Mutasi Gelombang Dua Pemkab Mojokerto: Transparan atau Transaksional?
-Baca Juga
MOJOKERTO — Pendopo Graha Majatama, simbol kekuasaan dan kebanggaan Pemkab Mojokerto, pagi tadi tampak lengang. Tak ada derap sepatu pejabat, tak ada kamera wartawan, tak ada tepuk tangan seperti mutasi gelombang pertama pada 27 Agustus 2025 lalu. Semua hening, seolah pentas besar birokrasi Mojokerto dipindah ke ruang belakang panggung.
Rabu besok, 10 September 2025, Pemkab Mojokerto akan kembali menggelar mutasi gelombang kedua bagi pejabat-pejabat hasil Job Fit and Proper Test. Namun, kali ini tempatnya bukan di pendopo megah yang biasa menjadi pusat perhatian publik, melainkan ruang rapat lantai dua Gedung Bappeda.
Lokasi baru yang sempit dan tertutup ini sontak memunculkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat sipil dan ASN Mojokerto:
“Katanya transparan dan akuntabel, kok sekarang pindahnya kayak operasi senyap?”
Pendopo yang Sunyi, Bappeda yang Berdenyut
Mutasi gelombang pertama lalu digelar penuh gegap gempita di pendopo. 16 pejabat strategis diumumkan langsung oleh Bupati Muhammad AlBarra dan Wakilnya Muhammad Rizal Octavian. Pesan politiknya kala itu jelas:
“MUBAROK hadir membawa semangat reformasi birokrasi.”
Tapi, gelombang kedua terasa berbeda. Dari 30 pejabat yang mengikuti Job Fit di Surabaya, masih ada 14 nama tersisa yang belum diumumkan. Kini, penentuan nasib mereka dilakukan bukan di ruang publik, tapi di balik pintu Bappeda lantai dua.
Kesan yang muncul di masyarakat: ada yang disembunyikan.
Entah sekadar menghindari sorotan kamera, atau memang ada tarik-ulur politik di balik meja.
Bayang-Bayang Kompromi Politik
Di balik panggung mutasi, publik Mojokerto mulai bersuara. Loyalis MUBAROK yang dulu ikut mengantar kemenangan Pilkada 2024 justru merasa tersisih.
Mereka melihat wajah-wajah lama, para “ring satu” rezim sebelumnya, masih nyaman bercokol di kursi empuk:
Teguh Gunarko, Sekda sekaligus “jantung” birokrasi lama, masih kokoh tak tergoyahkan.
Ardi Sepdianto, Kepala Bapenda, tetap aman.
Iwan Abdillah, Kepala BPKAD, juga masih tak tergeser.
Beberapa kursi strategis seperti Camat dan Direktur RS Soekandar masih dibiarkan kosong, hanya diisi pejabat Plt.
Padahal, salah satu janji politik MUBAROK saat kampanye adalah pembersihan birokrasi dan pembukaan ruang meritokrasi.
Namun kini, publik mulai bertanya-tanya:
“Ini reformasi birokrasi apa kompromi politik?”
Job Fit Surabaya: Transparansi atau Formalitas?
Fakta menarik lainnya, Job Fit ASN digelar bukan di Mojokerto, tapi di Surabaya.
Pansel penguji dikabarkan melibatkan akademisi kampus ternama. Namun, jika benar Universitas Brawijaya kembali dipakai seperti era penguasa lama, publik akan semakin ragu.
Kenapa?
Karena pansel yang sama dulu disebut-sebut jadi “pintu masuk” birokrasi oligarki.
“Kalau wasitnya masih sama, bagaimana publik percaya skor pertandingan berubah?”
Dilema MUBAROK dan Pepatah Mojokerto
Bupati AlBarra dan Wakilnya, Rizal Octavian, kini berada di persimpangan jalan.
Di satu sisi, mereka harus mikul duwur mendem jero, menghormati pejabat lama.
Tapi di sisi lain, publik menuntut reformasi total.
Kalau MUBAROK memilih jalan kompromi, pepatah Mojokerto bisa jadi kenyataan pahit:
“Rakyat keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau.”
Publik Mojokerto tak butuh janji manis lagi. Mereka menunggu bukti, bukan basa-basi.
Pertanyaannya Sekarang Seperti Mendung Tanpo Udan di Langit Mojokerto
Mengapa mutasi gelombang kedua dilakukan tertutup di Bappeda lantai dua?
Apakah ada tarik-ulur politik di balik penentuan pejabat strategis?
Kenapa wajah-wajah lama masih dominan, sementara loyalis MUBAROK justru tersisih?
Siapa sebenarnya yang mengendalikan “remot” birokrasi Mojokerto hari ini?
Selama pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab, publik Mojokerto akan terus menduga-duga.
Dan seperti kata pepatah Jawa:
“Sing ndhelik ora mesti salah,
sing rame ora mesti benar.”
Namun, jika transparansi hanya jadi jargon, publik Mojokerto tak akan tinggal diam. Masyarakat sipil tukang cocot sudah menajamkan lidahnya. Tinggal tunggu waktu, gonjang-ganjing bakal pecah.
