67% untuk Gaji, 8% untuk Rakyat: Ketika APBD Kabupaten Mojokerto Jadi Panggung Birokrasi ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

67% untuk Gaji, 8% untuk Rakyat: Ketika APBD Kabupaten Mojokerto Jadi Panggung Birokrasi

-

Baca Juga


Rapat Paripurna Pandangan Umum Fraksi Fraksi DPRD Kabupaten Mojokerto Jawa Timur, 22 Juli 2025


Mojokerto – Sorotan tajam dari Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Mojokerto atas Rancangan Perubahan APBD 2025 menguak realitas pahit anggaran daerah: 67% belanja daerah habis untuk operasional, utamanya gaji pegawai, sementara hanya 8,31% dialokasikan untuk belanja modal yang seharusnya menopang pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.


Dalam Rapat Paripurna Pandangan Umum Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Graha Whicesa, Selasa 22 Juli 2025 Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan kritik bahwa APBD seharusnya menjadi alat untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun justru kini terjebak dalam pola belanja yang mengutamakan aparatur pemerintahan.


"Rakyat, terutama wong cilik, hanya dapat sisa-sisa dari pesta birokrasi. Ini bertentangan dengan prinsip keadilan anggaran," ujar salah satu juru bicara fraksi.


Bupati Mojokerto dalam jawabannya di Rapat Paripurna Jawaban Atas Raperda Perubahan APBD Tahun 2025 menyampaikan bahwa pihaknya telah menyusun berbagai langkah strategis untuk meningkatkan daya beli masyarakat, antara lain bantuan sosial tepat sasaran, pelatihan wirausaha bagi warga miskin, fasilitasi UMKM, proyek padat karya di desa, hingga stabilisasi harga lewat pasar murah. Namun narasi kebijakan tersebut belum menjawab pertanyaan paling mendasar: mengapa belanja pegawai tetap mendominasi, di tengah seruan efisiensi dari pemerintah pusat melalui Inpres No. 1 Tahun 2025?


Secara normatif, Pasal 316 UU No. 23 Tahun 2014 memang membuka ruang perubahan APBD oleh pemerintah daerah. Tetapi perubahan itu harus taat asas efisiensi, efektivitas, dan kepatuhan terhadap prioritas kebutuhan masyarakat. Dominasi belanja pegawai justru menunjukkan indikasi birokrasi yang mengabdi pada dirinya sendiri.


Fraksi PDI Perjuangan juga mempertanyakan alasan di balik meningkatnya nilai belanja daerah hingga lebih dari Rp155 miliar dibandingkan APBD induk, di saat target pertumbuhan ekonomi justru turun. Kenaikan belanja hibah sebesar 12% pun turut dipertanyakan, terutama soal transparansi peruntukannya.


Sementara itu, belanja modal yang hanya 8,31% dinilai terlalu kecil untuk menopang pembangunan desa, peningkatan produktivitas pertanian, pemulihan ekonomi pascapandemi, dan penciptaan lapangan kerja. Padahal, masyarakat Mojokerto membutuhkan anggaran yang menyentuh langsung kebutuhan dasar, bukan hanya mempertebal struktur pengeluaran rutin birokrasi.


Publik patut bertanya: apakah APBD ini disusun demi rakyat, atau sekadar untuk mempertahankan kenyamanan elit birokrasi warisan pemerintahan sebelumnya? Dengan dominasi anggaran seperti ini, maka proyek-proyek pembangunan berpotensi menjadi korban penghematan, sementara tunjangan dan belanja pegawai tetap aman.


Jika pemerintah daerah tidak segera merasionalisasi postur anggarannya, maka ketimpangan antara kepentingan birokrasi dan kebutuhan rakyat hanya akan semakin menganga. Mojokerto butuh keberpihakan nyata dalam APBD, bukan sekadar narasi normatif dan janji politis tahunan.





Tim Detak Inspiratif 


Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode