Kasus Eksekusi Rumah Saiful Bakri di Mojokerto: Ketidakadilan Hukum ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

Kasus Eksekusi Rumah Saiful Bakri di Mojokerto: Ketidakadilan Hukum

-

Baca Juga

Saiful Bahri warga Dusun Pandansili Desa Wonorejo Kecamatan Trowulan kabupaten Mojokerto Jawa Timur didampingi Kuasa Hukumnya Sri Wahyu Jatmika,S.H. M.H dari Surabaya 


Kasus Saiful Bakri, warga Dusun Pandansili, Desa Wonorejo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, menyoroti celah dan potensi ketidakadilan dalam sistem peradilan Indonesia.  Saiful, yang membeli sebuah rumah seharga Rp 250 juta pada tahun 2021, kini menghadapi eksekusi paksa atas propertinya, meskipun ia sama sekali tidak terlibat dalam sengketa hukum yang mendasarinya.  Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kepastian hukum dan perlindungan hak warga negara.

Saiful, yang didampingi kuasa hukumnya, Rahadi Sri Wahyu Jatmika, S.H., M.H.,  mengajukan perlawanan eksekusi (derden verzet) ke Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto.  Ia berargumen bahwa kepemilikan rumahnya sah secara hukum, tercatat di hadapan notaris, dan diperoleh jauh sebelum sengketa tanah yang menjadi dasar eksekusi tersebut terdaftar di PN Mojokerto pada tahun 2023.  Ketidakhadiran Saiful dalam proses hukum sebelumnya menjadi inti permasalahan.  Seperti yang diungkapkan oleh kuasa hukumnya, "Klien kami tidak pernah menjadi pihak dalam perkara sebelumnya, tetapi tiba-tiba harus menerima dampak dari eksekusi ini. Hal ini jelas merugikan dan bertentangan dengan aturan hukum serta asas keadilan."

Salah satu poin krusial yang diangkat oleh Rahadi adalah kejanggalan dalam amar putusan perkara nomor empat yang menjadi dasar eksekusi.  Putusan tersebut dinilai tidak mencantumkan alamat lengkap objek sengketa,  menimbulkan ketidakpastian hukum dan potensi multitafsir.  "Dalam amar putusan perkara nomor empat, objek eksekusi tidak dicantumkan alamat lengkapnya, dan batas-batas objeknya sehingga seharusnya PN Mojokerto tidak dapat mengabulkan eksekusi tersebut," tegas Rahadi.  Ketidakjelasan ini menjadi landasan kuat bagi pengajuan perlawanan eksekusi.

Lebih lanjut, Rahadi menekankan bahwa Saiful telah memiliki objek sengketa sejak tahun 2021 melalui akta jual beli yang sah.  Kepemilikan ini didokumentasikan dengan baik dan jauh mendahului gugatan yang diajukan di PN Mojokerto pada tahun 2023.  Ketiadaan upaya untuk melibatkan Saiful dalam proses hukum sebelumnya memperkuat argumen tentang ketidakadilan yang dialaminya.  Rahadi berharap PN Mojokerto membatalkan eksekusi yang telah dijadwalkan, karena bertentangan dengan hukum acara perdata.  Ia berpendapat bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan jika objek dalam amar putusan tidak jelas dan jika pihak yang berkepentingan tidak dilibatkan secara adil dalam proses hukum.  "Pengadilan wajib mematuhi tata cara dan prosedur yang berlaku. Jika objek dalam amar putusan tidak jelas, maka eksekusi seharusnya tidak dapat dilanjutkan,"  pungkasnya.

Pihak PN Mojokerto, melalui Humas Tri Sugondo, S.H., M.H., telah membenarkan penerimaan perkara bantahan No. 25 Pdt/Pdh PN Mojokerto.  Sidang pertama dijadwalkan pada 5 Maret 2025.  Meskipun demikian,  Tri Sugondo menjelaskan bahwa proses eksekusi akan menunggu hasil persidangan, namun kewenangan eksekusi tetap berada di tangan Ketua Pengadilan.

Kasus Saiful Bakri menjadi sorotan penting tentang pentingnya kepastian hukum dan perlindungan hak warga negara.  Ketidakjelasan dalam amar putusan dan ketiadaan keterlibatan pihak yang berkepentingan dalam proses hukum sebelumnya menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan keadilan sistem peradilan.  Hasil dari sidang pada 5 Maret 2025 akan menjadi penentu apakah keadilan akan ditegakkan dalam kasus ini dan apakah celah hukum yang terungkap akan mendapatkan perhatian serius untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.


Writer : Riendr 

Editorial : Van Gan

Mungkin Juga Menarik × +
VIDEOS
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode