Privasi, Etika, dan Hak ASN: Saat Kehormatan Pribadi Diuji di Ruang Publik
-Baca Juga
Di tengah semangat reformasi birokrasi yang menekankan integritas dan profesionalisme aparatur sipil negara (ASN), muncul tantangan baru yang sering kali luput dari perhatian: pelanggaran terhadap hak privasi dan penghakiman di ruang publik melalui media.
Kasus terbaru yang menimpa Noer Rahman Wijaya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang, memperlihatkan bagaimana ruang publik bisa menjadi arena penghukuman moral tanpa verifikasi. Media sosial dan pemberitaan daring ramai menyoroti dugaan poligami yang dikaitkan dengan beliau, disertai penyebaran foto pernikahan pribadi yang diambil tanpa izin dan dipublikasikan tanpa konfirmasi.
Terlepas dari benar atau tidaknya peristiwa tersebut, terdapat persoalan yang jauh lebih mendasar dan penting untuk dikritisi: pelanggaran hak atas privasi, tidak berimbangnya pemberitaan, dan potensi pencemaran nama baik.
Media memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang faktual, berimbang, serta menjunjung asas praduga tak bersalah. Namun dalam kasus ini, yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian media menulis dengan nada penghakiman, tanpa menyampaikan keterangan dari pihak yang diberitakan. Padahal, menurut Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik, setiap berita wajib mengedepankan prinsip verifikasi dan keberimbangan.
Lebih jauh lagi, penyebaran foto pribadi tanpa izin adalah bentuk pelanggaran hak atas data dan citra seseorang, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. Tindakan ini bukan hanya tidak etis, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Kita tentu tidak menutup mata bahwa ASN memiliki tanggung jawab moral dan administratif. Namun, pelanggaran etika media tidak bisa dibenarkan hanya karena yang diberitakan adalah pejabat publik. Setiap warga negara, siapapun dia, tetap memiliki hak konstitusional untuk dihormati kehormatannya.
Dalam konteks ini, publik harus lebih kritis. Alih-alih larut dalam pusaran asumsi, kita justru perlu mendorong media untuk tetap menjadi penjaga nilai demokrasi bukan alat penyebar sensasi. Kita harus membedakan antara jurnalisme investigatif yang bermartabat dan kampanye pembusukan yang dilandasi motif personal.
Keadilan tidak lahir dari linimasa. Ia lahir dari keberanian untuk menegakkan kebenaran secara utuh dengan data, konfirmasi, dan nurani. ASN, sebagaimana warga negara lain, juga berhak atas itu.
Penulis adalah Profesional Muda aktif menyuarakan isu etika komunikasi dan perlindungan hak sipil.