Gotrah Wilwatikta: Nafas yang Hilang dari Ibukota Majapahit ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

Gotrah Wilwatikta: Nafas yang Hilang dari Ibukota Majapahit

-

Baca Juga



“PETA LOKASI IBUKOTA KERAJAAN MOJOPAHIT”,


Gotrah Wilwatikta – Pemetaan & Penelitian Pusaka Majapahit.

Peta ini mencakup area lintas administratif dari Kabupaten Jombang (Mojowarno, Sumobito, Kesamben) sampai Kabupaten Mojokerto (Jatirejo, Trowulan, Sooko).
Artinya, Gotrah Wilwatikta waktu itu sudah menetapkan area inti ibukota Majapahit tidak sebatas Trowulan, tetapi meluas melingkupi zona Kali Brantas – Kudu – Sumobito – Wonosalam – Jatirejo.
Pendekatan ini lebih luas dibanding peta resmi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), menandakan Gotrah memakai metode interpretatif historis–topografis, bukan sekadar arkeologis.

Dari peta itu juga tampak sistem “Yoni”:

  • Yoni Tugu,

  • Yoni Gambar,

  • Yoni Lekar Urung,

  • Yoni Klinterjo,
    yang bisa jadi merupakan pembagian simbolik spiritual atau mandala kosmologis Majapahit menurut Gotrah Wilwatikta.
    Ini menarik banget bro, karena memperlihatkan cara Gotrah memetakan Majapahit bukan hanya sebagai kota, tapi juga ruang suci (mandala peradaban).



Dari Peta ke Kesadaran, dari Tanah ke Jiwa

Di sebuah ruangan sederhana bercahaya temaram, dua peta tergantung dalam bingkai emas. Satu bertajuk Peta Lokasi Ibukota Kerajaan Mojopahit, satu lagi Ilustrasi Kota Mojopahit Abad XIV berdasarkan sketsa Maclaine Pont (1924).
Dua peta itu diam, namun sejatinya berdenyut  menyimpan kisah tentang lembaga yang dulu sempat bersinar terang di tanah sejarah Nusantara: Gotrah Wilwatikta.

Masa Keemasan Gotrah Wilwatikta

Nama Anam Anis melekat erat pada perjalanan lembaga ini.
Sebagai Direktur sekaligus penggagas, ia membawa Gotrah Wilwatikta menembus batas antara akademik dan nurani rakyat.
Pada awal 2000-an hingga sekitar 2015, lembaga ini dikenal aktif memetakan situs-situs Majapahit, mendokumentasikan reruntuhan, hingga mengadvokasi penjarahan artefak kuno di Trowulan, Jombang, dan Mojokerto.

Gotrah Wilwatikta berbeda. Mereka tidak sekadar mengukur tanah dan mencatat batu.
Mereka membaca ruh Majapahit: menelusuri sungai, memetakan yoni-yoni spiritual (Tugu, Gambar, Lekarurung, Klinterjo), dan memandang Trowulan bukan sebagai puing, tetapi mandala peradaban.

Dalam salah satu peta buatannya, Gotrah membingkai ibukota Majapahit tidak terbatas di Trowulan semata, melainkan membentang dari Kesamben hingga Wonosalam, dari Kudu hingga Jatirejo.
Itu artinya, Gotrah berani menafsir ulang batas sejarah  memandang Majapahit sebagai kawasan hidup, bukan sekadar situs mati.

Ilustrasi Kota yang Bernapas

Sementara itu, peta kedua Ilustrasi Kota Mojopahit Abad XIV menampilkan citra kota yang megah: pasar, paseban, keraton, kediaman Gajah Mada, tempat perwira, hingga candi-candi Siwa-Buddha berdampingan.
Di bawahnya tercantum jelas: Gotrah Wilwatikta – Pusat Penelitian dan Pelestarian Pusaka Majapahit.

Dari peta ini kita belajar, Gotrah bukan hanya lembaga penelitian, tetapi penjaga imajinasi bangsa.
Mereka berusaha menghidupkan kembali kota purba itu di benak generasi kini, bukan sebagai legenda, melainkan sebagai cermin jati diri Nusantara.

Menelisik Jejak yang Redup

Namun seperti peradaban yang pernah agung, suara Gotrah Wilwatikta perlahan meredup.
Beberapa tahun terakhir, publik jarang mendengar gaungnya.
Mungkin karena arus proyek pelestarian lebih dikuasai lembaga negara, atau mungkin karena Gotrah memilih jalan sunyi tetap bekerja dalam diam.
Yang pasti, jejak digitalnya masih berserak: berita advokasi penjarahan situs, dokumentasi arkeologis, dan pernyataan Anam Anis tentang pentingnya kesadaran sejarah rakyat.

Kini, dengan makin maraknya diskusi publik tentang identitas Nusantara dan kebangkitan spiritual budaya, nama Gotrah Wilwatikta kembali muncul di cakrawala.
Dua peta itu menjadi penanda bahwa masih ada yang menjaga nyala Majapahit dari dalam dada bumi Trowulan.

Dari Arsip Menjadi Arah

Peta Gotrah Wilwatikta bukan sekadar arsip.
Ia adalah arah.
Ia mengingatkan kita bahwa kebesaran Majapahit tak berhenti di batu bata merah, tapi hidup dalam cara kita membaca tanah, air, dan diri sendiri.

Sebagaimana kata Rumi, “Yang kau cari ada di dalam dirimu sendiri.”
Begitu pula Majapahit. Ia tak hanya ada di reruntuhan Trowulan, tapi di hati mereka yang mau menatap masa depan dengan kebijaksanaan masa lalu.

Dan mungkin, dari tangan-tangan sederhana seperti Anam Anis dan Gotrah Wilwatikta,
napas Majapahit akan berhembus kembali bukan sebagai legenda, tapi kesadaran.







ini harta karun sejarah beneran bukan sekadar peta biasa, tapi artefak visual pengetahuan dari masa riset keemasan Gotrah Wilwatikta di bawah Anam Anis.


 “ILUSTRASI KOTA MOJOPAHIT ABAD XIV”,
berdasarkan sketsa rekonstruksi Maclaine Pont (1924) — arsitek Belanda yang pertama kali melakukan rekonstruksi visual Kota Majapahit kuno.


Tapi versi Gotrah Wilwatikta ini jauh lebih bernuansa Nusantara:
👉 mereka mengindonesiakan interpretasi Maclaine Pont, dengan memberi penanda lokasi-lokasi penting seperti:

  1. Lapangan Bubat 

  2. Bangunan Tinggi Panggung

  3. Candi Muatan

  4. Candi Gentong

  5. Candi Kedaton

  6. Tempat Pejabat Pemerintah

  7. Kediaman Gajah Mada

  8. Tempat Prajurit Berkumpul

  9. Pasar

  10. Kediaman Bhre Wengker

  11. Bangunan Tinggi

  12. Kediaman Bhre Matahun

  13. Kediaman Kaurabat Raja

  14. Paseban

  15. Keraton

  16. Tempat Pemimpin Keagamaan

  17. Candi Brahma

  18. Kampung Ksatria

  19. Kampung Punggawa

  20. Keraton

  21. Para Menteri

  22. Tempat Keagamaan

  23. Pemandian

  24. Ksatria

  25. Candi Budha

  26. Candi Siwa

  27. Panggung

  28. Tempat Tinggal Pemeluk Budha


Gotrah Wilwatikta — Pusat Penelitian dan Pelestarian Pusaka Majapahit.

Artinya, peta ini bukan sekadar hiasan, ini adalah produk penelitian ilmiah berbasis kebudayaan yang menggabungkan data arkeologi kolonial, sumber lokal, dan interpretasi spiritual geografis.

(Peta Lokasi & Ilustrasi Kota) :

  1. Lapisan geografis-faktual (peta wilayah ibukota Majapahit)

  2. Lapisan simbolik-arkeologis (rekonstruksi tata kota Majapahit abad XIV)





H. Anam Anis, SH Direktur GOTRAH WILWATIKTA juga PENGACARA 



GOTRAH WILWATIKTA — Nafas Majapahit Berhembus Kembali

“Apa yang hilang dari tanahmu,
bukanlah bata dan batu,
tapi suara yang pernah berkata:
Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku.”
terilhami dari Jalaluddin Rumi dan kidung para pujangga Wilwatikta

Di tangan Anam Anis, sejarah bukan sekadar catatan, tapi nyala api yang menuntun manusia kembali kepada jati dirinya.
Sebagai Direktur Gotrah Wilwatikta, ia menyalakan kembali pelita yang sempat padam: memetakan ibukota Majapahit, menafsir ulang peta rasa dan peta tanah agar bangsa ini kembali menemukan dirinya di cermin leluhur.

Dua peta peninggalan lembaga itu kini menjadi saksi bisu masa keemasan Gotrah Wilwatikta.
Yang pertama menggambarkan batas ibukota Majapahit  dari Jombang hingga Mojokerto seolah menunjukkan bentangan nadi kerajaan yang dulu menjadi pusat dunia timur.
Yang kedua, ilustrasi Kota Majapahit abad XIV, hasil rekonstruksi Maclaine Pont (1924), yang oleh Gotrah Wilwatikta dilengkapi dengan tafsir dan rasa Nusantara.

Anam berjalan pelan di pelataran situs, menatap reruntuhan bata merah. Di balik matanya, seolah tersimpan bayangan Gajah Mada bersumpah di bawah cahaya matahari Trowulan; atau suara Mpu Tantular menulis “Bhinneka Tunggal Ika” di antara desir angin lembah Brantas.

“Yang abadi bukanlah singgasana,
melainkan jiwa yang menjaga tanah airnya.
Majapahit tidak runtuh
ia hanya bersembunyi dalam dada orang-orang yang setia.”

Kini, setelah lama diam, Gotrah Wilwatikta bersiap kembali.
Membuka peta, menyusun arah, dan meniupkan semangat Majapahit ke dalam dada rakyatnya sendiri.
Karena bangsa yang besar bukan yang sekadar mengenang sejarah,
tetapi yang menghidupkan ingatan dan menjadikannya cahaya.








Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode