BAURENO MEMBARA: MIMPI KADES ABDORI TERBENTUR TEMBOK RTRW 2018 ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

BAURENO MEMBARA: MIMPI KADES ABDORI TERBENTUR TEMBOK RTRW 2018

-

Baca Juga


Kades Abdori dari Pemerintah Desa Baureno Kecamatan Jatirejo.



DIALOGIS: Sosialisasi Perda RPJMD di Pendopo Graha Majatama Pemkab Mojokerto, Senin 22 September 2025




Matahari Mojokerto menyengat sejak pagi. Namun panas udara itu tak seberapa dibanding panasnya perdebatan di Pendopo Graha Majatama, Senin 22 September 2025. Di forum sosialisasi RPJMD, seorang kepala desa berdiri, bukan untuk basa-basi, melainkan untuk menggugat birokrasi yang membeku sejak 2018.


Namanya Abdori, Kepala Desa Baureno, Kecamatan Jatirejo. Ia membawa suara satu hektar lahan desa yang sudah puluhan tahun mati suri—bekas lapangan yang kini hanya ditumbuhi semak. Bagi sebagian orang itu sekadar tanah kosong, tapi bagi Abdori itu adalah harapan hidup baru untuk warganya.


“Kalau ada syarat yang kurang, tolong diumumkan. Jangan sampai saya dianggap omong kosong oleh warga saya,” ujarnya lantang. Suasana forum mendadak hening, seakan tersengat listrik.








Mimpi di Atas Tanah Mati


Abdori punya rencana: mendirikan gedung serbaguna yang bisa dipakai hajatan, kesenian, olahraga, hingga event-event desa. Gedung itu akan jadi sumber PADes (Pendapatan Asli Desa) yang nyata. Di sampingnya, kantor BUMDes berdiri sebagai motor ekonomi baru.


Mimpi itu sederhana, tapi benturannya rumit: tanah satu hektar itu masih tercatat sebagai lahan hijau dalam dokumen tata ruang.



RTRW 2018: Janji yang Membeku


Ketua DPRD Mojokerto, Aini Zuroh, akhirnya angkat suara. Ia mengungkap fakta pahit: Perda RTRW Kabupaten Mojokerto sudah disahkan sejak 2018, tapi hingga kini belum sinkron dengan RTRW Provinsi Jawa Timur dan peta LSD (Lahan Sawah Dilindungi).


Artinya, selama tujuh tahun penuh, desa-desa terjebak dalam aturan yang tak pernah selesai. Lahan produktif maupun lahan mati sama-sama terkunci, tak bisa difungsikan, hanya karena birokrasi yang berjalan di tempat.


Baureno hanyalah satu contoh. Ada banyak lahan lain di kabupaten ini yang bernasib serupa: terkunci di atas kertas, terbengkalai di lapangan.



Jejak 7 Tahun Perda RTRW Mojokerto



  • 2018 – DPRD Kabupaten Mojokerto sahkan Perda RTRW. Harapan besar: tata ruang jadi panduan pembangunan.


  • 2019–2020 – Rencana sinkronisasi dengan RTRW Provinsi Jatim disusun. Namun terbentur revisi LSD dari pemerintah pusat.


  • 2021 – Kades Abdori mulai mengajukan proposal pemanfaatan lahan tidur Baureno. Jawaban: tunggu sinkronisasi.


  • 2022–2023 – Beberapa proyek kota jalan meski lahan hijau, sementara desa tetap tersandera aturan.


  • 2024 – Momentum Pilkada. Isu RTRW nyaris tak tersentuh, karena semua fokus pada kontestasi politik.


  • 2025 – Forum RPJMD di Graha Majatama. Abdori buka suara lantang. Ketua DPRD mengakui Perda RTRW 2018 belum sinkron hingga kini.



Pertanyaan dari Desa, Sindiran ke Kota


Yang membuat Abdori kian gelisah adalah fakta di Kota Mojokerto. Di Ketidur, Kelurahan Surodinawan, lahan hijau bisa dialihfungsikan jadi bangunan. Bahkan di beberapa titik lain, aturan bisa “ditafsirkan lentur”.


“Kenapa di kota bisa, di desa tidak?” pertanyaan Abdori menggantung di forum, menusuk telinga para pejabat.


Apakah aturan memang kaku, atau ada oknum pejabat yang bermain di balik tafsir tata ruang? Pertanyaan itu tidak terjawab, tapi publik Mojokerto tentu mencatat.



Desa Menunggu, Birokrasi Diam


Sejak 2021 Abdori sudah berulang kali masuk ke kantor Pemkab. Proposal diajukan, syarat dilengkapi. Jawaban yang datang selalu sama: tunggu sinkronisasi RTRW dengan provinsi. Tunggu. Dan tunggu lagi.


Sementara itu, OPD teknis hanya mencatat. Tak ada kepastian, hanya tumpukan notulen rapat.



Politik Ruang, Politik Kepentingan


Ruang di Mojokerto ternyata bukan sekadar tanah. Ia adalah politik kepentingan. Garis di peta tata ruang bisa menentukan siapa yang dapat izin, siapa yang terpinggirkan. Kota mendapat kelonggaran, desa dipasung aturan. Investor dilancarkan, rakyat kecil diminta bersabar.


Sudah tujuh tahun, Perda RTRW 2018 masih membeku. Dan selama itu pula, desa-desa seperti Baureno hanya bisa menunggu, sementara waktu, peluang, dan potensi ekonomi hilang satu per satu.



Suara yang Membara


“Desa ini tidak minta banyak. Hanya minta keadilan,” ucap salah seorang tokoh masyarakat Baureno.


Hari ini, suara itu menggema lewat Kades Abdori. Suara yang berani menantang tembok birokrasi yang beku sejak 2018.


Dan pertanyaan besar pun tersisa: apakah Mojokerto berani membuka jalan bagi desa, atau terus membiarkan mereka terkunci di bawah bayang-bayang RTRW yang tak kunjung hidup?







Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode