“Kapal Majapahit Karam: Di Balik Bayangan Kekuasaan Mojokerto” ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

“Kapal Majapahit Karam: Di Balik Bayangan Kekuasaan Mojokerto”

-

Baca Juga






Sidang Tipikor Surabaya Bongkar Relasi Kekuasaan, Bisnis, dan Luka Nurani Kota Majapahit


Angin siang Surabaya yang panas itu tak mampu menembus dinginnya ruang Sidang Candra, Pengadilan Tipikor Surabaya. AC berdesing, berusaha menetralkan hawa politik dan hukum yang pekat. Tapi hawa dingin itu tak bisa menenangkan wajah para saksi. Satu per satu, nama besar mencuat dan di antara yang disebut, ada nama “mbak Ita.”

Sidang pembuktian pada Selasa, 14 Oktober 2025 itu menjadi babak baru kasus dugaan korupsi pembangunan pujasera berbentuk Kapal Majapahit di Taman Bahari Majapahit (TBM) Kota Mojokerto. Nilai proyeknya Rp2,5 miliar dari APBD Kota Mojokerto 2023, dengan kerugian negara mencapai Rp1,9 miliar.

Empat saksi baru dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kota Mojokerto. Mereka bukan pejabat, bukan politisi tapi orang-orang yang membawa kunci rahasia di balik “pelayaran kapal” yang gagal berlabuh itu:

  • Samsul Arif, Direktur PT Djisoelman Putra Bangsa.

  • Pitono Adi, Direktur PT Sirkah Purbantara Utama (SPU).

  • Opik Suherman, pemilik Toko Bangunan Baja Sakti.

  • Sandi Widyapras, pemilik Toko Bangunan Berkah Jaya.

Dari kesaksian mereka, pola lama itu muncul kembali: proyek pemerintah dikerjakan dengan jalinan “keluarga dan kekerabatan”, seperti anyaman jaring yang menjerat.
Baik PT Djisoelman Putra Bangsa maupun PT Sirkah Purbantara Utama adalah perusahaan milik keluarga besar Walikota Mojokerto, Ika Puspitasari. Sebelum menjabat walikota, Ika tercatat sebagai Direktur Keuangan PT SPU dan sempat terlibat dalam manajemen CV Musika, yang kemudian bertransformasi menjadi PT Musika Purbantara Utama, beralamat di rumah keluarganya di Jalan RA Basoeni, Sooko, Mojokerto.

Ketika Walikota mulai membangun impian besar “Majapahit Baru” melalui proyek wisata Taman Bahari Majapahit, dua perusahaan keluarganya muncul di lingkaran bisnisnya: sebagai pemasok, pendukung tender, hingga penyedia bahan baku beton readymix.







"Mbak Ita Sukses" dan Retakan di Atas Kapal

“Saya yang menyelesaikan pekerjaan Tugu Alun-Alun Kota Mojokerto itu, mbak Ita sukses,” kata Pitono Adi, Direktur PT Sirkah Purbantara Utama. Kalimat itu meluncur bangga.
Namun ketika hakim menanyakan soal proyek pujasera berbentuk kapal Majapahit yang mangkrak, wajah Pitono mendadak kaku. “Saya hanya diminta dokumen dukungan oleh PT Hasya Putera Mandiri,” katanya terbata.

PT Hasya Putera Mandiri, pemenang tender proyek ini, ternyata bukan kontraktor profesional. Direktur utamanya, M. Romadon alias Doni, telah melarikan diri dan berstatus buron (DPO).
Para pekerjanya? Tenaga bon-bonan alias tenaga pinjaman.
Mereka disebut satu per satu di persidangan sebelumnya pekerja lepas, buruh bangunan bersertifikat SKT, dan calo tenaga kerja yang hanya “dipinjam” untuk memenuhi syarat tender.

“Bukan cuma tim bola voli Tarkam saja yang pakai pemain bon-bonan,” celetuk seorang pengunjung sidang dengan nada getir. “Kontraktor proyek pun begitu sekarang.”

Majelis hakim tersenyum sinis. “Proyek senilai miliaran, tapi dikerjakan oleh orang-orang yang bahkan tidak ada dalam struktur resmi perusahaan. Ini kapal yang sudah bocor dari awal,” ujar Hakim Lufianto, SH, MH.











Cor Beton, Darah Dingin, dan Bisnis Keluarga

Dari kesaksian Nono Kurniawan alias Ono, mandor lapangan, muncul fakta baru:
material cor beton yang digunakan berasal dari PT Djisoelman Putra Bangsa  perusahaan keluarga Walikota sendiri.

“Dikasih tahu pengawas, Januar, katanya cor beton dari PT Djisoelman Putra Bangsa mau datang,” kata Ono dalam kesaksiannya. Januar sendiri kini menghilang tanpa jejak.

Samsul Arif, Direktur PT Djisoelman, membenarkan bahwa pembelian beton dilakukan oleh pihak pelaksana proyek. Namun yang mencurigakan, pembayaran belum lunas Rp89,5 juta, tapi ia mengaku “tidak terlalu merasa rugi”.

“Bapak tidak merasa rugi?” tanya hakim Manambus Pasaribu, yang sebelumnya juga menyidangkan kasus korupsi Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa kakak dari Walikota Ika Puspitasari. Dan Samsul Arif juga sebagai saksi ketika itu di ajukan oleh JPU KPK.
“Ya, bagaimana lagi Yang Mulia. Telpon saja tidak diangkat oleh Doni,” jawab Samsul datar.

Hakim terdiam. Senyum sinis kembali muncul di bibirnya.
Sebuah ironi: kontraktor keluarga pejabat, proyek gagal total, uang negara habis, tapi tak ada yang merasa dirugikan.


Nurani yang Tertinggal di Geladak

Sidang yang dipimpin I Made Yuliada, SH, MH, dengan anggota Manambus Pasaribu dan Lufianto, berjalan seperti layar yang membuka tabir demi tabir.
Para saksi bicara datar, tapi gema kejujuran di ruang itu terasa seperti desir angin yang pelan, namun menusuk.

“Proyek ini secara kontrak sudah selesai. Semua pemenang tender sudah dibayar. Uang pemerintah habis. Tapi proyek gagal,” kata hakim Manambus mengutip kesaksian Muraji, eks Kepala Dinas DPUPR Perakim.

Di luar gedung, matahari Surabaya masih terik. Tapi publik Mojokerto justru menggigil bukan karena dingin, melainkan karena menyadari betapa kuatnya jalinan antara kuasa, keluarga, dan kebisuan.


Bayangan di Atas Kapal

Kasus ini menyeret tujuh tersangka:

  1. Yustian Suhandinata – Sekretaris DPUPR Perakim (PPK & PPA)

  2. Zantos Sebaya – Kabid Penataan Ruang (PPTK)

  3. M. Romadon alias Doni – Direktur CV Hasya Putera Mandiri (DPO)

  4. Hendar Adya Sukma – Pelaksana konstruksi

  5. M. Kudori – Direktur CV Sentosa Berkah Abadi

  6. Cholid Idris – Eksekutor cover kapal

  7. Nugroho bin Djoewari alias Putut – Pelaksana cover kapal

Namun ada satu nama yang tak masuk dalam daftar, tapi selalu disebut dalam bisik-bisik saksi: Supriyadi, suami Walikota.
Tak punya jabatan di Pemkot, tapi semua orang disebut “takut”.
“Dia bayangan di atas kapal yang karam,” ucap seorang pengunjung pelan, seolah mengutip Rumi:

“Kebenaran itu tak tenggelam, hanya saja kapal-kapal manusia sering bocor oleh ketakutan.”



Kapal Majapahit TBM mungkin karam di cor beton yang retak, tapi hukum harus tetap berlayar. Gelombang yudikatif Mojokerto mulai memukul: publik, KPK, dan Kejaksaan Agung kini mengawasi.


“Kapal Majapahit hanyut karena struktur salah, tapi hukum harus berlayar tegak, menegakkan keadilan bagi rakyat Mojokerto.”


Sidang lanjutan, monitoring KPK, dan dinamika birokrasi kota bakal jadi babak berikutnya.


Sidang akan dilanjutkan kembali pada 21 Oktober 2025 di PN Tipikor Surabaya.
Dan di atas puing-puing kapal Majapahit yang belum rampung itu, publik Mojokerto kini menunggu satu hal:
apakah keadilan kali ini benar-benar akan berlayar,
atau kembali karam di lautan kuasa yang sama.







Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode