Bayang-Bayang di Balik Sarung KADES RANDUHARJO tanda Kecemasan dan Integritas Pemilu
-Baca Juga
Di bawah terik mentari Mojokerto, sebuah bayangan tertunduk lesu, seperti bunga layu ditimpa badai. Itulah Edo Yudha Astira, Kepala Desa Randuharjo, terselubung dalam balutan kaos pink, celana krem, dan sarung yang seakan ingin membutakan dunia dari kesalahannya. Pada 10 Desember 2024, ia memulai masa hukuman satu bulan penjara – hukuman yang bukan sekadar angka, melainkan simpfoni kecemasan yang menggema atas pelanggaran netralitas pemilu yang telah mencoreng proses demokrasi selama Pilkada 2024. Kisah ini lebih dari sekadar pelanggaran; ia adalah kanvas yang melukiskan kerentanan sistem dan perjuangan panjang untuk menjaga integritas pemilu.
Psikologis Terganggu: Senyum Untuk Menutupi Kecemasan di balik jeruji penjara
Di ruang sidang Pengadilan Negeri Mojokerto, pada 4 Desember 2024, suara palu hakim Fransiskus Wilfridus menjatuhkan vonis bagai petir yang menyambar: bersalah. Astira terperangkap dalam jaring Pasal 188 UU No. 1/2015, Pasal 71 Ayat (1) UU No. 10/2016, dan Pasal 64 Ayat (1) KUHP – tiga pasal yang menjadi batu nisan atas pelanggaran yang telah ia perbuat. Hukuman satu bulan penjara dan denda Rp 5 juta (subsider satu bulan kurungan) bukanlah sekadar sanksi; ia adalah seruan tegas bahwa keadilan akan menuntut pertanggungjawaban atas setiap tindakan yang mencemari proses demokrasi.
Eksekusi hukuman yang segera dilakukan, secepat panah yang melesat, menunjukkan tekad baja sistem peradilan. Pernyataan Kasubsi 1 Seksi Intelijen Kejari Kabupaten Mojokerto, Fachri Dohan Mulyana, yang menegaskan keputusan final dan mengikat, bergema bagaikan dentuman meriam, mengumandangkan pesan yang menggema di sanubari: Indonesia tak akan menoleransi pengkhianatan terhadap cita-cita luhur demokrasi.
Kasus Astira bukanlah sekadar catatan hukum; ia adalah puisi yang menyayat hati, mengungkap kerentanan sistem dan perjuangan tanpa henti untuk menjaga integritas pemilu. Pelanggaran yang mungkin tampak kecil itu telah menorehkan luka dalam pada kepercayaan publik, memicu refleksi mendalam tentang komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi. Putusan ini, sebagaimana fajar yang menerobos kegelapan, diharapkan menjadi titik balik, menghentikan laju mereka yang ingin menghancurkan fondasi demokrasi. Kasus ini adalah monumen abadi: Indonesia tak akan berdiam diri menyaksikan pengkhianatan terhadap suara rakyat dan cita-cita demokrasi.
Penulis DION
Editor DJOSE