SOFANKA & “DEATH OF THIEF”. Ketika Seekor Tikus Mati Menyuarakan Luka Mojokerto
-Baca Juga
Di tengah geliat Wisata TBM Rejoto yang sedang memamerkan karya seni, sebuah foto justru mencuri perhatian: seekor tikus mati, sebuah mahkota kertas oranye, dan trotoar rusak. Karya fotografi berjudul “Death of Thief” karya Sofanka, jurnalis foto Radar Mojokerto – Jawa Pos, mendadak menjadi simbol telanjang dari keletihan publik atas praktik korupsi yang membelit Mojokerto.
Sebuah Kematian yang Justru Menghidupkan Kesadaran**
Tikus mati itu tergeletak kaku di atas beton trotoar yang dikerjakan setengah hati. Tak ada darah. Tak ada dramatisasi. Hanya seekor bangkai kecil, namun dengan pesan yang jauh lebih besar dari ukurannya. Di atas kepalanya, bertengger sebuah mahkota kertas oranye, seolah-olah ia adalah “raja kecil” yang baru saja tumbang.
Foto berjudul “Death of Thief” ini dipamerkan dalam event seni Taman Bahari Majapahit (TBM) Rejoto Kota Mojokerto. Karya ini bukan hanya menggugah estetika, tetapi membangunkan kesadaran dibaca publik sebagai sindiran paling keras yang lahir dari dunia seni.
**TENTANG SOFANKA:
Fotografer yang Merekam Luka Sehari-hari**
Sofanka yang akrab dipanggil “Sofan” bukan sosok fotografer yang mengejar kemegahan. Ia justru memburu yang remeh-temeh: benda-benda, sudut-sudut, dan momen-momen yang sering dilewatkan orang.
“Saya memotret apa adanya. Jalanan itu jujur. Kadang justru lebih jujur dari kita.”
— Sofanka
Dalam kesehariannya sebagai fotografer media, ia lebih sering memotret hiruk-pikuk Mojokerto: pasar, banjir, kasus kriminal, rapat pejabat, dan peristiwa politik. Namun dalam seri foto ini, ia beralih ke hal yang lebih sunyi benda-benda yang ditemukan di jalanan.
“Death of Thief” merupakan bagian dari seri tersebut. Tidak dirancang, tidak direkayasa. Sofanka menemukannya, mengabadikannya, dan membiarkan publik menafsirkan.
KENAPA FOTO INI MENGGEMA?
Simbol yang Terlalu Kuat untuk Diabaikan
Tikus telah lama menjadi metafora koruptor di imajinasi publik.
Maka saat seekor tikus mati difoto dengan mahkota kertas, publik langsung menempelkan makna:
Tikus = pencuri, koruptor
Mati = tumbangnya kerakusan
Mahkota = kekuasaan yang selama ini melindungi kejahatan
Trotoar rusak = proyek yang dikerjakan asal-asalan
Simbol-simbol ini bersatu membentuk narasi kuat:
bahwa kejahatan suatu hari akan menemukan kematiannya.
Konteks Kota Mojokerto yang Tengah Bergejolak
Pameran ini digelar di tengah sorotan besar terhadap kasus dugaan korupsi proyek Kapal Majapahit, salah satu ikon TBM Rejoto yang kini berperkara di PN Tipikor Surabaya.
Kota masih ramai membahas persidangan, dan publik masih menilai bagaimana kapal yang seharusnya menjadi kebanggaan justru karam oleh persoalan hukum.
Di situlah foto ini terasa tepat waktu.
Tepat sasaran.
Tepat makna.
Lokasi Pengambilan Foto Menambah Ironi
Sofanka mengambil foto ini di Jalan Surodinawan, kawasan yang trotoarnya banyak dikerjakan asal-asalan. Visual itu memperkuat kritik:
Infrastruktur buruk bukan hanya masalah teknis, tetapi moral.
Foto yang Mengundang Bisik-Bisik**
Di ruang pamer TBM Rejoto, pengunjung berhenti lama di depan karya ini.
Tak sedikit yang tertawa getir.
Sebagian lain berdesis pelan, “Iki nyindir sopo rek?”
Beberapa bahkan mengibaratkan karya itu sebagai “potret paling jujur tentang Mojokerto tahun ini.”
Anak-anak sekolah yang melihat pameran pun memberi komentar polos:
“Itu tikus koruptor yang akhirnya mati.”
“Mahkotanya masih nempel, tapi dia sudah gak berkuasa.”
Komentar yang sederhana, tapi mewakili ruang batin publik:
bahwa generasi baru pun mulai memahami ketidakadilan yang diwariskan.
Ruang Wisata yang Mendadak Menjadi Ruang Kontemplasi**
Taman Bahari Majapahit selama ini dikenal sebagai ruang rekreasi keluarga.
Namun lewat pameran seni ini, tempat itu berubah menjadi ruang refleksi kolektif.
Kehadiran kasus Kapal Majapahit yang sedang disidang justru memperkuat nuansa kritik di setiap karya. Seolah-olah TBM Rejoto sedang “mengaku” sekaligus “mengoreksi” dirinya lewat seni.
Ketika Seni Menjadi Hakim yang Lebih Tajam dari Pengadilan**
“Death of Thief” akan terus diingat bukan karena dramanya, tapi karena kejujurannya.
Karena ia berbicara tentang apa yang sering ditutupi:
bahwa kekuasaan bisa membuat seseorang jadi raja, meski hanya raja tikus.
Namun semua raja tipu daya suatu saat akan tumbang.
Mojokerto butuh pembangunan.
Mojokerto butuh kemajuan.
Namun sebelum semua itu, Mojokerto butuh kejujuran.
Dan kadang, kejujuran itu datang dari sebuah foto kecil yang memotret seekor bangkai.
