BANJIR KIRIMAN MAGHRIB:WATESPROJO TERPERANGKAP AIR JOMBANG**
-Baca Juga
Sabtu, 22 November 2025
Menjelang Maghrib, ketika sebagian besar warga Desa Watesprojo, Kecamatan Kemlagi, Mojokerto hendak menutup pintu hari, air justru datang mengetuk tanpa permisi. Kali ini bukan hujan Mojokerto penyebabnya. Langit Jombang yang menghitam sejak sore mengirimkan pesan muram: air kiriman dari hulu Avour Simo sedang bergerak menuju hilir.
Beberapa menit kemudian, pesan itu berubah menjadi kenyataan pahit.
Potret Senja yang Retak
Di sebuah jalan desa yang sempit, air menggenang setinggi betis hingga mendekati lutut orang dewasa. Seorang perempuan berdiri di teras rumahnya yang sudah terjangkit air. Wajahnya tampak letih, namun tetap tegar, menunjuk ke arah aliran air yang datang makin kencang. Di depannya, seorang laki-laki berdiri di tengah genangan, memantau situasi dengan serius.
Pemandangan itu bukan adegan dramatis film dokumenter, tetapi realita bencana kiriman yang saban tahun menghantam Desa Watesprojo.
Patroli Senja: Pemeriksaan, Bukan Sekadar Formalitas
Saat genangan naik beberapa sentimeter, perangkat desa melakukan patroli menjelang Maghrib. Mereka menelusuri lorong desa yang tergenang, dari rumah ke rumah, mengecek siapa yang butuh bantuan dan memastikan tidak ada warga yang terjebak di dalam rumah.
Di tengah dingin air yang merayap naik, langkah-langkah itu terdengar seperti tekad kecil dari desa yang sudah sangat lelah menghadapi banjir berulang.
Avour Simo: Anak Sungai yang Membawa Rindu Perbaikan
Sungai Avour Simo anak Sungai Brantas sudah lama menjadi biang banjir di wilayah Kemlagi. Aliran sungai yang menyempit, sedimentasi yang menumpuk, serta berkurangnya daerah serapan air di kawasan Jombang dan Nganjuk membuat limpasan hujan mudah sekali meluber ke wilayah Mojokerto.
Ketika hujan deras mengguyur daerah hulu, yang kebanjiran justru adalah daerah hilir. Desa Watesprojo menjadi korban tetap dari masalah tak terselesaikan itu.
Investigasi Lapangan: Siklus yang Berulang, Tanpa Jalan Keluar?
Berdasarkan penelusuran DETAK INSPIRATIF, banjir di Watesprojo bukan sekadar musibah namun pola sistemis yang berlangsung terlalu lama:
13 November 2025
Hujan deras di Jombang membuat Avour Simo meluap. Puluhan rumah di Watesprojo terendam. Warga terpaksa memindahkan barang-barang ke tempat tinggi.
Juni 2025
Air dari hulu kembali menggenangi desa. Meski tak sedalam biasanya, banjir tetap melumpuhkan akses.
Februari 2025
Luapan dari sungai dan saluran irigasi memicu banjir besar di beberapa desa Kemlagi. Watesprojo menjadi episentrum genangan.
Dan kini, 22 November 2025, pola itu kembali terjadi.
Suara dari Desa Tenggelam
Seorang warga perempuan yang berdiri di terasnya sore itu berkata lantang, memperlihatkan betapa jenuh warganya menghadapi bencana tahunan.
“Air ini bukan dari sini. Hujan di Jombang, yang kebanjiran Mojokerto. Kapan ada perubahan, Mas?”
Keluhan itu bukan sekadar ungkapan emosi, melainkan jeritan kolektif dari warga yang hidup di antara banjir kiriman dan harapan yang belum pernah benar-benar datang.
Mendesak: Perlu Kerja Sama Hulu–Hilir, Bukan Sekadar Seremonial
Dari temuan lapangan dan rekam jejak kejadian, persoalan ini jelas membutuhkan:
Normalisasi Avour Simo secara menyeluruh
Penguatan tanggul dan tebing sungai
Koordinasi lintas kabupaten (Jombang–Mojokerto–Nganjuk)
Pemulihan area resapan air di hulu
Pemetaan ulang titik rawan genangan
Tanpa strategi terpadu, Mojokerto akan terus menerima banjir yang bukan sepenuhnya berasal dari wilayahnya.
Maghrib Merah di Watesprojo
Air masih mengalir pelan ketika adzan Maghrib berkumandang. Rumah-rumah yang terdampak terlihat samar dalam genangan air. Warga bergerak hati-hati, sementara sejumlah perangkat desa masih menyusuri jalan sambil menyalakan senter.
Banji kiriman hari itu menjadi bukti bahwa Watesprojo bukan sekadar membutuhkan bantuan tetapi langkah nyata dari pemerintah lintas wilayah.
Sore itu, banjir mungkin hanya setinggi lutut. Namun rasa lelah warga desa sudah lama melampaui batas itu.
