut dan penampilannya yang antusias merupakan pelanggaran netralitas yang diharapkan dari seorang kepala desa selama masa tahapan pemilihan.

Kejadian ini menimbulkan pertanyaan tentang batasan netralitas bagi pejabat publik selama pemilihan umum. Meskipun tindakan kepala desa tersebut mungkin didorong oleh kesenangan pribadi, potensi kesalahan interpretasi dan persepsi bias tidak dapat diabaikan. Kasus ini berfungsi sebagai pengingat pentingnya menjaga netralitas dan menghindari tindakan apa pun yang dapat ditafsirkan sebagai partisan selama kampanye pemilihan umum.

Aturan khusus di Indonesia yang mengatur perilaku kepala desa selama kampanye politik. Aturan ini tertuang dalam Pasal 51 UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Pasal 51 huruf j UU Desa secara tegas melarang perangkat desa, termasuk kepala desa, untuk "ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah."  Hal ini berarti kepala desa diharuskan untuk bersikap netral dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan kampanye yang mendukung atau menentang calon tertentu.

Selain itu, Pasal 51 huruf c UU Desa juga melarang perangkat desa untuk "menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya."   Ini berarti kepala desa tidak boleh menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi atau menguntungkan calon tertentu selama kampanye.

Aturan ini bertujuan untuk menjaga netralitas kepala desa dan perangkat desa lainnya selama proses pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Hal ini penting untuk memastikan bahwa proses pemilihan berjalan dengan adil dan demokratis.

Jika kepala desa melanggar aturan netralitas selama kampanye politik, mereka dapat menghadapi berbagai konsekuensi, baik administratif maupun pidana. Kemungkinan yang dapat terjadi: Teguran Lisan dan/atau Teguran Tertulis:  Ini merupakan sanksi ringan yang diberikan sebagai peringatan pertama atas pelanggaran yang dilakukan.

Pemberhentian Sementara:  Dalam kasus pelanggaran yang lebih serius, kepala desa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. Hal ini biasanya dilakukan sebagai tindakan pencegahan sementara sambil menunggu proses investigasi dan pengambilan keputusan lebih lanjut.

Pemberhentian Tetap:  Jika terbukti melanggar aturan dan terbukti bahwa pelanggaran tersebut dilakukan dengan sengaja, kepala desa dapat diberhentikan secara tetap dari jabatannya.

Sanksi Pidana: Pidana Penjara:  Dalam kasus pelanggaran yang dianggap sebagai tindak pidana pemilu, kepala desa dapat dikenai hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Denda:  Selain hukuman penjara, kepala desa juga dapat dikenai denda paling banyak Rp 12 juta.

Proses Penegakan Hukum: Pengaduan:  masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pengaduan kepada Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) atau pihak berwenang lainnya.

Investigasi:  Bawaslu atau pihak berwenang akan melakukan investigasi untuk menyelidiki kebenaran laporan dan mengumpulkan bukti-bukti.

Sidang Etik:  Dalam beberapa kasus, kepala desa dapat diadili dalam sidang etik untuk menentukan tingkat kesalahannya.

Proses Peradilan:  Jika terbukti melakukan pelanggaran pidana, kepala desa dapat diadili di pengadilan dan dijatuhi hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penting untuk dicatat bahwa: Sanksi yang diberikan akan tergantung pada tingkat keparahan pelanggaran dan bukti yang ditemukan.

Keputusan akhir mengenai sanksi akan diambil oleh pihak berwenang yang berwenang, seperti Bawaslu, Inspektorat, atau pengadilan.

Kepala desa memiliki tanggung jawab untuk menjaga netralitas selama kampanye politik. Pelanggaran aturan dapat berakibat serius, termasuk sanksi administratif dan pidana. Hal ini penting untuk diingat agar proses pemilihan umum dapat berjalan dengan adil dan demokratis.


Penulis DION 

Editor DJOSE 

Mungkin Juga Menarik × +
VIDEOS
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode