Perda RTRW Terkunci, Mimpi AlBarra Dihadang Warna Kuning: Siapa Dalang di Balik Peta Tanah Mojokerto? ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

Perda RTRW Terkunci, Mimpi AlBarra Dihadang Warna Kuning: Siapa Dalang di Balik Peta Tanah Mojokerto?

-

Baca Juga


Rombongan Eksekutif Pemkab Mojokerto ke Jakarta ke Dirjen ATR BPN Jakarta 


Oleh: Tim Investigasi Detak Inspiratif



JAKARTA — Visi besar Bupati Mojokerto Muhammad AlBarra untuk membuka keran investasi dan menciptakan lapangan kerja melalui pengembangan kawasan industri di Mojokerto tampaknya tengah menghadapi “tembok kuning” yang kokoh. Tembok itu bukan beton, tapi peta warna yakni status “lahan kuning” yang ditetapkan sebagai zona hijau oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, padahal oleh Pemkab Mojokerto telah direncanakan menjadi kawasan industri dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).


Dalam beberapa kesempatan, Bupati AlBarra menyuarakan keinginan kuatnya agar Kabupaten Mojokerto keluar dari belenggu stagnasi ekonomi dan pengangguran dengan mendatangkan investor. Salah satu upaya nyatanya adalah mendorong revisi Perda RTRW yang lebih adaptif terhadap kebutuhan riil di lapangan. “Kalau terus dibatasi seperti ini, kapan rakyat punya pekerjaan? Kapan investor mau datang?” ungkap Barra dalam forum koordinasi terbaru bersama ATR/BPN di Jakarta.


Namun, keinginan itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Masih ada sekitar 1.100 hektar lahan yang oleh Pemkab Mojokerto dinyatakan siap dikembangkan menjadi kawasan industri, namun di sisi lain, Pemprov Jatim justru menetapkannya sebagai zona hijau produktif.


Dualisme Kebijakan: Siapa yang Bingung, Siapa yang Diuntungkan?


RTRW Kabupaten Mojokerto sebelumnya telah disahkan menjadi Perda. Namun banyak pihak menilai perda itu masih “belum sempurna” dan tidak sinkron dengan RTRW Provinsi Jawa Timur maupun RTRW Nasional. Kesenjangan regulasi ini membuka ruang pertanyaan besar: siapa yang bermain di balik kekacauan zonasi ini?


Menurut penelusuran Detak Inspiratif, terdapat indikasi bahwa sebagian besar lahan di zona abu-abu itu sudah menjadi sasaran empuk para spekulan tanah. Para cukong dengan kekuatan modal, dibantu oleh birokrat oportunis, mulai melakukan akumulasi lahan jauh sebelum revisi RTRW dibahas. Mereka seperti tahu arah angin sebelum kompasnya diputar.


Mafia Tanah dan Oknum Birokrat: Simfoni Kepentingan dalam Warna Kuning


Seorang sumber internal di lingkaran Kabupaten Mojokerto, yang enggan disebut namanya, menyebutkan bahwa revisi Perda RTRW yang sekarang didorong sebenarnya sudah lama “dimainkan” oleh pihak-pihak berkepentingan. “Peta zona hijau yang sekarang dipertahankan oleh Pemprov Jatim bisa jadi adalah tameng untuk mengamankan kepentingan elite tertentu. Setelah harga naik dan investor terdesak, barulah dikabulkan perubahan statusnya,” ujarnya.


Fenomena ini bukan hal baru. Di banyak daerah, revisi RTRW seringkali menjadi ladang subur permainan mafia tanah, di mana informasi “ke mana arah zonasi akan diubah” bocor lebih dulu ke para spekulan.


Di sisi lain, Dinas Cipta Karya Provinsi Jawa Timur sebagai bagian dari Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang memegang peran vital dalam pengawasan dan pengesahan RTRW kabupaten/kota. Namun, birokrasi yang lambat dan kerap tertutup dalam proses sinkronisasi RTRW justru memperkuat kecurigaan akan adanya permainan tersembunyi.


Investor Menunggu, Masyarakat Menjerit


Sementara polemik zonasi ini berlarut, rakyat yang menggantungkan harapan pada janji lapangan kerja justru semakin tercekik. Data dari Pemkab menunjukkan, Mojokerto masih memiliki angka pengangguran terbuka yang cukup tinggi dan arus investasi yang stagnan dibandingkan wilayah sekitar seperti Gresik atau Sidoarjo.


Beberapa calon investor bahkan mengaku “mundur perlahan” setelah mengetahui status lahan yang mereka incar ternyata masih terganjal dalam zona hijau. Mereka enggan mengambil risiko di tengah ketidakpastian kebijakan tata ruang.


Polemik revisi RTRW di Kabupaten Mojokerto bukan semata soal teknis zonasi. Ia adalah refleksi dari tarik-menarik kepentingan antara harapan rakyat, ambisi pemimpin, dan permainan elit birokrasi serta cukong tanah. Selama tidak ada transparansi total dalam penyusunan dan revisi Perda RTRW, selama masih ada ruang gelap dalam koordinasi antar pemerintah, maka peta warna tanah akan terus menjadi ladang konflik kepentingan.


Dan rakyat, lagi-lagi, hanya menjadi penonton dari “perang warna” yang dimainkan di atas meja perundingan.




Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode