Bagai Api Dalam Sekam: Kabupaten PATI Berpotensi People Power ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

Bagai Api Dalam Sekam: Kabupaten PATI Berpotensi People Power

-

Baca Juga


SUASANA MEMBARA MALAM HARI KABUPATEN PATI JAWA TENGAH. MASYARAKAT MENGUSIR BUPATI SUDEWO YANG MAMPIR KE POSKO AKSI. DI ALUN-ALUN KOTA PATI. MASYARAKAT PATI YANG AKAN MENGGELAR AKSI PEOPLE POWER YANG DIRENCANAKAN 13 AGUSTUS 2025. Jum'at 8 Agustus 2025.




PATI – Udara di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terasa kian memanas. Bukan karena suhu, melainkan karena gejolak hati masyarakat yang siap menghelat "people power" pada 13 Agustus 2025. Tuntutan utama mereka jelas: menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap mencekik. Namun, di balik isu pajak ini, tersimpan sebuah narasi yang jauh lebih dalam, sebuah warisan sejarah yang mungkin menjelaskan mengapa masyarakat Pati berani bangkit.






Pada dasarnya, protes ini bukanlah sekadar respons terhadap angka-angka di surat pajak. Ini adalah luapan kekecewaan yang telah terakumulasi. Meskipun Bupati Pati, Sudewo, sudah meminta maaf dan berjanji mengkaji ulang kebijakan, massa aksi tetap teguh. Bagi mereka, pernyataan yang sering berubah-ubah telah mengikis kepercayaan. Posko donasi pun didirikan, diwarnai ketegangan dengan Satpol PP, seakan menegaskan bahwa perjuangan ini bukan main-main.


Untuk memahami semangat ini, kita harus melihat ke belakang. Jauh sebelum era modern, Pati bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Wilayah ini adalah perebutan kekuasaan.




Supriyono (Botok) Korlap Aksi Masyarakat Pati 



Dari catatan sejarah, Pati merupakan bagian penting dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Ia pernah bernaung di bawah Kerajaan Majapahit, lalu menjadi bagian vital dari Kesultanan Demak di era Ratu Kalinyamat, hingga akhirnya ditaklukkan dan menjadi kabupaten otonom di bawah Sultan Agung Mataram. Sejak dulu, daerah ini, terutama pelabuhan strategisnya di Juwana, menjadi urat nadi perdagangan dan titik rawan konflik.


Sejarah mencatat bahwa Juwana pernah menjadi wilayah yang begitu penting hingga Sultan Agung mengirim Tumenggung Bahurekso untuk menjadi bupatinya. Ini menunjukkan bahwa Juwana adalah pusat kekuatan yang kaya akan sumber daya alam, seperti pertanian dan perikanan, sehingga memerlukan pemimpin yang kuat untuk mengelolanya.


Kondisi inilah yang menempa karakter masyarakat Pati. Berada di tengah pusaran kekuasaan besar, rakyatnya terbiasa untuk mandiri, tangguh, dan tidak mudah tunduk. Mereka adalah petani dan nelayan, pekerja keras yang mencari nafkah langsung dari tanah dan laut. Keberanian mereka juga dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual yang kuat, salah satunya dari dakwah Sunan Muria, salah satu Wali Songo yang dikenal berbaur dan berdakwah secara damai di kalangan rakyat kecil.


Semangat itu terpatri dalam tradisi-tradisi yang mereka jaga hingga kini, seperti Sedekah Bumi dan Meron, di mana mereka mensyukuri hasil kerja keras mereka secara kolektif. Ini bukan hanya perayaan, melainkan ritual yang memperkuat identitas komunal dan semangat kebersamaan.


Maka, ketika kebijakan kenaikan PBB muncul, yang mereka rasakan bukan hanya beban finansial, melainkan juga hilangnya rasa keadilan. Mereka melihatnya sebagai ancaman terhadap kesejahteraan yang mereka bangun dengan keringat sendiri, sama seperti nenek moyang mereka yang dulu harus berjuang mempertahankan hak di bawah bayang-bayang kekuasaan.


Aksi "people power" yang akan datang bukanlah amarah yang mendadak. Ini adalah cerminan dari semangat pemberani yang telah diwariskan dari era Mataram dan pelabuhan Juwana. Ini adalah bukti bahwa masyarakat Pati, yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan nelayan, adalah pribadi-pribadi yang tidak akan diam begitu saja ketika keadilan terasa direnggut. Mereka adalah perpaduan antara ketangguhan lumbung padi dan keberanian para pelaut.


Pertanyaannya kini, akankah suara dari sejarah yang bergelora di Pati ini didengar?


Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode