TANAM JAGUNG, TUMBUH GEDUNG: MISTERI HILANGNYA SAWAH PRODUKTIF DI KOTA MOJOKERTO ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

TANAM JAGUNG, TUMBUH GEDUNG: MISTERI HILANGNYA SAWAH PRODUKTIF DI KOTA MOJOKERTO

-

Baca Juga


LOKASI LINGKUNGAN KETIDUR KELURAHAN SURODINAWAN KOTA MOJOKERTO 







MOJOKERTO — Kota mungil seluas 16,46 km² ini tengah berpacu dengan mimpi besar pemerintah pusat: Swasembada Pangan Nasional.

Tapi ada yang ganjil.
Alih-alih menjaga LP2B  Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan  Pemkot Mojokerto justru sibuk merias wajah kota dengan beton, gedung megah, dan proyek mercusuar yang sering kali mangkrak tanpa arah.


Ironinya, sawah-sawah produktif yang dulu menjadi penyangga ketahanan pangan kini pelan-pelan lenyap.
Di balik semua itu, ada aroma rente, permainan aset, dan kebijakan setengah hati.



Lingkungan Ketidur, Sawah Subur yang Hilang

Lingkungan Ketidur, Kelurahan Surodinawan, Kecamatan Prajurit Kulon, dulu dikenal sebagai lumbung kecil Kota Mojokerto.
Tanah sawah produktif, subur, hasil panennya bagus.

Tanah itu adalah aset Pemkot Mojokerto yang disewakan kepada petani untuk dikelola. Seharusnya hasil sewanya masuk kas daerah.


Tapi fakta di lapangan berbeda.
Ada dugaan kuat bahwa hasil sewa justru “nyasar” entah ke kantong oknum Kepala Dinas Pertanian, Bagian Aset BPKAD Kota Mojokerto, atau bahkan “setoran wajib” ke penguasa kota.


Kini, sawah subur itu tak lagi bisa ditanami. Berdiri kokoh gedung-gedung di atasnya.
Sebagian jadi kawasan industri kecil, sebagian lain mangkrak tak terurus.


“Dulu di sini bisa panen dua kali setahun. Sekarang cuma bisa panen debu, Mas,” ujar Suroto, seorang petani lama, sambil menunjuk bekas petaknya yang sudah berlapis beton.



Kota Beton, Pangan Diabaikan

Peta RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Mojokerto jelas menyebut perlunya perlindungan LP2B.
Tapi praktik di lapangan justru sebaliknya.

Contohnya:

  • Kawasan Blooto → Sawah produktif disulap jadi Taman Wisata Bahari dan Gedung Pelatihan Membatik.

  • Benteng Pancasila → Dulu hijau, kini berdiri mall besar.

  • Jalan Semeru → Sawah produktif berubah jadi pasar modern.

  • Kedungsari, Kelurahan Gunung Gedangan → Dibangun gedung pelatihan yang hingga kini “entah untuk kegiatan apa”.

Dan yang paling absurd:
Lahan Sport Center yang seharusnya jadi fasilitas publik, ditanami jagung dengan dalih program ketahanan pangan.
 



Kepala OPD Baru, Citra Baru

Di tengah carut-marut kebijakan pangan, Pemkot Mojokerto baru saja melantik Novi Rahardjo sebagai Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP).
Novi adalah mantan Kepala Sekretariat DPRD Kota Mojokerto, bukan orang dengan disiplin ilmu pertanian atau perikanan.
Jejaknya panjang: mantan ajudan Walikota era 2002, loyalis lama, dan kini dipercaya mengurus urusan pangan kota.


Menariknya, hanya beberapa hari setelah dilantik, Novi langsung mendorong sarasehan petani di Gedang Sari, RT 03, Kelurahan Gunung Gedangan.

Di balik jargon ketahanan pangan, publik menilai ada aroma pencitraan untuk menutupi kegagalan tata kelola lahan.



Swasembada Pangan ala Beton


Presiden Prabowo Subianto menegaskan target swasembada pangan nasional.
Artinya, setiap kabupaten/kota, termasuk Mojokerto, wajib melindungi LP2B dan menyediakan lahan pertanian produktif.
Tapi di Mojokerto, yang tumbuh justru beton, mall, pasar modern, dan bangunan pelatihan tak jelas.


Kalau tren ini dibiarkan, swasembada pangan akan jadi mimpi di atas kertas.
Kota kecil seperti Mojokerto justru bisa jadi contoh kegagalan pengelolaan lahan dan investasi pangan nasional.


Publik Bertanya, Siapa Bertanggung Jawab?

Lahan produktif hilang. Gedung megah menjulang.
Pertanyaannya sederhana:

  • Siapa yang mengambil keputusan alih fungsi lahan?

  • Ke mana hasil sewa sawah Pemkot selama ini?

  • Mengapa RTRW dan dokumen LP2B diabaikan?

Sampai pertanyaan ini dijawab, publik punya hak curiga bahwa ada permainan anggaran dan rente kekuasaan di balik betonisasi kota.


Oh Indonesiaku…

Kota Mojokerto hanyalah satu potret kecil dari drama besar pengelolaan pangan nasional.
Jika sawah produktif dibiarkan hilang, krisis pangan hanya tinggal menunggu waktu.
Rakyat butuh nasi, bukan mall.
Petani butuh sawah, bukan beton.

"Tanam jagung, tumbuh gedung, tanam investasi, tumbuh korupsi… Oh Indonesiaku."

Sawah Subur Rakyat Nganggur......








Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode