"SURYO NDADARI Cahaya dari Langit Mojopahit" ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

"SURYO NDADARI Cahaya dari Langit Mojopahit"

-

Baca Juga

SURYO NDADARI: dalam bentuk cerita Silat-epik spiritual tentang kepemimpinan, pusaka leluhur, dan kebangkitan dari tanah santri. Sejarah Majapahit, dengan nuansa santri futuristik yang membumikan kisah Gus Barra sebagai titisan Suryo Ndadari.


"Langit Membelah Tanah Terik (Hutan Tarik)"
Latar hutan lebat, kabut menggulung, suara burung malam. Tampak sosok pemuda menggunakan kaos oblong putih duduk tafakur di surau pondok pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto.

“Di tanah yang pernah dibakar ambisi raja-raja, kini tumbuh kembali cahaya dari langit. Ia bukan dari istana. Ia lahir ceprot dari langgar dan surau pondok pesantren Amanatul Ummah.”

Close-up wajah pemuda itu. Wajahnya tenang, matanya tajam. Di tangannya terpegang kitab kuning dan sebilah keris tua berhiaskan ukiran kaligrafi “Nur al-Hikmah.” Muhammad AlBarra atau akrab disapa Gus Barra. Ia bukan pendekar biasa. Ia mewarisi dua warisan, Ilmu Hikmah dari leluhurnya… dan darah pemimpin dari para pendiri Majapahit.”

Raden Wijaya membuka hutan Tarik bersama pasukan Majapahit. “Dulu, di tempat ini, Raden Wijaya mendirikan Majapahit dari sisa kehancuran. Hari ini, Gus Barra membangun ulang tanah itu... dari sisa kegamangan zaman. Tampak rakyat berkumpul di balai desa, gus Barra berjalan masuk, mengenakan sarung, kaos oblong kesukaannya dan kopiah hitam, tidak membawa pedang, hanya senyum.
“Dia datang bukan membawa janji... tapi membawa harapan.” “Pemimpin ini bukan muncul dari perebutan tahta... tapi dari seruan bumi dan langit.”

“Bayangan dari Selatan”
Kabut muncul dari gunung selatan. Tampak sosok berjubah hitam, wajah tertutup topeng raksasa merah. Namanya Kiai Kelam. “Namun cahaya tak pernah tenang. Bayangan lama Majapahit bangkit kembali... Kiai Kelam, keturunan petinggi istana yang ingin membangkitkan Majapahit dengan darah, bukan cinta.”

Di dalam pendopo, Gus Barra berdiskusi dengan para pendekar muda, para santri, dan tokoh adat. 
GUS BARRA:  “Majapahit bukan harus kembali jadi kerajaan... tapi jadi peradaban. Kita bangun dengan ilmu, bukan senjata.” Kitab kuning terbuka. Tampak peta kuno Majapahit bersinar, membentuk jaringan desa modern, sawah, pesantren, dan teknologi hijau. “Inilah visi baru Majapahit: Mojopahit Baru. Tempat di mana rakyat jadi raja, dan ilmu jadi pusaka.”

“Duel di Tengah Sawah” (Sebuah pertarungan spiritual antara cahaya dan kegelapan). 
Gus Barra berhadapan dengan Kiai Kelam. Langit gelap, petir menyambar. Tapi Gus Barra hanya berdiri tenang, bersarung, tangan kosong.
KIAI KELAM:  “Dengan apa kau melawanku, Santri? Aku punya ilmu pengaburan zaman!”
GUS BARRA: “Dengan dzikir. Dengan doa para leluhur yang belum kau kenal."
Serangan Kiai Kelam membelah langit. Tapi di balik serangan itu, terdengar suara adzan dari surau. Cahaya muncul dari langit. Suryo Ndadari bersinar.
“Rembulan turun dari langit. Cahaya itu bukan hanya di langit... tapi dalam jiwa pemimpin yang tak takut gelap.”

“Takhta Bukan Tujuan”
Gus Barra duduk bersama rakyat di tepi sawah, menanam padi. Para santri membantu. Seorang anak kecil bertanya: “Gus, kau raja ya?”. GUS BARRA (tersenyum): “Bukan, Le. Aku cuma penjaga mimpi orang-orang desa. Dan itu cukup buatku.”

"Candi yang Berbisik"
Ketika rahasia pusaka Majapahit muncul di reruntuhan Trowulan…Ketika masa lalu bangkit, dan masa depan ditentukan... di bawah candi tua Trowulan.
Kabut pagi menyelimuti reruntuhan Candi Tikus di Trowulan. Suara burung gagak terdengar. Di depan candi, Gus Barra berdiri menghadap tanah, ditemani dua santri muda Kiai Satmoko dan Ning Ayu Sofia Hanna.
"Tak semua candi hanya menyimpan batu. Beberapa menyimpan bisikan leluhur." Tangan Gus Barra menyentuh batu nisan tua. Tiba-tiba sinar biru muncul dari celah batu. Sebuah bayangan holografis muncul: sosok perempuan agung berselendang merah emas. Dialah Gayatri, istri Raden Wijaya, ibu dari raja-raja Majapahit. “Wahai cucuku, di tanganmu peradaban bisa kembali menyala... atau kembali padam.” 

GUS BARRA: “Apa yang harus aku lakukan, Ibu Gayatri?” Gayatri menunjuk langit. Tampak bintang membentuk simbol bintang sembilan (logo NU) dan lambang Surya Majapahit bersinar berdampingan.

GAYATRI: “Satukan cahaya langit dan bumi. Majapahit akan bangkit... bukan dengan perang, tapi dengan cinta, ilmu, dan keseimbangan.” Tiba-tiba, dari dalam candi muncul pasukan hitam bayangan masa lalu: "Patih Halayudha Ramapati ", pasukan penghasut dan pengkhianat Majapahit yang dikutuk abadi karena keserakahan. "Namun ketika cahaya muncul, kegelapan pun bergolak kembali."

Patih Halayudha Ramapati : "Majapahit hanya milik darah biru! Bukan santri dzikir dan doa!". Pertempuran terjadi. Para santri melawan dengan ilmu hikmah dan tongkat bambu bertuliskan Asmaul Husna. Ning Ayu Sofia Hanna mengeluarkan jurus ‘Lembayung Rahmah’ sebuah pusaran doa yang melumpuhkan tanpa membunuh.
Ning Ayu Sofia Hanna: “Kita tidak akan membalas kebencian dengan kebencian... Kita lawan dengan rahmah!” Gus Barra menanam tongkat hikmah di tengah reruntuhan candi. Dari dalam bumi, muncul cahaya yang membentuk pohon bercahaya: “Pohon Keadilan dan Ilmu.” "Pusaka Majapahit Baru bukan senjata... tapi akal, iman, dan keseimbangan antara bumi dan langit."
GUS BARRA: “Peradaban tak butuh mahkota, tapi akar yang kuat dan daun yang teduh." Bayangan Gayatri perlahan menghilang, tapi suaranya tertinggal di angin.
GAYATRI: “Kau adalah Suryo Ndadari... Cahaya dari malam yang panjang. Teruslah menyinari Mojopahit Baru, wahai sang santri pemimpin.”

"Langkah ke Gunung Penanggungan"
Tugas suci baru menanti Gus Barra. Di gunung yang menyimpan mantra kuno dan rahasia para wali... Pertapaan sunyi, pusaka suci, dan bayang-bayang pengkhianatan di tubuh birokrasi sendiri...Ketika tanah suci memanggil sang pemimpin untuk bersuci dari racun kekuasaan.

Fajar menyingsing di lereng Gunung Penanggungan. Kabut bergulung lembut, suara gemericik air dari sumber suci. Gus Barra naik sendirian ke arah puncak, membawa tongkat hikmah dan tasbih kayu lama. "Di gunung inilah ia dilahirkan. Bukan hanya dari rahim ibunya... tapi dari ruh para wali dan guru yang menanamkan ilmu serta keikhlasan."

Tampak Pondok Amanatul Ummah di masa muda Gus Barra. Ribuan santri belajar, mengaji, dan berdiskusi. Di tengah mereka, seorang kiai kharismatik menyentuh kepala muda Gus Barra. Kiai Kharismatik: “Barra, kelak kau bukan hanya memimpin orang... tapi melindungi mereka dari para pengkhianat berseragam suci.” Kembali ke masa kini. Di balik layar birokrasi kabupaten, tampak sosok-sosok berjas necis, bermuka dua, berdiskusi gelap di ruang tertutup.

OKNUM PEJABAT: “Anak pesantren itu terlalu bersih. Sudah waktunya dia disingkirkan. Kita hidup dari sistem ini, dari uang proyek, dari tanda tangan gelap!” "Mereka bukan musuh dari luar. Tapi dari dalam tembok kekuasaan itu sendiri.

Di puncak Penanggungan, Gus Barra duduk bertapa. Tiba-tiba, langit berubah. Cahaya merah dan hijau membentuk dua sosok bayangan: “Roh Wali Songo” dan “Bayangan Oligarki” 

ROH WALI SONGO: “Wahai pemimpin, bersihkan jalanmu. Lawan bukan hanya pedang… tapi tipu daya dan nafsu kekuasaan.” 
OKNUM OLIGARKI: “Pilihannya cuma dua: ikut kami... atau dihancurkan sistem yang kau tinggali ” Gus Barra memukulkan tongkatnya ke tanah. Gunung bergetar, dan dari bawah tanah, muncul kitab kuno bertuliskan: “Tata Bumi Mojopahit Versi Leluhur.” 
GUS BARRA: “Kalian salah. Aku bukan bagian dari sistem kalian. Aku ditanam untuk merobohkannya... dan menumbuhkan yang baru.” Dari balik langit, surya merah bersinar lembut. Suryo Ndadari bersinar di atas Penanggungan. "Perang ini sunyi. Tak berdarah, tapi dalam. Di atas gunung, seorang pemimpin telah mengambil keputusan: tak akan mundur meski sendiri."

"Pasopati di Balik Meja Rapat"
Ketika meja rapat berubah jadi medan pertempuran antara kebenaran dan tipu daya. Apakah Gus Barra bisa membersihkan birokrasi dari dalam, tanpa kehilangan jiwanya? Di ruang rapat yang tampak biasa... nasib rakyat sedang dipertaruhkan. Di balik meja, ada senjata tak kasat mata.

Pendopo kabupaten pagi hari. Meja rapat besar tampak mewah, dihuni pejabat berdasi. Gus Barra duduk di ujung meja, mengenakan celana jeans biru setelan baju santri putih dan songkok hitam sepatu rajut warna biru. Disampingnya ada dr. Rizal Wakil Bupati. "Kadang musuh tak membawa pedang, tapi proposal anggaran dan bahasa manis."

Salah satu oknum pejabat Pak Broto menyodorkan presentasi proyek fiktif: pembangunan taman air mancur “khayalan” senilai 42 miliar.

PAK BROTO: “Ini akan menaikkan citra Kabupaten Mojokerto, Gus. Kita hanya butuh persetujuan panjenengan...”Di balik senyumnya, bayangan hitam menari roh oknum Oligarki menempel di pundaknya.

Gus Barra menatap dengan mata tajam, lalu mengetukkan tongkat kayu kecil di meja rapat. Seketika, suara adzan Dzuhur menggema dari luar jendela. Semua terdiam.

GUS BARRA: “Citra tanpa akhlak itu jebakan. Dan jebakan yang kau buat... hanya menunggu roboh dengan sendirinya.” 

dr. Rizal membentangkan data digital hasil investigasi para santri muda. Tertulis: “Proyek siluman, dana mengalir ke rekening pribadi, tidak ada site plan.”

dr. Rizal: “Kalau ini diteruskan, rakyat akan kehilangan kepercayaan... dan sejarah akan mencatat kebodohan kita.”

Pak Broto naik pitam. Ia berdiri, lalu membanting mapnya. Tapi dari balik bajunya, jatuh segel tua berwarna hitam: “Wahana Raksasa Oligarki.” Para pejabat terkejut. 

GUS BARRA: “Dulu, raksasa seperti ini ditumbangkan Ranggalawe dan Gajah Mada. Sekarang, kita cukup lawan dengan ilmu, data, dan keikhlasan.”
Rapat berakhir. Gus Barra berjalan keluar. Di halaman pendopo, para santri berlatih bela diri spiritual. Di kejauhan, bayangan seorang perempuan berjubah putih berdiri di peringgitan. "Perang belum selesai. Tapi cahaya mulai menemukan jalannya."

“Pendopo Peringgitan Penjaga Amanah”
Siapa sosok perempuan berjubah putih? Pendopo Peringgitan menyimpan rahasia Majapahit dan pesan dari Mbah Yai masa silam? Ketika pengkhianatan bersembunyi di balik angka-angka, dan Pendopo Peringgitan menjadi saksi bisu pertarungan jiwa.

Angin sore berhembus pelan di halaman Pendopo Kabupaten. Gus Barra duduk dzikir di Masjid Baiturrahman sambil memejamkan mata. Di tangannya, kitab kuno bertuliskan "Tata Arta Praja Mojopahit." "Pendopo Peringgitan ini peninggalan leluhur Majapahit... sebagai penjaga tahta rakyat, bukan penguasa."

Tampak sosok Mbah Yai pendiri pendopo Peringgitan sambil berdoa. Suaranya menggaung sebagai gema dalam hati Gus Barra. “Barang siapa mengkhianati rakyat dengan angka, akan tumbang meski berseragam emas.”

Kembali ke masa kini: Di ruang Data Perencanaan, beberapa pejabat terlihat gelisah. Seorang staf muda (pegawai IT) membocorkan isi file laptop rahasia ke Gus Barra secara diam-diam. Data menunjukkan: proyek fiktif, markup gila-gilaan, dan penggelembungan dana hibah.

Pegawai IT: “Gus, data ini hampir dihapus. Mereka akan menyebar salinan palsu minggu depan.”  GUS BARRA: “Berarti mereka akan memukul... saat aku sedang shalat.” Tatapan tajam Gus Barra menyala. Senyumnya muncul: tenang, tapi siap menghantam. Rapat luar biasa dipanggil. Kelompok birokrat dinasti oligarki berseragam rapi, siap dengan laporan palsu dan rencana kudeta administratif: menggulingkan kepemimpinan Gus Barra lewat suara ‘birokrasi.’

Oknum OPD: “Maaf Gus, kami menyatakan mosi tidak percaya. Panjenengan tidak lagi sejalan dengan ‘kami’. "Mereka lupa... Gus Barra bukan dipilih oleh sistem. Tapi oleh sejarah dan doa." Gus Barra berdiri. Ia meletakkan kitab “Tata Arta Praja Mojopahit” di tengah meja, lalu membentangkan layar besar: menampilkan bukti manipulasi data, tanda tangan palsu, dan aliran uang ke rekening pribadi beberapa pejabat. GUS BARRA: “Kalian bukan birokrat Sejati.  Tapi ini bukan soal saya... Ini soal rakyat!” Ruang rapat hening. Wajah-wajah pucat. Seorang pejabat menangis pelan. Tiba-tiba, suara dari pengeras masjid terdengar: adzan Maghrib berkumandang. Di luar, santri berkumpul berdoa. Pohon beringin bergoyang, seperti ikut mengamini. "Ketika semua alat dirampas, masih ada satu senjata yang tak bisa dicuri: keberanian yang lahir dari keikhlasan."

Gus Barra meninggalkan rapat. Di luar, rakyat sudah berkumpul. Mereka membawa obor dan kitab kecil, tanda dukungan. Seorang nenek berkata: “Teruslah jadi cahaya, Nak. Kami percaya pada cahaya malam... Suryo Ndadari.”

“Pengadilan Bayangan di Trowulan”
Oknum birokrat menggugat balik lewat pengadilan administratif dan serangan reputasi. Tapi Gus Barra akan membawa perkara ini... ke “Pengadilan Leluhur” di tanah Trowulan! Ketika langkah sang pemimpin mengarah ke tanah leluhur… dan para oligarki menyerang dengan tipu daya terakhir. 

Trowulan pagi hari. Cahaya keemasan menyinari reruntuhan Candi Bajang Ratu. Gus Barra berdiri di atas batu tua, memandangi tanah warisan leluhur. Di tangannya, peta Majapahit asli dan proposal besar: “Pemindahan Ibu Kota Wilwatikta.” “Dulu tanah ini pusat dunia. Kini saatnya ia kembali jadi pusat kesejahteraan rakyat... bukan hanya sejarah usang.” Di balik layar, para birokrat lama dan elite lama mengadakan pertemuan rahasia. Ruangan gelap, asap rokok menebal. Di tengah mereka, seorang mantan penguasa tua bersuara serak:

Oknum PENGUASA LAMA: “Kalau dia pindahkan pusat pemerintahan ke Trowulan... habislah jalur uang kita. Kita harus lumpuhkan dia. Mulai dari hukum, opini publik... bahkan reputasinya!”

Gus Barra diundang ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Tuduhannya: melanggar prosedur pemindahan ibukota. Tapi pengadilan ini dipenuhi oknum bayaran. Rakyat tidak boleh masuk. Di luar, para santri dan masyarakat membawa spanduk: “Wilwatikta untuk Rakyat!” "Pengadilan ini bukan soal hukum. Tapi ujian: siapa pemilik sejati negeri ini, rakyat, atau si rakus?"

Saat sidang memanas, Gus Barra berdiri dan mengeluarkan surat wasiat kuno dari Kiai Tua Majapahit yang disegel dengan stempel Keraton: berisi titah leluhur tentang pusat pemerintahan Mojopahit harus berada di Wilwatikta, bukan daerah pendudukan kolonial.

GUS BARRA: “Saya tidak sekadar memindahkan kantor. Saya mengembalikan marwah negeri ini.” Hakim terdiam. Beberapa staf pengadilan mulai berbisik. Di luar gedung, rakyat semakin banyak berkumpul. 

Dari arah reruntuhan Candi Tikus, terdengar suara angin membawa nyanyian kidung Jawa kuno. "Kadang kebenaran tak perlu diputuskan... cukup dinyanyikan oleh tanah yang ingat sejarahnya."

Gus Barra keluar dari pengadilan, tidak membawa kemenangan hukum... tapi membawa hati rakyat. Di cakrawala, matahari sore berubah merah jingga. Suryo Ndadari bangkit kembali dari tanah Wilwatikta.

“Benteng Terakhir: Perang di Balik Musrenbang”
Pertarungan akan berlanjut di forum Musrenbang: medan perang antara visi rakyat dan proyek pesanan elite lama. Akankah rakyat bersuara... atau justru dimanipulasi lagi lewat angka-angka?

“Titi Wancine Wilwatikta”
Saat bintang-bintang sejarah merapat... dan sang cahaya malam menjadi terang: inilah takdir Suryo Ndadari. Pendopo lama, Kabupaten Mojokerto. Gus Barra menghadap meja bundar bersama para tokoh tua: mantan pejabat, ulama sepuh, seniman rakyat, hingga eks jenderal. Semua memegang map masterplan. Mereka menunduk penuh haru.

TOKOH SEPULUH: “Kami pernah melawan karena takut... Tapi sekarang, kami berdiri karena percaya. Lanjutkan, Gus.”

Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Mojokerto. Semua fraksi berdiri memberi suara setuju. Kamera media menyorot. Di layar besar: “Pengesahan Rencana Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Mojokerto ke Wilwatikta Disetujui Seluruh Fraksi.” "Kemenangan sejati bukan saat musuh tumbang, tapi saat rakyat bersatu di bawah panji yang benar." 
Surat persetujuan dari Gubernur Jawa Timur datang. Lalu, surat Keputusan Presiden Republik Indonesia. Cap burung garuda menghiasi kop surat. Di belakang, kamera menangkap Gus Barra sedang mencium tangan Mbah Yai sepuh di lereng Penanggungan
MBAH YAI: “Pindahnya kantor adalah simbol. Tapi kembalinya ruh Majapahit... itu mukjizat keikhlasan.”

Di Trowulan, pembangunan dimulai. Para pekerja, santri, mahasiswa, dan rakyat gotong royong membuka jalan. Di tengah tanah lapang bekas keraton, dipancang bendera merah putih dan bendera NU berdampingan. Gus Barra berdiri tegak.

GUS BARRA: “Mulai hari ini, Wilwatikta bukan lagi sejarah diam. Ia kembali jadi harapan hidup rakyat Mojokerto!” Matahari terbenam di atas Candi Tikus. Dari langit, cahaya bulan mulai menyala. Bayangan pohon beringin tua memanjang ke arah jalan baru: Jalan Suryo Ndadari. 

Seorang anak kecil berbisik: “Nanti aku mau jadi bupati juga... di Trowulan.” IBUNYA: “Boleh, asal kamu berani jujur dan tidak takut berdiri sendiri. Gus Barra menatap ke cakrawala. Cahaya rembulan menyinari wajahnya. Di belakangnya, rakyat berdiri. Dan dari langit malam... terdengar suara halus leluhur: “Ndadari wis bali. Titah wis padhang. Mojopahit tangi maneh...” 



Writer Riendr 
Editor AGan 




Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode