Kopi Pahit dari Balai Kota: 1.101 Pegawai Non-ASN dan Nurani Kekuasaan yang Hilang
-Baca Juga
Di kota kecil yang sering membanggakan diri sebagai kota cerdas dan ramah investasi, aroma pahit tak hanya datang dari secangkir kopi hitam di malam hari. Ada yang lebih getir dari itu: nasib 1.101 pegawai non-ASN Pemkot Mojokerto yang sejak 2022 tak kunjung masuk dalam database resmi BKN. Mereka bekerja, mengabdi, dan menyokong pelayanan publik kota tanpa pengakuan negara. Seolah mereka hanya bayangan di balik meja pelayanan, bukan bagian dari sistem yang sah.
Sejak tahun 2022, para pegawai non-ASN ini terlempar dari skema pendataan nasional. Mereka tidak masuk daftar prioritas pengangkatan PPPK, padahal banyak di antaranya telah mengabdi bertahun-tahun, sejak masa Wali Kota Ika Puspitasari menjabat pertama kali tahun 2018. Kini, mereka mulai bergerak. Bukan lagi diam atau pasrah. Mereka mendatangi Komisi I DPRD Kota Mojokerto, membawa harapan yang tersisa.
Lantas bagaimana respons para penguasa kota?
Dewan Bergerak, Eksekutif Menimbang
Komisi I DPRD Kota Mojokerto patut diapresiasi. Mereka menyambut aduan honorer dengan serius. Hearing digelar. Kritik disampaikan. Bahkan, moratorium perekrutan honorer baru dijadikan sikap politik, sekaligus tekanan agar belanja pegawai tak jebol anggaran. Komisi I juga menolak outsourcing sebagai solusi sembrono yang menyalahi regulasi.
Namun, langkah legislatif tak akan berarti jika pihak eksekutif hanya menonton dari balik tirai regulasi. Wali Kota Ika Puspitasari memang menjanjikan pegawai non-ASN akan tetap dikontrak langsung oleh OPD, tanpa outsourcing. Tapi sampai hari ini, solusi struktural belum kunjung hadir. Mereka tetap tak masuk database BKN. Mereka tetap digaji di bawah UMK. Dan mereka tetap tak punya jaminan masa depan.
Apakah ini bentuk dari tata kelola yang manusiawi?
Narasi ‘Kontrak Aman’ dan Senyapnya Nurani Politik
Narasi yang diusung Pemkot Mojokerto cenderung legalistik. Semua dikembalikan pada aturan PP 49/2018 atau UU ASN 2023. Padahal, jika kita bicara soal hak dasar manusia, regulasi adalah alat, bukan alasan untuk menolak keadilan. Apalagi jika pemerintah pusat memberi celah dalam proses pendataan tambahan hingga Desember 2024. Di sinilah seharusnya pemimpin daerah bergerak lebih dulu, bukan sekadar bertahan di garis aman.
Apakah selama lima tahun kepemimpinan Ika Puspitasari sebelumnya, tidak ada ruang untuk memperjuangkan nasib mereka? Bukankah mereka bagian dari mesin birokrasi yang membuat kota ini tetap berjalan, meski dengan upah seadanya?
Politik Kemanusiaan Harus Ditegakkan
Mereka bukan sekadar angka dalam APBD. Mereka adalah tenaga admin sekolah, petugas kesehatan, staf kelurahan, hingga penggerak pelayanan teknis yang hadir setiap hari di kantor-kantor pemerintahan. Mereka manusia, dengan keluarga, tagihan listrik, dan harapan tentang masa depan.
Jika saat ini mereka berani menyuarakan aspirasi secara kolektif ke DPRD, itu adalah bentuk kedewasaan demokrasi. Dan tidak selayaknya dijawab dengan narasi normatif atau janji yang terus diulur. Ini bukan soal kekuasaan, tapi nurani.
Kopi malam memang pahit, tapi tidak sepahit diamnya kekuasaan ketika rakyat kecil meminta pengakuan. Mojokerto butuh pemimpin yang tak hanya paham aturan, tapi juga berpihak pada yang lemah. Jika hari ini 1.101 pegawai non-ASN ditinggalkan, maka sejarah akan mencatat: ada babak kelam di Balai Kota, saat nurani politik mati sebelum masa jabatan berakhir.
Catatan redaksi:
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis yang berangkat dari realitas sosial Kota Mojokerto. Tulisan ini tidak mewakili institusi manapun.