Jejak Sunyi Sang Sufi: Mbah Mukrim dari Ngimbang, Ulama Kampung yang Tak Luntur oleh Zaman
-Baca Juga
Ngimbang, Mojosari, Mojokerto — Dalam keheningan yang dalam, nama Mbah Mukrim tetap hidup. Tak tercatat dalam buku sejarah, tak viral di dunia maya. Tapi beliau abadi di hati para santri, para kiai kampung, dan masyarakat yang merasakan berkah dari laku hidupnya. Dakwah beliau tidak bersuara keras, tapi menggema di jiwa.
Tahun ini, haul ke-55 Mbah Mukrim kembali digelar dengan khidmat. Ribuan jamaah hadir, termasuk Gus Barra (Bupati Mojokerto) dan Gus Miftah, menandai bahwa keteladanan ulama desa seperti beliau tetap dicari di tengah zaman yang bising dan serba instan.
“Mbah Mukrim itu ulama yang wirai, halus tutur katanya, dalam ilmunya, dan tegas sikapnya. Beliau berdakwah tanpa pengeras suara, tapi setiap kata menancap di hati,” ujar salah satu jamaah haul yang sejak kecil mengenang beliau.
Dakwah Tanpa Pengeras Suara, Tapi Menggetarkan Jiwa
Ulama zaman dulu, seperti Mbah Mukrim, berdakwah dengan penuh adab dan kesantunan. Tak ada suara menggelegar. Tak ada ambisi menguasai langit-langit langgar dengan volume. Mereka lebih memilih kekhusyukan, bukan keramaian.
“Sekarang ini banyak pengajian volume-nya tinggi, tapi ilmunya tidak nyantol. Kiai dulu ngajinya pelan, tapi merasuk. Mbah Mukrim itu contohnya,” ucap seorang kiai muda dari Mojosari.
Di mushola kecil, di sela-sela ladang, atau di teras rumah warga, beliau membimbing masyarakat dengan zikir dan hikmah, bukan ceramah penuh candaan. Tidak mencari tepuk tangan. Tidak memburu followers. Tapi beliau dicintai karena ketulusan yang tak bisa dipalsukan.
Warisan yang Diam, Tapi Menghidupkan
Tak banyak jejak tertulis tentang Mbah Mukrim. Sejarahnya hidup dari getok tular, dari cerita lisan yang dirawat oleh para kiai sepuh dan santri kampung. Tapi dari situlah tampak: ada keikhlasan yang diwariskan, ada kemuliaan yang tak tertulis.
Beliau adalah sosok yang lebih memilih diam dalam amal, dibanding ramai dalam kata. Tapi justru dari diamnya itulah, banyak hati tergerak, banyak rumah berubah arah, banyak anak muda menemukan makna hidup.
“Beliau seperti air sumur tua tenang, jernih, tapi menyuburkan,” tutur seorang tokoh NU dari Mojokerto.
Menjaga Nyala dari Getok Tular
Hari ini, ketika ceramah dikemas seperti panggung hiburan, kita rindu pada ulama yang ngajinya gayeng tapi mengendap, bukan gaduh. Mbah Mukrim adalah simbol dari keteladanan yang tidak haus sorotan, tapi penuh karomah.
Haul ke-55 bukan sekadar peringatan tahunan. Ia adalah pernyataan bahwa ruh perjuangan dakwah ala kampung belum padam. Dan bahwa suara lirih para sufi desa seperti Mbah Mukrim, masih lebih nyaring daripada mikrofon mana pun karena ia bersumber dari keikhlasan.
Merawat Jejak, Menjaga Arah
Jejak Mbah Mukrim adalah jejak yang tidak ditulis pena, tapi ditanam dalam jiwa. Dan seperti pohon tua yang akarnya dalam, beliau tetap meneduhkan hingga hari ini.
Tugas kita kini bukan hanya mengenang, tapi juga melanjutkan dengan adab, dengan laku hidup, dan dengan cinta yang tak bersuara keras tapi sampai ke hati. Sebab dari para ulama kampunglah, Islam tumbuh tanpa gaduh. Dan kepada mereka pula kita pulang belajar.