“Apel Kesiapsiagaan: Langit Menangis, Rakyat Bertahan” Langit Majapahit Menyala, Air Pun Bicara ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

“Apel Kesiapsiagaan: Langit Menangis, Rakyat Bertahan” Langit Majapahit Menyala, Air Pun Bicara

-

Baca Juga




Langit Mojokerto sore itu tak sedang bersenda gurau. Guruh bergemuruh di atas tanah Majapahit, menyiram sawah dan kawasan industri Ngoro hingga berubah menjadi lautan lumpur. Di tengah derasnya hujan, seorang warga berseragam jas hujan biru berdiri di tepi tanggul jebol menunjuk arus keruh yang memuntahkan amarahnya.
Itulah potret nyata kesiapsiagaan rakyat, bukan hasil gladi resik atau seremoni birokrasi.






Apel Kesiapsiagaan: Parade Seragam di Bawah Tenda

Selasa, 4 November 2025. Halaman kantor Pemkab Mojokerto dipenuhi lautan oranye  seragam khas BPBD.
Wakil Bupati Muhammad Rizal Octavian tampak serius memimpin apel kesiapsiagaan bencana hidrometeorologi. Tangannya menari di udara memberi arahan, wajahnya tegas, penuh keyakinan. “Kita harus tangguh menghadapi bencana!” serunya lantang.

Tapi dua hari berselang, langit lebih cepat bergerak daripada janji di mikrofon. Banjir menggenangi Ngoro Industri Persada, jalur Pacet–Cangar tertutup longsor, dan publik tak melihat tanda-tanda kehadiran sang pemimpin muda di lokasi bencana.
Kesiapsiagaan pun terasa seperti ritual formalitas tahunan seragam rapi, kamera siaga, tapi aksi di lapangan hilang arah.








Kontras Lapangan vs Retorika

Di tengah lumpur dan arus banjir, rakyat berjuang sendiri.
Mereka menutup tanggul yang jebol dengan karung tanah, mengevakuasi anak-anak dan lansia, menyelamatkan ternak, dan menuntun motor melewati jalan berlumpur. Tanpa aba-aba apel. Tanpa tanda hormat.

Sementara di layar-layar media sosial, yang muncul justru foto pejabat dengan seragam bersih dan wajah serius kontras sekali dengan kaki warga yang terbenam lumpur sampai lutut.
Antara kata dan nyata, selalu ada jarak bernama kenyamanan jabatan.


Rakyat yang Tak Pernah Absen

Rakyat di lereng Penanggungan dan Welirang tak menunggu komando. Mereka membaca tanda-tanda alam jauh sebelum sirene BPBD dibunyikan.
Angin, bau tanah basah, dan gemuruh sungai sudah menjadi bahasa yang mereka pahami sejak kecil.
Di Ngoro, seorang petani menambal tanggul dengan ember bocor, sementara anaknya memegang senter dari HP.
Di Pacet, warga menuntun motor di jalur licin tanpa kamera, tanpa tepuk tangan.

Mereka bukan pasukan apel, tapi pasukan kehidupan selalu siaga, tanpa perlu instruksi.
Dan ketika air surut, hanya mereka yang tahu bagaimana menghadapi bencana dengan rasa, bukan dengan retorika.








Ketika Langit Lebih Jujur dari Mikrofon

Majapahit pernah berjaya bukan karena pejabatnya berpidato, tapi karena rakyatnya berdaya.
Kini, di tengah derasnya hujan dan lumpur, sejarah seolah ingin menulis ulang satu kalimat penting:

“Langit boleh murka, tanah boleh longsor, tapi nurani rakyat Majapahit tak pernah roboh.”


DETAK INSPIRATIF
Suara Rakyat. Napas Perlawanan. Cermin Kebenaran.







Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode