##Perjalanan Membara Gus Barra: Sebuah Kisah Harapan dan Perjuangan
-Baca Juga
Matahari bersinar terik di jalanan berdebu Kecamatan Gondang, Mojokerto, saat seorang pemuda bernama Gus Barra, atau Muhammad Albarra seperti yang dikenal secara formal, melintasi lanskap pedesaan. Hatinya, sebening air suci di mata air pegunungan, tergerak oleh rasa empati untuk menolong mereka yang menderita.
Gus Barra, cucu seorang ulama Islam terkemuka dan pewaris warisan kasih sayang, telah memilih jalan yang berbeda. Ia tidak puas dengan menara gading akademis atau aula kekuasaan yang berkilau. Ia ingin berada di tengah-tengah rakyat, memahami perjuangan mereka, dan menawarkan bantuan. Kampanyenya, "Mubarok," dengan pesan sederhana namun kuat tentang kemakmuran dan persatuan, telah menggema di kalangan komunitas pedesaan, menjadikan kunjungannya sebagai acara yang sangat dinantikan.
Di Dusun Seketi, yang terletak di lereng Gunung Anjasmara, udara dipenuhi dengan antisipasi. Para warga desa, wajah mereka yang tergerus oleh kesulitan, menyambut Gus Barra dengan nyanyian "Shalawat" - sebuah bukti iman dan harapan mereka untuk masa depan yang lebih cerah.
Burhanuddin, seorang tokoh masyarakat yang dihormati, berbicara tentang penderitaan desa. Kemiskinan telah membayangi kehidupan mereka. Peluang kerja sangat sedikit, ladang mereka yang dulunya subur kini hanya menghasilkan panen yang minim, dan kegelapan malam tak terputus oleh cahaya listrik yang paling redup sekalipun.
Namun, kekurangan air bersih adalah yang paling menyakitkan. Para wanita, jantung desa, berdiri bersatu, suara mereka menggema dengan seruan putus asa, "Gus, kami butuh air bersih!" Hidup mereka adalah perjuangan konstan melawan rasa haus, kesehatan anak-anak mereka terancam akibat kurangnya air bersih.
Sumber masalah mereka adalah operasi penambangan yang telah mencederai tanah. Bukit hijau yang dulunya subur kini berlubang-lubang besar, udara dipenuhi debu, dan sungai-sungai tercekik oleh sedimen. Para warga desa hanya bisa menyaksikan dengan putus asa saat tanah mereka dijarah, seruan mereka untuk bantuan diabaikan oleh mereka yang memegang kendali kekuasaan.
Gus Barra mendengarkan dengan seksama, hatinya berat oleh empati. Ia melihat rasa sakit di mata mereka, keputusasaan dalam suara mereka. Ia memahami bahwa perjuangan mereka bukan hanya untuk air bersih, tetapi untuk masa depan di mana mereka bisa hidup dengan martabat dan harapan.
Saat ia berpindah ke Desa Bening, Gus Barra disambut dengan sambutan yang berbeda. Para warga desa, wajah mereka bersinar dengan senyuman, melimpahi dia dengan pujian. Mereka melihat dalam diri Gus Barra bukan hanya seorang politisi, tetapi simbol harapan, sebuah mercusuar perubahan.
Para wanita, terpesona oleh karismanya dan warisan yang dibawanya, memanggilnya "Gus Ganteng dan Loman," sebuah istilah kasih sayang yang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kecantikan dan keanggunan. Mereka melihat dalam dirinya potensi untuk mengangkat kehidupan mereka, mengembalikan kemakmuran yang telah dicuri dari mereka.
Gus Barra, yang merasa terhormat dengan kasih sayang mereka, membuat janji. Ia berjanji untuk memperjuangkan hak-hak mereka, membawa air bersih ke depan pintu mereka, menciptakan lapangan kerja dan peluang untuk anak-anak mereka, serta memastikan suara mereka didengar. Ia berjanji untuk memindahkan kantor pemerintah lebih dekat kepada mereka, agar kebutuhan mereka tidak lagi diabaikan.
Perjalanannya baru saja dimulai, tetapi Gus Barra tahu bahwa ini adalah perjalanan yang layak untuk dijalani. Ia tahu bahwa masyarakat Gondang tidak hanya menunggu seorang penyelamat, tetapi seorang pemimpin yang akan berdiri bersama mereka, berjuang untuk mereka, dan berjalan di samping mereka menuju masa depan yang lebih baik.
Ini bukan hanya kampanye politik, tetapi sebuah pernyataan tentang kekuatan harapan, pengingat bahwa bahkan di saat-saat tergelap, semangat manusia dapat menemukan kekuatan untuk bangkit di atas kesulitan. Perjalanan Gus Barra adalah perjalanan harapan, perjalanan menuju masa depan yang lebih baik.
Penulis DION
Editorial DJOSE