“Kapal Majapahit di Atas Sungai yang Salah”
-Baca Juga
Sidang Tipikor Surabaya Menguak Fakta Baru Pembangunan Pujasera TBM Kota Mojokerto
Surabaya, 4 November 2025 — Hujan deras mengguyur Surabaya sejak siang, tapi ruang Cakra di Pengadilan Negeri Tipikor terasa seperti tungku bara. Dua saksi baru dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto, dalam perkara dugaan korupsi pembangunan kapal Majapahit Taman Bahari Majapahit (TBM).
Proyek ambisius Pemkot Mojokerto yang menelan anggaran Rp 2,5 miliar dari APBD 2023 ini kini berujung pada aroma korupsi kerugian negara Rp 1,91 miliar, berdasarkan audit BPKP Jawa Timur tertanggal 8 Mei 2025.
Saksi pertama Fatchul Hikmah, Bendahara Pengeluaran DPUPR PERAKIM;
Saksi kedua Rianto, Kepala Bapperinda yang merangkap Plt. Kepala BPKPD.
Keduanya dihadirkan untuk membuka tabir keuangan proyek yang semula dimaksudkan untuk memperkuat identitas sejarah Mojokerto sebagai tanah pewaris Majapahit. Namun yang terjadi, justru mirip kisah kapal tenggelam di lautan birokrasi dan permainan politik lokal.
Panggung Hujan dan Dokumen yang Tak Pernah Diperiksa
Hakim Ketua I Made Yuliada, didampingi Manambus Pasaribu dan Lujianto, membuka sidang dengan nada tajam.
“Apakah saksi tahu ada dokumen yang dipalsukan?” tanya Hakim Manambus dengan nada menggigit.
Saksi Fatchul Hikmah, dengan suara pelan tapi gemetar menjawab,
“Saya tidak tahu, Yang Mulia. Saya hanya percaya pada admin. Tidak melakukan cross-check.”
Sebagai bendahara pengeluaran sejak 11 Desember 2023, Fatchul mestinya menjadi garda terakhir pengawasan pembayaran. Namun ia justru mengaku percaya begitu saja pada stafnya.
Ia menyebut pekerjaan dibagi tiga: struktur kapal Rp 1,1 miliar, cover kapal Rp 900 juta, dan konsultan pengawasan Rp 40 juta. Tapi tak pernah memeriksa bukti fisik.
“Jadi Anda percaya saja pada kertas, bukan pada bangunan?” sindir Hakim Manambus.
Ruang sidang mendadak senyap hanya terdengar deru hujan di luar dan dengung pendingin udara yang terasa panas di dada.
Saksi Rianto Kepala BAPERINDA merangkap Plt Kepala BPKPD
Saksi Kedua: “Secara Kontrak Sudah Selesai, Secara Fisik Belum”
Saksi kedua, Rianto, tampil lebih tenang. Tapi pernyataannya justru membuat ruang sidang pecah tawa.
Ia menyebut proyek kapal Majapahit secara administratif sudah selesai karena laporan OPD telah masuk. Namun ketika hakim bertanya tentang bentuk fisik proyek, jawabannya justru membuka borok lama:
“Secara fisik, belum selesai, Yang Mulia.”
Hakim Yuliada tersenyum kecut.
“Keterangan saksi ini mirip saksi Muraji sebelumnya. Kontraknya selesai, tapi kapalnya belum jadi. Luar biasa!”
Tawa lirih pengunjung sidang menyelinap seperti angin di antara bangku besi. Petir di luar ruangan menegaskan absurditas proyek yang menabrak logika.
Lebih jauh, Rianto mengaku bahwa tanah lokasi pembangunan berada di bantaran sungai Ngotok, yang masih di bawah kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas bukan milik Pemkot Mojokerto.
Secara hukum, wilayah itu tunduk pada Kementerian PUPR di Jakarta.
Namun, ketika hal ini sempat disampaikan kepada Walikota Ika Puspitasari pada tahun 2023, menurut pengakuan seorang pensiunan perencana, justru muncul amarah dari sang wali kota.
“Mengapa tidak boleh membangun wisata Taman Bahari Majapahit?” ujar sang pensiunan menirukan nada tinggi wali kota yang ambisius.
Malam itu juga, rapat mendadak digelar. Keputusan bulat: Proyek harus jalan.
Dan kapal Majapahit pun dibangun di atas tanah yang salah, dengan izin yang tak pernah terbit dari Kementerian PUPR.
Politik Anggaran dan Kursi Dewan yang Goyang
Sidang 4 November ini juga menghadirkan aroma politik. Hadir di kursi pengunjung:
Nuryono Sugi Rahardjo, S.H., anggota DPRD Kota Mojokerto dari Fraksi Demokrat.
Ia datang bukan tanpa alasan. Lokasi proyek berada di dapilnya, dan rumor beredar bahwa beberapa rekan separtainya adalah “orang dekat” walikota yang turut menikmati proyek-proyek penunjang Taman Bahari Majapahit.
Terdakwa Yustian Suhandinata, Sekretaris DPUPR Perakim sekaligus PPK proyek, membenarkan bahwa anggaran proyek Rp 2,5 miliar telah disetujui DPRD Kota Mojokerto.
Namun ketika Rianto mendengar hal itu, ia langsung menyela, mencoba “meluruskan” agar kesalahan tidak menyeret DPRD.
Hakim Yuliada menatap tajam:
“Yang berbaju putih mungkin akan bertambah, kalau semua terus berpura-pura tidak tahu.”
Ucapan itu menampar sunyi ruang sidang. Di luar, hujan kembali deras. Mojokerto malam itu seolah mencatat sendiri dosa-dosa pembangunan yang ditutupi formalitas.
Misteri di Bantaran Sungai
Sertifikat tanah yang dikantongi Pemkot memang tercatat di Kelurahan Pulorejo, Kecamatan Prajurit Kulon, tetapi diterbitkan tahun 1999, tanpa batas pasti.
Secara de jure, tanah itu abu-abu bukan milik pemkot, tapi juga belum diklaim BBWS.
Kapal Majapahit kini berdiri seperti simbol kebingungan:
bukan milik laut, bukan milik darat, bukan pula milik rakyat.
Ketujuh terdakwa dari pejabat, kontraktor, hingga eksekutor lapangan dijerat dengan:
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 dan/atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Tipikor 31/1999 jo. UU 20/2001, jo. Pasal 55 KUHP.
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama, memperkaya diri sendiri, dan merugikan keuangan negara.
Kapal yang Tak Pernah Berlayar
Kapal Majapahit seharusnya menjadi ikon wisata baru Kota Mojokerto.
Namun kini ia menjadi monumen diam dari ambisi yang tergesa, saksi dari kekuasaan yang tak sabar menunggu proses.
Di ruang Cakra, suara hakim menggema seperti doa getir:
“Buat perkara ini terang. Jangan lindungi diri dari kebodohan.”
Dan di luar gedung, petir menyambar lagi seolah langit pun ikut berteriak:Majapahit dulu berjuang menegakkan keadilan, bukan menenggelamkan kebenaran di sungai Brantas
