“Panggung Janji di Aula Mall Pelayanan Publik Kota Mojokerto: Api Membara Di Bumi WILWATIKTA”
-Baca Juga
Siang itu, Kamis (21/8/2025), Mojokerto masih basah oleh sisa hujan malam sebelumnya. Namun, hawa panas menyelimuti Aula Mall Pelayanan Publik (MPP). Bukan panas cuaca, melainkan panasnya hati 1.144 orang pegawai non ASN yang sejak pagi digiring untuk hadir. Mereka datang bukan untuk pesta, bukan pula untuk seremoni mereka datang dengan satu harapan, jawaban tegas atas nasib mereka yang menggantung di awang-awang birokrasi.
Di panggung depan, Wali Kota Ika Puspitasari duduk berdampingan dengan Sekda Gaguk Prasetya. Senyum diplomatis tersungging di wajah pejabat, seolah ingin menenangkan massa. Namun, suasana aula terasa tegang. Orang-orang duduk berdesakan, sebagian duduk dengan wajah muram, memeluk map berisi berkas yang sudah entah berapa kali diserahkan ke instansi.
Dialog pun dimulai. Namun, alih-alih forum yang serius, acara ini berubah menjadi seperti panggung hiburan politik. MC yang dikenal sebagai buzzer internal, justru mengoceh seperti host acara dangdut malam. Beberapa peserta mulai berbisik:
“Ini forum resmi atau hiburan?” kata seorang pegawai honorer dari salah satu SD negeri.
Ketika sesi tanya-jawab dibuka, yang mengemuka hanyalah janji-janji lama. “Pendataan akan kami tuntas-kan,” kata Ika, dengan nada yang seolah menenangkan. “Semua akan diajukan ke KemenPAN-RB,” sambungnya.
Namun, fakta pahit terungkap: baru separo dari 1.144 pegawai non ASN yang berhasil diusulkan ke BKN. Separonya lagi? “Proses,” begitu kata pejabat yang dimintai penjelasan. Kata “proses” yang kini terdengar kosong di telinga para pegawai yang sudah mengabdi lebih dari 7, 10, bahkan 16 tahun.
“Janji ini sudah sering kami dengar sejak 2022,” bisik seorang pegawai yang duduk di barisan belakang, matanya tajam menatap ke arah panggung. “Kami bukan minta dimanja, kami cuma minta keadilan.”
Di luar aula, beberapa pegawai mengeluh. Mereka membatalkan aksi unjuk rasa kemarin karena ada janji pendataan ulang. Kini, setelah mendengar paparan yang lebih mirip retorika politik ketimbang solusi, amarah mereka semakin membara.
Seorang pegawai lain, yang enggan disebut namanya, menahan kekesalan. “Kami ini kayak bola digiring ke sana-ke mari. Tapi gawangnya nggak pernah kelihatan,” ujarnya getir.
Di akhir acara, suasana aula MPP masih tegang. Beberapa pegawai keluar sambil menggerutu, ada yang mengangkat telepon mengabari rekan-rekannya yang tak bisa hadir: “Belum ada kepastian, rek. Janji manis maneh!”
Di luar gedung, langit Mojokerto mulai memerah. Matahari sore menyinari kota kecil yang hari itu menyimpan bara emosi ribuan pegawai honorer. Bara yang mungkin suatu saat akan menyala lagi menjadi api, ketika kesabaran sudah benar-benar habis.
“Di aula MPP, janji-janji dilontarkan. Tapi di dada ribuan pegawai non ASN, bara amarah terus menyala. Suatu Saat akan MBLEDOSSS….Bagai Bom Waktu, Boommm….
ANALISIS POLITIK;
Fenomena yang mencuat di Mojokerto hari-hari ini bukan sekadar masalah administrasi pegawai non ASN. Ini adalah potret dinamika kekuasaan yang kian menebalkan aroma dinasti dan oligarki di Kota Onde-onde.
Sejak Ika Puspitasari menjabat pada 2018, pola kekuasaan di lingkup Pemkot Mojokerto perlahan berubah. Jabatan strategis dipenuhi figur loyal, bukan figur profesional. Pola inilah yang melahirkan kultur birokrasi yang bukan melayani publik, tetapi mengamankan kekuasaan wali kota dan lingkarannya.
Langkah Plt. Bakesbangpol sekaligus Kepala BKPSDM, Imrokul Yasak, yang menelpon dan “mengintimidasi” Iwud Widiantoro, pendamping aksi non ASN, adalah bukti gamblang. Ketika suara kritis muncul, bukan pendekatan dialog konstruktif yang ditempuh, melainkan represi halus yang berujung pembatalan aksi unjuk rasa.
Ini bukan insiden tunggal. Dalam periode pertama kepemimpinannya, pola serupa kerap terlihat: oposisi dilemahkan, kritik dihadang, dan informasi dikendalikan. Pola komunikasi politik Pemkot Mojokerto sejak lama dikuasai oleh buzzer dan jaringan loyalis, sehingga aspirasi publik sering dipelintir menjadi isu-isu tak substansial.
Di sisi lain, lambannya pendataan non ASN juga diduga bukan semata faktor teknis. Banyak analis lokal melihat ini sebagai upaya mempertahankan “ketergantungan” para pegawai honorer pada kekuasaan, agar tetap bisa dijadikan komoditas politik setiap momentum elektoral.
Situasi ini memperlihatkan bahwa oligarki lokal bukan sekadar mitos. Di Kota Mojokerto, ia menjelma menjadi struktur kuasa yang mengendalikan birokrasi, informasi, dan bahkan harapan orang-orang kecil yang menggantungkan hidupnya pada status kepegawaian.
Jika pola ini terus dibiarkan, Kota Mojokerto berpotensi terjerumus lebih dalam ke jurang feodalisme modern, di mana kebijakan publik tidak lagi berpihak pada warga, tetapi pada segelintir elite yang memegang kendali.
“Dari aula MPP hingga ruang rapat tertutup, satu pola yang sama terlihat: birokrasi bukan lagi rumah pelayanan, melainkan menara gading kekuasaan. Dan para pegawai non ASN, hanyalah pion di papan catur oligarki dinasti.