KAPAL MAJAPAHIT DI ATAS TANAH SENGKETA. Antara Warisan, Korupsi, dan Politik Citra di Kota Mojokerto
-Baca Juga
“Negeri ini pandai membangun kapal kapalan, tapi lupa membaca petanya,” kata seorang warga Mojokerto dengan senyum getir.
Di pinggiran Taman Bahari Majapahit (TBM), sebuah kapal raksasa dari serat fiber berdiri kaku, lambungnya menghadap ke langit, bagaikan sisa armada kapal Majapahit yang tak sempat berlayar. Di bawahnya, rumput liar tumbuh subur, menandakan kapal itu lama tak bergerak.
Ironisnya, kapal tersebut bukan kisah pelayaran sejarah melainkan pujasera berbentuk Kapal Majapahit yang kini berlabuh di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Nilai kontrak pembangunannya mencapai Rp 2,5 miliar, namun kerugian negara ditaksir lebih dari Rp 1,9 miliar. Bukan badai yang menenggelamkan kapal ini, melainkan bocornya manajemen proyek dan legalitas tanah yang samar.
Proyek Warisan, Syarat Janji Janji
Pembangunan Kapal Majapahit ini sejatinya bagian dari mimpi besar: menjadikan Kota Mojokerto sebagai “Kota Warisan Majapahit yang Berkelas Dunia.”
Proyek TBM diluncurkan dengan slogan penuh semangat: “Menyalakan kembali kejayaan maritim Majapahit.”
Namun di balik tageline penuh semangat itu, banyak yang tidak tahu:
tanah tempat kapal dibangun ternyata bukan milik Pemkot Mojokerto, melainkan wilayah administrasi Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas Surabaya.
Seorang pejabat teknis Pemkot yang tak mau disebut namanya mengaku, sejak awal pihaknya sudah ragu dengan lokasi tersebut.
“Kalau soal izin lahan BBWS itu rumit, bro. Tapi waktu itu ada tekanan politik, proyek harus jalan,” ujarnya pelan.
Beton, Bon-bonan, dan Bisnis Keluarga
Proyek ini dikerjakan oleh CV Hasya Putera Mandiri, pemenang tender yang disebut-sebut mengandalkan “pemain bon-bonan” alias rekanan pinjaman.
Ironi kian terasa ketika terungkap bahwa pemasok material beton readymix berasal dari PT Jisoelman Putra Bangsa, perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga besar Walikota Mojokerto, Ika Puspitasari.
Kabar ini menjadi buah bibir di kalangan kontraktor.
“Sekarang bukan cuma tim voli tarkam yang pakai pemain pinjaman, kontraktor juga bisa pinjam bendera. Tapi yang berhak angkat piala siapa? Ya yang punya koneksi,” seloroh seorang kontraktor lokal dengan tawa getir.
Majelis Hakim Tipikor Surabaya kini menelisik detail transaksi dan keterkaitan bisnis keluarga walikota itu. Pertanyaan kuncinya: apakah ada konflik kepentingan dan pelanggaran etika jabatan?
Status Aset yang Samar
Sidang demi sidang berlangsung panas. Jaksa menyoroti satu hal mendasar: status aset proyek.
Majelis hakim pun bertanya,
“Kalau tanahnya milik BBWS Brantas, bagaimana proyek ini bisa tercatat sebagai aset Pemkot?”
Pertanyaan itu seperti ombak besar yang mengguncang lambung Kapal Majapahit.
Tak ada jawaban tegas. Pihak dinas teknis saling lempar tanggung jawab, sementara kontraktor berkilah hanya menjalankan perintah pekerjaan sesuai kontrak.
Dari perspektif hukum administrasi, posisi proyek ini rawan.
Menurut seorang pakar hukum dari Universitas Airlangga:
“Pembangunan di atas lahan tanpa dasar kepemilikan atau izin penggunaan resmi dari kementerian terkait bisa dianggap maladministrasi dan penyalahgunaan anggaran. Akibatnya, output proyek tidak sah sebagai aset daerah.”
Majelis Hakim yang dipimpin I Made Yuliada, SH, MH mulai memperlihatkan ketegasan.
Dalam sidang lokasi di area pembangunan Taman Bahari Majapahit, hakim memeriksa satu per satu pondasi, struktur, dan volume pekerjaan yang disebut rampung.
Hasilnya: banyak retak, tidak sesuai spesifikasi, bahkan sebagian belum layak digunakan.
Hakim I Made menegaskan:
“Ini pekerjaan negara. Bukan latihan praktik mahasiswa teknik sipil!”
Jaksa Yusak Djunarto dari Kejari Kota Mojokerto menimpali seusai sidang:
“Kami akan memanggil dan memeriksa Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), karena jelas ada dugaan intervensi kebijakan dari luar sistem resmi.”
Pergantian Kajari, Isyarat Langit dari Kejagung
Tanggal 13 Oktober 2025, Kejaksaan Agung RI menerbitkan surat keputusan mutasi penting:
Bobby Ruswin, SH, MH (Kajari Kota Mojokerto) dipindah menjadi Asisten Pengawasan Kejati Maluku.
Hedi Muchwanto, SH, MH ditunjuk menggantikannya.
Sementara di kabupaten, Endang Tirtana diganti Fauzi, SH, MH.
Keduanya kebetulan menangani dua kasus besar Mojokerto: TPK Kapal Majapahit dan TPK Dana Hibah KONI Kabupaten Mojokerto 2024.
Seniman Butet Kartaredjasa dalam kritiknya:
“Kalau angin barat datang dari Kejagung, bisa jadi kapal sedang diarahkan agar tidak karam sendirian.”
Mutasi ini disebut-sebut membawa arah baru penegakan hukum di Mojokerto.
Di antara kalangan wartawan, muncul bisik-bisik: “Apakah badai hukum ini akan berhenti, atau justru makin kencang?”
Bayang Kapal yang Tak Berlayar
Kapal Majapahit yang megah itu kini menjadi monumen diam simbol ambisi yang tak sampai.
Rumput liar menutupi lambungnya, papan bertuliskan “DISEGEL” tegak di sampingnya, dijaga dua Polisi Militer yang menatap kosong ke horizon.
“Apa gunanya membangun kapal yang megah, bila hati nahkodanya masih terikat pada karang kekuasaan?”
Pujangga Joedha Hadi Soewignjo bersuara merdu itu berujar:
“Kadang, yang tenggelam bukan kapal tapi nurani.”
Ketika Politik Menyusup ke Hukum
Di Mojokerto, garis antara hukum dan politik sering kali selebar benang.
Ketika kasus mulai membesar, muncul desas-desus bahwa beberapa pihak mencoba “menyetir” arah sidang, agar badai berhenti di level bawah.
Namun Jaksa Penuntut Umum kali ini tampak lebih berani.
Sumber menyebut, ada koordinasi senyap antara Kejaksaan Tinggi dan Kejagung untuk mengawal kasus ini secara langsung.
“Sudah ada sinyal, jangan sampai ada yang dilindungi,” kata seorang jaksa muda.
Dalam setiap riuh sidang, ada sunyi yang tak bisa ditulis di berita harian: rasa getir tentang bagaimana kekuasaan bisa menipu dirinya sendiri.
Dan kini, di tengah gegap sidang Tipikor, publik Mojokerto belajar satu hal penting: kapal beton bisa retak, tapi retaknya kepercayaan jauh lebih sulit diperbaiki.
Angin sore Mojokerto berhembus lembut di antara puing dan beton retak.
Kapal Majapahit masih berdiri setengah megah, setengah menyesal.
Di bawah cahaya temaram, seolah ia berbisik:
“Aku dibangun dengan janji, tapi kini hanya diam di antara pasal dan rasa malu.”