MISTERI PUJASERA KAPAL HANTU TBM KOTA MOJOKERTO! “Uang Berlayar, Kapal Tenggelam!”
-Baca Juga
Jumat, 7 November 2025 — Langit Surabaya membara. Tapi di Mojokerto, tempat berdirinya Pujasera berbentuk Kapal Majapahit, hujan turun deras seolah langit ikut menangis. Ironisnya, di ruang sidang Pengadilan Negeri Tipikor Surabaya, suhu justru makin panas bukan karena cuaca, tapi karena kesaksian tiga ahli yang membongkar proyek Rp. 2,5 miliar yang kini disebut sebagai “kapal gagal berlayar”.
“KAPAL GAGAL BANGUNAN!”
Tiga saksi ahli dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kota Mojokerto dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim I Made Yuliada, SH., MH., bersama dua anggota: Manambus Pasaribu dan Lujianto.
Mereka adalah:
Prof. Dr. Ir. Mudji Irmawan, MT – Ahli Struktur dan Material Bangunan ITS Surabaya.
Prof. Antoni – Dosen Teknik Sipil Universitas Kristen Petra.
Suhariyanto, ST., MT – Ahli Pengadaan Barang dan Jasa, Politeknik Negeri Malang.
Ketiganya kompak: “Pembangunan pujasera Kapal Majapahit gagal total.”
“Kalau dipaksakan beroperasi, bisa membahayakan nyawa pengunjung. Beton tidak standar, struktur lemah, dan desain tidak proporsional,” tegas Prof. Mudji Irmawan, yang juga menangani investigasi ambruknya Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo.
Ia menambahkan, bangunan monumental seperti Kapal Majapahit semestinya mencerminkan kejayaan budaya adiluhung. Tapi proyek ini justru menodai simbol Majapahit.
“Majapahit itu lambang kejayaan Nusantara. Masa dibangun asal-asalan?”
BETON KEROPOS, STRUKTUR RINGKIH, RAKYAT RISIKONYA
Prof. Antoni menegaskan, mutu beton tak sesuai SNI, desain tidak mengikuti gambar kerja, dan tenaga kerja lapangan kurang kompeten.
“Kalau ini dioperasikan, bisa terjadi kecelakaan massal. Tangga tidak standar, bahan mudah terbakar, jalur evakuasi nihil. Bangunan monumental kok asal cor,”
ujarnya dengan nada prihatin.
Bangunan tiga lantai itu, lantai satu mural, lantai dua resto, lantai tiga dapur , kini berdiri setengah jadi. Seperti bangkai kapal di tengah rawa birokrasi.
AHLI PBJ: “LELANG SUDAH CACAT SEJAK AWAL!”
Ahli Pengadaan Barang dan Jasa, Suhariyanto, membuka “kotak Pandora” tender proyek ini.
“Dari awal sudah salah arah. Pokja PBJ dan panitia lelang tampak tak paham atau pura-pura tak tahu. Ada indikasi pinjam bendera perusahaan, pekerja tidak profesional, semua diatur sebelum proyek dimulai,” ungkapnya.
Proyek dengan dana APBD Kota Mojokerto tahun 2023 ini sejatinya ditujukan untuk memperkuat Taman Bahari Majapahit sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Tapi hasilnya jauh dari cita-cita.
“Kalau ini serius proyek PSN, harusnya bangunannya kuat 50 tahun. Ini 50 minggu saja belum tentu tahan,” katanya, pedas.
Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto telah menetapkan 7 tersangka dalam kasus ini:
Yustian Suhandinata – Sekretaris DPUPR Perakim (nonaktif), PPK & PPA proyek
Zantos Sebaya – Kabid Penataan Ruang & Bina Konstruksi (nonaktif), PPTK
M. Romadon alias Doni – Direktur CV Hasya Putera Mandiri (DPO, diadili in absensia)
Hendar Adya Sukma – Pelaksana konstruksi
M. Kudori – Direktur CV Sentosa Berkah Abadi
Cholid Idris – Eksekutif cover Kapal Majapahit
Nugroho bin Djoewari alias Putut – Pelaksana cover Pujasera Kapal Majapahit
Satu nama mencuri perhatian publik: M. Romadon alias Doni, si “kapten kapal hantu” yang kini berstatus buron.
Alur Proyek Pujasera Kapal Majapahit:
Tender → Pemenang tak kompeten → Beton tak standar → Bangunan gagal → Kerugian negara: Rp 1,91 Miliar
Rakyat hanya melihat bangunan kapal hantu.
“Kapal boleh tak berlayar, tapi nurani rakyat jangan karam.”
CATATAN REDAKSI
Proyek ini bukan sekadar soal uang yang berlayar tanpa pelabuhan, tapi tentang mental birokrasi yang masih menukik di bawah laut dangkal integritas.
Majapahit pernah membangun armada yang menaklukkan samudera. Tapi kini, di tanah peninggalannya, “kapal pujasera” justru karam di selokan proyek gagal.
Rakyat Mojokerto menatap reruntuhan kapal beton itu, sambil bergumam getir:
“Kapal Majapahit tenggelam bukan karena ombak, tapi oleh pikirin picik yang ingin menggarong uang rakyat.”
Ngakune Wong Mojopahit, Tapi Ora Ngerti Aji Luhur
Roh Majapahit Menangis di Tengah Puing-Puing Proyek Pembangunan Pujasera Kapal Majapahit
Ketika kebesaran leluhur dijadikan proyek pencitraan, rakyat hanya bisa berzikir di warkop pinggiran.
Budaya Majapahit dengan bayangan sosok Ratu Tribhuwana Tunggadewi diantara bangunan Pujasera berbentuk Kapal Majapahit yang dalam perkara.
“Ngakune wong Mojopahit... tapi ora ngerti aji luhur.”
“Pemerintah yang Lupa Cermin Sejarah”
Majapahit bukan sekadar nama, tapi jiwa peradaban.
Ia lahir dari kesadaran moral dan rasa cinta tanah air yang tak bisa dibeli dengan APBD.
Ketika seorang pemimpin memakai nama Majapahit hanya untuk membungkus proyek gagal, ia sebenarnya sedang menyobek kain sejarah suci leluhurnya sendiri.
Walikota perempuan pertama Mojokerto seharusnya membawa keharuman nilai ibu, lembut tapi tegas, cerdas tapi berhati.
Namun kini, rakyat menyaksikan kapal simbol kejayaan Majapahit karam bahkan sebelum berlayar.
Bukan karena badai, tapi karena ketamakan dan kehilangan rasa.
SURAT TERBUKA RAKYAT MOJOPAHIT
(Ditulis dari warkop pinggiran, diseduh dengan kopi hitam pahit)
“Ibu Wali, kami ini rakyat kecil yang masih setia menjaga bara api Majapahit di dada kami. Kami bukan pejabat, bukan kontraktor, tapi kami punya rasa.
Kami tahu mana bangunan yang dibuat dengan hati, mana yang dibuat dengan angka.
Kapal Majapahit yang katanya simbol kejayaan, justru miring, retak, dan rapuh.
Kami malu, Bu. Sebab Majapahit yang dulu mempersatukan Nusantara dengan welas asih, kini dijadikan alat pencitraan birokrasi yang kehilangan makna.
Apalah arti gelar “Walikota Perempuan Pertama Mojokerto” kalau tak memeluk rakyatnya dengan kasih?
Kami tidak butuh baliho, kami butuh rasa memiliki.
Ngakune wong Mojopahit… tapi ora ngerti aji luhur.”
(“Penikmat Kopi Pinggiran Brantas”)
Ronggowarsito dan Zaman Edan
“Zaman edan, yen ora edan ora keduman, nanging sanadyan edan, yen eling lan waspada, iku tandha wong kang utama.”
"Pujangga Agung Raden Ngabehi Ronggowarsito"
Ronggowarsito telah lama menulis tentang zaman ini, zaman edan di mana kebenaran dikalahkan oleh pencitraan, kejujuran dipinggirkan oleh proyek, dan kesetiaan dikalahkan oleh kepura-puraan.
Namun pujangga itu juga memberi jalan: eling lan waspada.
Majapahit tidak butuh pemimpin yang berteriak besar di podium, tapi butuh pemimpin yang bisa mendengar bisikan sunyi rakyatnya.
Yang bisa menunduk, bukan sekadar menundukkan.
“Nurani yang Mati ”
Rakyat Mojopahit mungkin tak punya kekuasaan, tapi masih punya rasa malu.
Dan rasa malu itu yang kini hilang dari banyak pejabat kota.
Mereka lupa, yang membuat Majapahit besar bukanlah istana megah, tapi kesadaran akan kebenaran dan kebajikan.
Selama pemimpin masih lebih sibuk menghitung anggaran daripada mendengar nurani,
selama nama Majapahit hanya dipakai untuk spanduk,
selama itu pula roh leluhur akan tetap menangis di bawah hujan Brantas.
“Sing ora iso mbangun rasa, ojo ngaku penerus Mojopahit.”
#Suara rakyat Pinggiran
Di Warkop pinggiran, obrolan tak pernah basi: “Walikota perempuan pertama ini harusnya paham sejarah, bukan memoles citra. Mojopahit bukan legenda kosmetik tapi napas peradaban!”
DETAK EDITORIAL
Kami tidak menuduh, kami mengingatkan.
Kami tidak membenci, kami menulis agar nurani tidak mati.
Sebab di tanah Majapahit, kejujuran adalah pusaka yang tak boleh dikubur oleh ambisi.
