“Makna Tersembunyi di Balik Lukisan: Semiotika, Anak-Anak, dan Sindiran di Taman Bahari Majapahit”
-Baca Juga
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan mengenai persidangan dugaan korupsi Kapal Majapahit, suasana berbeda justru hadir di Wisata Taman Bahari Majapahit (TBM) Rejoto, Kota Mojokerto. Bukannya tegang, kawasan wisata itu hari ini berubah menjadi ruang kontemplasi dan kritik sosial melalui Pameran Seni & Lukisan yang diadakan terbuka untuk publik.
Namun ada satu momen yang mencuri perhatian:
sekelompok anak-anak sekolah yang berhenti lama di depan sebuah lukisan berjudul “Semut dan Tikus.”
Wajah polos mereka memandang tajam, memikirkan sesuatu yang jauh lebih besar dari usia mereka.
Dan dari mulut mereka keluar kalimat yang mengejutkan banyak orang dewasa:
“Yang kerja keras itu rakyat… semut. Yang ongkang-ongkang itu tikus… kayak koruptor.”
Sederhana. Jujur. Menyengat.
Lukisan yang Berkata Lebih Keras dari Suara Dewasa
Di kanvas besar itu, seekor semut tampak mengangkat batu raksasa dengan penuh perjuangan. Di dalam batu, seekor tikus berjubah rapi duduk santai di kursi, dikelilingi tumpukan makanan dan simbol uang.
Kontras ini bukan kebetulan. Ia adalah metafora sosial.
Dan rupanya, anak-anak menangkapnya dengan sangat cepat.
Sang seniman seakan menyodorkan pesan tajam: dalam banyak kasus korupsi, yang bekerja keras adalah rakyat; yang menikmati adalah segelintir orang di posisi nyaman.
Anak-Anak, Semiotika, dan Kesadaran yang Terbentuk Alami
Interpretasi anak-anak ini secara tidak langsung menunjukkan betapa kuatnya bahasa seni. Tanpa ceramah panjang, tanpa teori rumit, lukisan ini langsung berbicara melalui simbol.
Dalam pendekatan semiotika:
Semut → penanda ketekunan, rakyat kecil, pekerja keras.
Tikus → penanda kerakusan, penyalahgunaan kekuasaan, tindakan koruptif.
Beban besar → penanda beban sosial, ekonomi, dan moral yang harus ditanggung masyarakat.
Posisi duduk tikus → penanda kenyamanan yang tidak wajar, kekayaan yang tidak sejalan dengan keringat yang tercurah.
Yang memukau, anak-anak ini langsung mampu menerjemahkan seluruh simbol ini.
Dalam dunia semiotika, itu menunjukkan bahwa kode budaya tentang korupsi sudah begitu dekat dengan realitas masyarakat saking dekatnya, bahkan anak SD pun bisa menginterpretasi pesan lukisan dengan tepat.
Bayang Kasus Kapal Majapahit di Balik Panggung Seni
Wajar jika lukisan ini terasa makin relevan hari-hari ini.
Pameran itu digelar tepat ketika nama TBM Rejoto ikut disebut-sebut dalam dinamika persidangan dugaan Tindak Pidana Korupsi Kapal Majapahit di PN Tipikor Surabaya.
Kota sedang membahas bukti, saksi, dan persidangan.
Sementara di ruangan ini, seni berbicara lebih halus namun, tidak kurang tajam.
Lukisan “Semut dan Tikus” seakan menjadi “komentar tanpa suara” terhadap fenomena tersebut.
Ia tidak menunjuk siapa pun.
Tidak menyebut jabatan.
Tidak menyebut institusi.
Namun semua orang tahu arah kritiknya.
Seni yang Mengajarkan Keberanian, Bahkan pada Anak-Anak
Di tengah kegiatan, seorang pengunjung dewasa berkata lirih:
“Seni itu cara halus untuk memukul keras.”
Dan betul.
Lewat seni, bahkan anak-anak bisa memahami ketidakadilan sosial.
Lewat seni, mereka belajar membaca dunia.
Lewat seni, mereka tahu mana yang harus diperbaiki.
Dan Mojokerto hari ini membuktikan itu.
Ketika Lukisan Menjadi Cermin Kota
Pameran seni di TBM Rejoto bukan lagi sekadar agenda wisata.
Ia berubah menjadi ruang refleksi publik, tempat kritik sosial tersampaikan dengan elegan.
Anak-anak itu mungkin tidak tahu detail persidangan.
Mereka tidak tahu pasal-pasal hukum atau berapa nilai anggarannya.
Namun yang mereka tahu:
ketidakadilan mudah dikenali bahkan, lewat seekor semut dan tikus.
Dan di situlah letak kekuatan karya seni:
ia berbicara jujur, tanpa takut, tanpa batas usia.
Mojokerto mungkin sedang menghadapi ujian besar.
Tapi lewat anak-anak itu, kita melihat harapan: generasi baru yang peka, berani, dan tidak mudah dibungkam simbol-simbol kekuasaan.
EDITORIAL:
“Ketika Anak-Anak Mengajari Kita tentang Korupsi”
Di sebuah sudut Taman Bahari Majapahit (TBM) Rejoto, sebuah pameran seni yang semula dirancang sebagai ruang apresiasi estetika, justru menjelma menjadi panggung kritik sosial yang tak disangka-sangka. Bukan dari mulut pejabat. Bukan dari aktivis.
Tapi dari mereka yang seharusnya paling jauh dari hiruk-pikuk politik: anak-anak sekolah.
Mereka berdiri di depan sebuah lukisan berjudul “Semut dan Tikus”.
Tanpa ragu, mereka membaca pesan yang bagi banyak orang dewasa sering kali diingkari:
“Semut itu rakyat… tikus itu koruptor.”
Ada sesuatu yang menggetarkan dari kalimat sederhana itu.
Dalam kepolosannya, tersimpan kesadaran yang dalam: bahwa ketidakadilan sudah begitu terasa, hingga anak-anak pun dapat melihatnya dengan terang.
Seni Mengungkapkan Apa yang Kita Sering Sembunyikan
Lukisan “Semut dan Tikus” hanyalah satu karya seni. Namun di tengah persidangan dugaan korupsi Kapal Majapahit, ia berubah menjadi cermin.
Sebuah refleksi yang menampar: bahwa rakyat kecil sering menjadi penopang beban, sementara segelintir orang hidup nyaman di balik tumpukan fasilitas.
Ketika anak-anak mampu menangkap pesan itu tanpa penjelasan rumit, kita patut bertanya:
Sejauh apa budaya korupsi telah merasuki kesadaran bangsa?
Sejauh apa keteladanan kita pudar di mata generasi penerus?
Mojokerto dan Kewajiban Moral
Pameran seni ini berlangsung di saat Kota Mojokerto sedang diuji integritasnya.
Persidangan Kapal Majapahit bukan sekadar laporan hukum; ia adalah ujian moral bagi seluruh elemen pemerintahan.
Dan di tengah riuhnya isu, anak-anak itu mengingatkan kita bahwa:
yang menanggung akibat korupsi bukan hanya anggaran tetapi, masa depan.
Masa depan itu berdiri tepat di depan lukisan tersebut, memegang tas sekolah, dan dengan polos bertanya:
“Kenapa semutnya yang harus kerja keras?”
Jika kita tidak bisa menjawab pertanyaan itu, maka kita telah gagal sebagai bangsa.
Pelajaran dari Ruang Pameran
Editorial ini tidak ditulis untuk mengadili siapa pun.
Pengadilan punya kewenangannya sendiri.
Namun ada pengadilan lain yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih menentukan:
pengadilan moral di mata generasi yang akan tumbuh menggantikan kita.
Ketika anak-anak mulai memahami simbol ketidakadilan, itu artinya kita sudah terlambat memperbaiki banyak hal.
Tetapi masih belum terlambat untuk memulai kembali.
Suara Kecil, Peringatan Besar
Kota ini boleh membangun kapal, jembatan, dan taman.
Namun yang lebih penting adalah membangun kejujuran, keteladanan, dan kesadaran publik.
Seni telah berbicara.
Anak-anak pun telah membaca pesan itu.
Kini giliran kita, para orang dewasa untuk menjawabnya dengan tindakan.
Dan sejarah tidak pernah mencatat siapa yang paling keras berbicara.
Sejarah hanya mencatat siapa yang paling berani memperbaiki.
