“Yang Gagal Turun ke Jalan: Drama Non-ASN Mojokerto yang Tertahan Telepon”
-Baca Juga
Langit Mojokerto, Rabu 20 Agustus 2025, mendung sejak pagi. Rintik hujan berubah deras ketika jarum jam mendekati pukul 15.00 WIB. Di jalan Gajah Mada No. 145, Balai Kota Mojokerto, tak ada riuh ribuan orang seperti yang dijanjikan. Tak ada bendera, tak ada poster tuntutan, tak ada teriakan orasi.
Padahal, sehari sebelumnya, semua sudah dipersiapkan. Spanduk-spanduk “Aksi Damai 1.101 Non-ASN” terlipat rapi di MARKAS mereka di Surodinawan depan kantor DPRD Kota Mojokerto, siap dibawa ke balai kota. Para pegawai honorer itu sudah sepakat: mereka tak akan pulang sebelum ada tanda tangan Wali Kota Ika Puspitasari di atas kertas pernyataan.
Tapi pagi itu, aksi bubar sebelum sempat dimulai.
TELEPON MALAM SEBELUM BADAI
Selasa malam, 19 Agustus 2025, sebuah telepon masuk ke ponsel Iwud Widiantoro. Ia adalah pendamping aksi, orang yang dianggap mengerti cara mengatur massa. Suara di seberang sana tegas, bahkan cenderung mengancam.
“Arek-arek ga mungkin ngerti alur aksi turun jalan nek ga awakmu sing ngajari,” kata Imrokul Yusak, Plt. Bakesbangpol, seperti ditirukan Iwud kepada DETAK INSPIRATIF.
Kalimat itu seperti pesan sandi: jangan teruskan aksi. Batal. Alih-alih turun ke jalan, mereka diminta kembali ke instansi masing-masing untuk pendataan ulang.
Iwud resah. Deadline pendaftaran non-ASN ke BKN jatuh tepat keesokan harinya, Rabu 20 Agustus. Se-Indonesia sedang antre memasukkan data. Bagaimana mungkin 1.101 orang Kota Mojokerto bisa terakomodasi dalam hitungan jam? “Saya pesimis. Rasanya hanya janji-janji,” katanya.
JANJI SEJAK 2018
Kisah ini bukan bermula semalam. Sejak 2018, ketika Ika Puspitasari dilantik sebagai wali kota, para pegawai non-ASN sudah menunggu kepastian. Data mereka tak kunjung disetor ke BKN. Padahal forum honorer mengaku sudah menyerahkan berkas sejak 2022.
“Yang tahun 2022 tidak dimasukkan Pemkot Mojokerto ke pangkalan database BKN,” ujar Fendi, salah seorang honorer.
Hingga 2023, saat masa jabatan pertama Ika berakhir, tak ada kejelasan. Tahun 2024, ketika kota dipimpin Penjabat Wali Kota Ali Kuncoro, nasib mereka tetap sama. Dan kini, di periode kedua Ika, sejarah berulang: SPTJM tak juga ditandatangani.
MEREKA YANG TAK NAMPAK
Hari itu, pagi yang cerah Satpol-PP dikerahkan ke kantor Pemkot Mojokerto untuk berjaga jaga. Namun setelah itu mereka kembali ke barak. Setelah mendengarkan informasi dari komandan mereka. Unjuk rasa batal. Sejumlah pegawai non-ASN yang sudah bersiap ke balai kota menerima pesan baru: aksi dibatalkan. Mereka diarahkan kembali ke kantor tempat mereka bekerja.
Ketua forum non-ASN, hanya bisa menarik napas panjang. “Kami sudah siap aksi. Tapi lagi-lagi ditunda dengan alasan pendataan ulang. Padahal waktu sudah habis.”
Di sisi lain, di meja-meja kerja sekolah dasar dan puskesmas, ada wajah-wajah letih. Seorang guru SD yang sudah mengajar sejak 2009, mengaku kecewa. “Enam belas tahun saya mengajar, tapi nama saya tak ada di database. Kami ingin status jelas, bukan sekadar dijanjikan.”
JEJAK YANG MENGHILANG
Detak inspiratif mencoba mengkonfirmasi Yusak. Telepon genggamnya tak diangkat. Saat dicari ke kantor BKPSDM di Jalan Bhayangkara, seorang satpam berkata, “Sejak pagi bapak tidak di kantor. Katanya ada kegiatan di luar kota.”
Jejak pejabat itu hilang, sama hilangnya dengan kepastian nasib 1.101 pegawai honorer.
Sementara Wali Kota Ika Puspitasari memilih bungkam. Tidak ada pernyataan resmi soal mengapa sejak 2018 ia enggan menandatangani SPTJM. Tidak ada pula jawaban atas tudingan bahwa Pemkot sengaja tak mengirim data ke BKN.
MASA DEPAN YANG TERGADAI
Tanpa masuk database BKN, pegawai non-ASN hanya akan jadi penonton. Mereka otomatis tercecer di kategori R4 urutan paling belakang jika kelak ada formasi ASN atau PPPK.
Seorang guru, seorang perawat, seorang staf administrasi yang puluhan tahun mengabdi, bisa saja berhenti di titik ini. Bekerja untuk negara tanpa negara pernah benar-benar mengakui mereka.
Dr. Suryo Adi Prakoso, pakar hukum ketenagakerjaan UNAIR:
“Jika benar data non-ASN Kota Mojokerto tidak diteruskan ke BKN padahal sudah diserahkan sejak 2022, itu bentuk kelalaian serius. Honorer berhak menggugat melalui jalur hukum, termasuk PTUN. Persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan janji politik.”
Sore itu, hujan reda. Jalanan di depan Balai Kota kembali lengang. Tak ada barisan massa, tak ada orasi. Yang tersisa hanya sisa air hujan dan kekecewaan yang membasahi hati ribuan pegawai.
Demo boleh gagal. Tapi dendam tak pernah benar-benar reda. Suatu hari, janji yang terus ditunda bisa berubah menjadi badai yang tak bisa lagi ditahan hanya dengan sebuah telepon.
Kronologi: Jejak Panjang Janji Non-ASN Mojokerto
📌 2018 – Ika Puspitasari dilantik jadi Wali Kota Mojokerto. Ribuan tenaga non-ASN berharap masuk database BKN.
📌 2020 – Pemerintah Pusat mulai mewacanakan penghapusan honorer. Non-ASN Mojokerto panik.
📌 2022 – Forum Non-ASN kumpulkan data, diserahkan ke Pemkot Mojokerto. Data tak pernah dikirim ke BKN.
📌 2023 – Masa jabatan pertama Ika berakhir. Nasib honorer tetap mengambang.
📌 2024 – Penjabat Wali Kota Ali Kuncoro juga tak ambil langkah berarti.
📌 2025 (awal) – Ika kembali menjabat, desakan makin kencang.
📌 1 Agustus 2025 – Perwakilan Non-ASN mengadu ke Komisi I DPRD. Dewan janji mengawal ke BKN.
📌 19 Agustus 2025 – Malam, Iwud Widiantoro ditelepon Yusak, Plt. Bakesbangpol. Aksi diminta batal.
📌 20 Agustus 2025 – Deadline nasional BKN. Rencana demo 1.101 Non-ASN gagal total. Mereka hanya didata ulang.
Siapa Untung, Siapa Rugi?
⚖️ Pemerintah Kota Mojokerto
✅ Untung: Aksi gagal, jalanan tetap tenang, tak ada kerumunan ribuan orang.
❌ Rugi: Reputasi makin tercoreng, citra wali kota dianggap PHP.
⚖️ Komisi I DPRD Mojokerto
✅ Untung: Bisa berdalih sudah menampung aspirasi, tinggal lempar bola ke Pemkot.
❌ Rugi: Kredibilitas dipertanyakan. Janji “ke BKN” tak jelas ujungnya.
⚖️ Pegawai Non-ASN (1.101 orang)
✅ Untung: Ada janji pendataan ulang, meski samar.
❌ Rugi: Kehilangan momentum. Deadline BKN lewat, status makin kabur.
⚖️ Publik Kota Mojokerto
✅ Untung: Kota tetap kondusif, tak ada macet, tak ada ribuan orang turun ke jalan.
❌ Rugi: Pajak rakyat dipakai gaji honorer, tapi hak mereka tak kunjung jelas.
Seperti jurus kungfu dalam film Jet Li, pukulan Pemkot Mojokerto datang tanpa terlihat: bukan dengan pentungan, bukan dengan water canon, tapi dengan sebuah telepon di malam hari.
Aksi massa yang sudah digadang sejak berminggu-minggu runtuh hanya dengan satu kalimat intimidasi. “Arek-arek ga mungkin ngerti alur aksi turun jalan nek ga awakmu sing ngajari.”
Massa bubar sebelum berkumpul. Spanduk terlipat sebelum terbentang. Teriakan protes hilang ditelan hujan deras Mojokerto.
Namun, persoalan bukan selesai. Justru semakin dalam, semakin tajam. Karena 1.101 orang kini sadar: mereka bukan hanya sedang berhadapan dengan birokrasi, tapi dengan politik janji tanpa bayangan.
Majapahit tidak pernah mengenal kata takut, apalagi tunduk pada klenik kekuasaan. Dari balik tembok kerajaan yang pernah jaya, hingga ke medan juang para pejuang republik, satu semboyan selalu terngiang: “Hidup atau mati, merdeka!”. Pekik itu bukan sekadar kata, melainkan darah dan nyawa yang dipertaruhkan demi menyingkirkan belenggu penjajahan.
Hari ini, pekik yang sama seolah diwarisi oleh para tenaga non-ASN Mojokerto. Mereka tidak bersenjata keris atau bambu runcing, melainkan berbekal spanduk, doa, dan suara lantang menuntut hak. Jika dulu para pejuang mengusir kolonial dengan semboyan merdeka, kini mereka berteriak dengan nada baru: “Tandatangan atau ganyang birokrasi dinasti oligarki!”
Sebuah pekik yang lahir bukan dari ruang rapat mewah atau meja dinas berpendingin AC, melainkan dari dada yang sesak dan perut yang lapar. Dari tangan-tangan yang terbiasa menulis absen setiap pagi, tapi tak kunjung diakui negara.
Apakah sejarah akan berpihak pada mereka, atau justru kembali menuliskan babak kelam birokrasi yang menutup mata? Waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal jelas: Mojokerto, tanah warisan Majapahit, tidak pernah lahir untuk diam, apalagi tunduk pada ketidakadilan.