KETIKA HUJAN TURUN, PETIR MENGGELEGAR, DAN PARA SAKSI MULAI GAGAP DI HADAPAN HAKIM
-Baca Juga
Kisah Ruang Sidang Candra, Di Mana Kebenaran Menyala di Tengah Gemuruh Birokrasi. Nama Walikota Mojokerto Ika Puspitasari Kembali Muncul dalam Kesaksian para saksi.
Surabaya, 21 Oktober 2025 – PN Tipikor Surabaya.
Sejak pagi, hujan menumpahkan seluruh isinya di langit Surabaya. Air menetes di jendela kaca ruang sidang Candra, seperti menyimpan rahasia yang tak ingin terbuka. Di ruangan itu, bukan hanya petir yang menggelegar tapi juga suara para saksi yang bergetar di hadapan hakim.
Kasus megah yang mulai retak itu: dugaan korupsi pembangunan Pujasera berbentuk Kapal Majapahit di kawasan Taman Bahari Majapahit (TBM), proyek yang digadang-gadang menjadi ikon wisata Mojokerto.
Kini, kapal itu tak berlayar, malah karam di meja hijau.
Tujuh saksi dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto. Di depan mereka, tiga sosok hakim mengendalikan jalannya sidang:
I Made Yuliada, S.H., M.H. (Ketua Majelis), Manambus Pasaribu, S.H., M.H., dan Lufianto, S.H., M.H.
Ketika Mbah Jenggot Pinjam Bendera
Saksi pertama dari pihak swasta, Syafruddin alias Mbah Jenggot, tampil percaya diri. Ia konsultan pengawas proyek sekaligus direktur “boneka” CV Adzra Anugerah. Tapi kepercayaan dirinya ambruk saat fakta terkuak: ia meminjam bendera perusahaan dari Endik Setyawan, dengan bayaran dua juta rupiah.
Dua CV miliknya, Lavina dan Pilar Agung, gagal ikut tender. Maka, pinjaman nama pun jadi jalan pintas demi proyek bernilai miliaran rupiah itu.
“Pinjam bendera itu dari Endik, lewat karyawan bernama Samsudin,” ujarnya lirih.
Namun ketika hakim Manambus Pasaribu menanyakan detail pengawasan konstruksi, Mbah Jenggot mendadak gagap.
“Mana pintu lantai dua dan lantai satu yang kau sebut dalam laporanmu?” tanya hakim.
Fakta di lapangan menunjukkan pintu itu tak pernah ada.
Pengunjung ruang sidang tertawa, dan hakim menukas dengan nada tajam tapi satir:
“Pak Jaksa, tolong beri tahu saksi Mbah Jenggot, bagaimana rasanya masuk ke lantai dua dengan cara mbrobos dari bawah kapal.”
Petir pun menyambar di luar. Seolah langit ikut menertawakan kebohongan yang terbuka di hadapan hukum.
ASN Cari Aman, Hakim Naik Pitam
Ketegangan tak berhenti di situ. Saksi dari Pemkot Mojokerto, Dina Analisya, direksi lapangan proyek, kini menjabat Kasi Bendahara Pengeluaran. Ia mengaku hanya sekali ke lokasi.
“Proyek kapal Majapahit ini satu tahun anggaran, tapi nanti akan dilanjutkan tahun berikutnya,” ucapnya tenang.
Seketika palu hakim menghantam meja.
“Catat, Pak Jaksa! Jangan-jangan yang naik level bukan cuma Mbah Jenggot!”
Suasana memanas.
Berikutnya, Febriyanti, mantan Kabag Umum yang kini menjabat Sekretaris DPMPTSP, membuat ruang sidang makin sesak. Ia mengaku pernah memberikan proyek taman, atap rumah dinas, hingga ornamen Surya Majapahit berbahan fiber kepada terdakwa Cholik Idris dan Nugroho atau Putut. Tapi ketika ditanya apakah masih konsisten dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), ia malah meminta waktu “untuk bertanya kepada anak buahnya”.
Saksi Febriyanti menyebut pembangunan kapal Majapahit Taman Bahari Majapahit bagian dari 10 proyek strategis kebijakan politik walikota Mojokerto Ika Puspitasari. Sehingga pembangunannya harus tuntas.
Majelis hakim bertanya, bagaimana dalam pelaksanaannya di lapangan. Saksi pun hanya diam seribu basa
Majelis pun naik pitam.
“Buat perkara ini terang! Jangan lindungi diri dari kebodohan!” bentak Hakim I Made Yuliada.
Tender Misterius, Bayangan Penguasa
Keterangan Adi Yudha, Kasi Pembina Jasa Konstruksi, menambah aroma busuk. Ia punya sertifikat pengadaan, tapi berkali-kali menjawab “tidak tahu.”
Ketika hakim bertanya apakah ada pihak kuat yang mengarahkan tender, Adi terdiam lama.
Lalu menjawab pelan, “Tidak tahu.”
Namun kursi pengunjung seperti tahu siapa yang dimaksud. Nama Supriyadi, suami Walikota Mojokerto Ika Puspitasari, disebut-sebut bergaung di lorong-lorong pengadilan.
Ia tidak memiliki jabatan resmi, tapi dihormati sekaligus ditakuti.
Dari kesaksian lain terungkap: material beton readymix proyek kapal dibeli dari PT Jisoelman Putra Bangsa, perusahaan milik keluarga besar Walikota.
Kapal Majapahit yang digadang-gadang jadi simbol kejayaan, ternyata mengalirkan dana ke lingkar keluarga kekuasaan.
Pemalsuan Tanda Tangan, Petir di Atas Kepala
Saksi Bagus Dana Prasetya dan Muhammad Nur Samsudin, karyawan CV Adzra Anugerah, mengaku ada pemalsuan tanda tangan dokumen PHO atas perintah atasan.
Majelis menatap tajam.
“Pemalsuan tanda tangan dan dokumen ada sanksinya. Pak Jaksa, tolong perhatikan saksi Bagus Dana Prasetya!”
Di luar, petir kembali menyambar. Seakan mengingatkan bahwa kebohongan selalu meninggalkan gema yang mengguncang hati nurani.
Rotasi Jaksa: Ombak dari Jakarta
Tanggal 13 Oktober 2025, Kejaksaan Agung RI mengeluarkan SK Nomor KEP-IV-1425/10/2025.
Empat nama bergeser dua di antaranya dari Mojokerto.
Bobby Ruswin, Kajari Kota Mojokerto, dipindahkan menjadi Asisten Pengawasan di Kejati Maluku.
Hedi Muchwanto, Kajari Pidie Papua, menggantikannya.
DR. Endang Tirtana, Kajari Kabupaten Mojokerto, dipromosikan ke Kejati Bangka Belitung.
Fauzi, eks Kajari Manggarai, kini menempati kursi barunya di Kabupaten Mojokerto.
Banyak pihak menilai, mutasi ini bukan sekadar rotasi. Ini sinyal bersih-bersih besar.
Dua kasus tengah jadi sorotan nasional:
Dugaan korupsi Kapal Majapahit TBM senilai Rp1,9 miliar.
Kasus Dana Hibah KONI Kabupaten Mojokerto 2024.
Jakarta mulai menatap Mojokerto dengan mata tajam.
Peta Bisnis, Politik, dan Ombak Keadilan
Nama PT Jisoelman Putra Bangsa dan PT Sirkah Purbantara Utama kini jadi kata paling sering dibisikkan di warung kopi.
Perusahaan itu milik keluarga besar Walikota Ika Puspitasari.
Jika benar dana proyek TBM mengalir ke sana, maka Kapal Majapahit bukan hanya karam di darat, tapi juga di tangan keluarganya sendiri.
Seorang pengamat hukum di Surabaya berkata,
“Kalau ini terbukti, berarti uang rakyat berlayar ke pelabuhan yang salah.”
Suara Rakyat di Warung Kopi
Di warung-warung Mojokerto, pembicaraan makin nyaring.
“Dulu kita kira bakal jadi ikon wisata baru,” ujar seorang tukang parkir. “Ternyata cuma monumen kebohongan.”
Seorang lainnya menimpali sambil menyeruput kopi hitam,
“Masalahnya bukan cuma korupsi, tapi kejujuran pejabat yang ikut tenggelam bareng kapalnya.”
Kebenaran, kadang lahir dari warung kopi bukan dari rapat birokrasi.
Jakarta Turun Tangan
Pasca rotasi, rumor beredar bahwa Kejagung akan menurunkan tim pengawasan internal memantau kasus TBM.
Sementara itu, aktivis antikorupsi Mojokerto menyiapkan laporan pendukung ke KPK, lengkap dengan dokumen pembelian material dari PT Jisoelman dan PT Sirkah Purbantara Utama dan bukti pencairan kontrak.
“Kalau sidang ini cuma menyentuh level bawah, kami akan pastikan kasus ini naik ke level atas,” tegas seorang aktivis senior.
Ombak besar itu bergerak cepat.
Dan seperti kata pepatah, ombak besar selalu datang dua kali: yang pertama menggulung kapal, yang kedua menghantam pelabuhan.
Kapal yang Belum Selesai
Di penghujung sidang, hujan belum berhenti. Petir masih jauh, tapi gema kebenaran belum padam.
“Kapalmu mungkin pecah, tapi laut tetap mengundangmu untuk berlayar.”
Kapal Majapahit memang retak, tapi ruh keadilan belum karam.
Masih ada jaksa yang setia pada sumpahnya, hakim yang menjaga nuraninya, dan rakyat yang percaya bahwa badai bukan akhir pelayaran.
Di ruang Candra, petir boleh bergemuruh.
Tapi di hati rakyat Mojokerto, ada harapan yang pelan-pelan berlayar menjemput pagi setelah hujan panjang.