Brahu Bukan Candi: Tafsir Ulang Jejak Kekuasaan dan Penghargaan Kerajaan Empu Sindok
-Baca Juga
BRAHU/WANARU di Desa Bejijong Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto Jawa Timur
Di tengah kawasan bersejarah Trowulan, Mojokerto yang diyakini sebagai ibu kota kerajaan Majapahit, berdiri sebuah bangunan bata merah yang kini dikenal sebagai Candi Brahu. Namun, sebutan "candi" mungkin tidak sepenuhnya tepat. Berdasarkan kajian arkeologi kontekstual dan tafsir kultural, Brahu lebih tepat disebut sebagai monumen politik atau bangunan penghormatan, bukan tempat peribadatan sebagaimana lazimnya candi keagamaan Hindu-Buddha.
Empu Sindok: Raja Brahmana dan Negarawan
Raja Empu Sindok adalah pendiri Wangsa Isyana yang memindahkan pusat Kerajaan Medang dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-10 M. Dalam Prasasti Turyyan (tahun 929 M) dan Prasasti Anjukladang, nama beliau disebut sebagai Rakai Hino Sri Isanawikrama Dharmottunggadewa, gelar yang sarat makna religius dan kearifan.
Alih-alih seorang penakluk militer, Empu Sindok lebih dikenal sebagai pemimpin spiritual dan pelindung hukum Dharma. Menurut arkeolog Poesponegoro dan Notosusanto (1984), Empu Sindok banyak mengeluarkan prasasti yang menetapkan tanah sima (perdikan) sebagai bentuk penghargaan terhadap masyarakat atau wilayah yang loyal dan tertib secara administratif.
Brahu: Monumen Sosial-Politik, Bukan Tempat Sembahyang (candi)
Tidak seperti Prambanan atau Borobudur yang memiliki struktur ritual lengkap, seperti garbhagriha, arca utama, dan jalur pradaksina, Brahu berdiri sunyi tanpa ikonografi keagamaan yang menonjol. Ini membuka tafsir baru bahwa bangunan tersebut mungkin adalah prasasti arsitektural yang digunakan sebagai lambang penghargaan dari kerajaan Raja Empu Sindok kepada masyarakat Trowulan.
Dalam kitab Negarakertagama (karya Mpu Prapanca, abad ke-14), dijelaskan bahwa "tanah sima" tidak hanya diberikan kepada tokoh agama, tetapi juga kepada komunitas yang menjaga stabilitas dan kesetiaan terhadap kerajaan. Brahu kemungkinan besar adalah bentuk penghargaan serupa, namun dalam bentuk bangunan monumental.
Mengapa Bangunan Seperti Brahu Masih Utuh?
Secara historis, ekspansi kekuasaan (militer) seringkali disertai penghancuran situs penting kerajaan lama. Namun, Brahu dan beberapa candi lainnya tetap utuh hingga kini. Mengapa demikian?
Karena Brahu bukan simbol keagamaan yang mengandung potensi perlawanan ideologis. Ia lebih merupakan lambang kepercayaan dan memori politik. Dalam konteks budaya Jawa kuno yang menjunjung tinggi tata krama dan penghormatan leluhur, bangunan seperti ini dibiarkan tetap berdiri sebagai saksi sejarah, bukan ancaman kekuasaan.
Arkeolog Soekmono dalam bukunya Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia menegaskan bahwa tidak semua bangunan kuno bersifat religius. Beberapa adalah bentuk penghormatan simbolik atau penanda administratif wilayah. Dengan demikian, Brahu lebih cocok dimaknai sebagai tapal batas memori antara rakyat dan raja.
Menafsir Ulang dengan Kearifan Zaman
Menyebut Brahu sebagai "candi" mungkin praktis dari sudut pariwisata, namun tafsir ini dapat menutupi makna sejatinya. Sebagaimana dikatakan sejarawan Anthony Reid, memahami sejarah lokal memerlukan pendekatan yang "melebur antara narasi besar dan pengalaman komunitas setempat".
Brahu adalah jejak kekuasaan yang penuh penghargaan. Ia bukan tempat sembahyang, tapi tanda cinta seorang raja kepada rakyatnya. Empu Sindok mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi adalah yang memuliakan, bukan menaklukkan.
Dan inilah warisan sejati dari peradaban Nusantara, bangunan yang tidak hanya kokoh dalam struktur, tapi juga dalam nilai-nilai etisnya.
Banyak orang awam langsung menyebut semua bangunan kuno peninggalan kerajaan sebagai “candi”, padahal secara budaya dan arkeologi, istilah candi punya makna yang lebih spesifik.
Berikut penjelasan ilmiah dan referensinya: Apa Itu Candi?
Menurut arkeologi dan sejarah budaya Indonesia, “candi” merujuk pada bangunan keagamaan (sakral) Hindu atau Buddha yang berfungsi sebagai tempat pemujaan, penyimpanan abu jenazah raja atau tokoh penting, dan sebagai perwujudan arsitektur religius. Istilah ini tidak dipakai untuk semua bangunan kuno.
Ciri-ciri utama bangunan yang layak disebut “candi”:
Fungsi keagamaan – sebagai tempat ibadah, tempat pemujaan arca dewa/dewi, atau penyimpanan abu jenazah (stupa).
Memiliki struktur utama (garbhagriha) – ruang pusat pemujaan di dalam bangunan.
Biasanya dihiasi relief atau arca – menggambarkan ajaran atau cerita dalam epos seperti Ramayana, Mahabharata, atau Jataka.
Arah orientasi – mengikuti kosmologi Hindu/Buddha, menghadap ke arah tertentu (sering ke timur).
Letak dan tata ruang sakral – sering dikelilingi oleh bangunan pendukung seperti perwara (candi kecil), kolam suci, atau altar.
Apa yang BUKAN Candi?
Tidak semua bangunan kuno disebut candi. Beberapa bisa berupa:
Kraton atau istana raja (contoh: situs Kraton Ratu Boko).
Bangunan administratif atau prasasti arsitektural (seperti Brahu).
Gapura monumental atau gerbang kerajaan (seperti Gapura, Wringin Lawang, Bajang Ratu).
Pemandian atau pertapaan (contoh: Candi Tikus, Petirtaan Jolotundo).
Makam raja atau tokoh lokal (terutama masa Islam – disebut “makam keramat” atau “kompleks pemakaman”)
Referensi Akademik dan Resmi:
A. Soekmono (1973), Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia: buku dasar arkeologi Indonesia. Soekmono menjelaskan fungsi dan ciri-ciri candi dalam konteks Hindu-Buddha.
B. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas): banyak publikasi mereka menjelaskan klasifikasi situs arkeologis.
C. UU No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya: membedakan antara bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya. Tidak semua bangunan kuno disebut “candi”.
Kesimpulan Populer:
Jadi setiap temuan cagar budaya zaman kerajaan, belum bisa dikatakan sebuah candi persembahyangan.
a. pakah ada bukti fungsi ritual?
b. Apakah ada arca dewa, stupa, atau ruang pemujaan?
c. Apakah struktur itu sesuai dengan kosmologi Hindu/Buddha?
Jikalau tidak ada, bisa jadi itu prasasti monumental, istana, pintu gerbang, atau bangunan penghormatan, seperti Brahu.
Cagar budaya Prambanan sangat layak disebut candi, bahkan merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia dan salah satu yang termegah di Asia Tenggara. Berikut penjelasannya:
Mengapa Prambanan disebut “candi”?
Karena Prambanan memenuhi semua kriteria utama bangunan candi dalam konteks arsitektur dan religius Hindu:
Fungsi Keagamaan:
a. Dibangun sebagai tempat pemujaan utama Trimurti (tiga dewa utama dalam Hindu): Shiva, Brahma, dan Vishnu.
b. Candi utama (Shiva Mahadeva) merupakan tempat paling suci, dilengkapi garbhagriha (ruang pemujaan) yang dulunya menyimpan arca dewa.
Struktur Ritual Lengkap:
a. Terdiri dari candi induk, candi perwara (pengiring), dan halaman konsentris sesuai konsep mandala Hindu.
b. Menghadap ke arah timur (sebagai arah suci dalam Hindu).
Arsitektur Simbolik:
Relief-relief pada dinding menggambarkan kisah Ramayana dan kehidupan para dewa Hindu.
Candi utama setinggi 47 meter, mencerminkan gunung suci Meru, tempat para dewa menurut kosmologi Hindu.
Bukti Historis dan Prasasti:
Didirikan pada masa Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya) sekitar abad ke-9 M, sebagai pernyataan kebangkitan Hindu di Jawa setelah dominasi Buddha di masa sebelumnya.
Kesimpulan:
Prambanan = Candi secara penuh dan sah, baik secara istilah arkeologis, sejarah, maupun budaya. Berbeda dengan bangunan seperti Brahu yang belum tentu memiliki fungsi ritual keagamaan, Prambanan jelas-jelas dibangun untuk tujuan sakral dan pemujaan dewa-dewa Hindu.
Bangunan yang benar-benar candi dan bangunan yang sering dikira candi padahal bukan:
Perbandingan: Candi vs Bukan Candi