Nasi Goreng Cak Widi: Harga Merakyat, Rasa Nikmat
-Baca Juga
Malam turun perlahan di sudut Kota Mojokerto. Sisa hujan masih menetes di ujung atap, udara dingin menusuk, dan aroma bawang putih tumis dari wajan di tepi jalan tiba-tiba menghangatkan suasana.
Di depan Pondok Pesantren Al-Qodijah, Kedungmulang II, Surodinawan, seorang pria paruh baya tampak cekatan membolak-balik nasi di atas wajan besar yang berasap.
“Yang pedes dikit ya, Mas… tapi jangan kebanyakan,” ujar salah satu pelanggan setia.
Cak Widi hanya tertawa, tawa khasnya renyah dan tulus.
“Hehehe… tenang, Mas. Nasi goreng itu kayak hidup harus pas bumbunya,” katanya ringan sambil mengaduk nasi goreng yang sudah berubah cokelat keemasan.
Sudah lebih dari sepuluh tahun ia menyalakan kompor di tempat yang sama, dari pukul 18.00 hingga dini hari pukul 02.00.
Harga satu porsi cuma Rp10 ribu. Murah meriah, tapi rasanya bikin kangen. Pembelinya datang dari berbagai kalangan: karyawan swasta, pelajar, hingga para santri pesantren di sekitar kawasan itu.
“Cuaca kadang nggak menentu, pembeli juga kadang sepi… tapi ya disyukuri saja. Yang penting heppy,” ucapnya, masih dengan senyum dan tawa yang hangat, seolah hidup tak perlu terlalu dirisaukan.
Gerobak hijaunya berdiri sederhana di pinggir jalan. Lampu neon putih memantulkan cahaya ke wajan besar, tempat di mana aroma nasi, kecap, dan cabai beradu menjadi harmoni rasa.
Di sinilah, di antara asap dan bunyi logam bertemu nasi, Cak Widi menanak bukan hanya makanan tapi juga harapan.
Tawa di Tengah Hujan
Menjadi penjual nasi goreng di tengah cuaca tak menentu bukan hal mudah. Saat hujan turun dari siang hingga malam, pembeli berkurang, jalanan sepi, dan udara menggigil.
Namun Cak Widi tetap berdiri di sana, menyalakan kompor, menunggu dengan sabar.
“Kalau rezeki sudah diatur Gusti Allah, Mas. Kadang rame, kadang sepi. Tapi kompor tetap harus nyala,” ujarnya, sambil tertawa kecil.
Dan benar, di sela-sela hujan yang reda, satu-dua pelanggan datang dengan jaket basah, duduk di kursi kecil, menikmati nasi goreng hangat.
Suasana itu sederhana, tapi penuh makna: kehangatan manusia di tengah dinginnya malam Mojokerto.
Filosofi dari Wajan Panas
Menjelang dini hari, saat jalanan mulai sepi dan udara makin dingin, Cak Widi masih sibuk membereskan wajan dan piring bekas pelanggan. Tangannya yang kasar karena panasnya minyak, tetap ia gunakan untuk tersenyum ramah menyapa siapa pun yang lewat.
“Rezeki itu kayak nasi goreng, Mas,” ujarnya suatu malam sambil tertawa kecil.
“Kalau diaduk dengan sabar dan rasa syukur, panasnya api justru menyempurnakan rasa.”
Kalimat itu sederhana, tapi mengandung makna yang dalam.
Di balik asap dan suara wajan, Cak Widi mengajarkan bahwa hidup tak selalu soal besar kecilnya untung, tapi soal bagaimana hati tetap hangat dan bersyukur di tengah teriknya perjuangan.
Dan di kota yang terus berlari menuju modernitas, aroma nasi goreng Cak Widi masih jadi pengingat: bahwa kebahagiaan sejati bisa sesederhana duduk di pinggir jalan, menikmati sepiring nasi goreng hangat seharga sepuluh ribu rupiah sambil tersenyum, seperti Cak Widi.
Rasa yang Tak Lekang oleh Malam
Menjelang pagi, lampu jalan mulai meredup.
Hujan sudah reda, hanya sisa embun yang menggantung di udara.
Di sudut jalan kecil, Cak Widi masih berdiri di depan gerobak hijaunya, membersihkan wajan yang tadi jadi saksi percakapan manusia dengan nasib.
Ia tertawa pelan, sambil berkata,
“Rezeki itu seperti nasi goreng, Mas.
Kalau diaduk dengan sabar dan rasa syukur,
panasnya api justru menyempurnakan rasa.”
Ada keheningan yang hangat di sana seperti doa yang tak diucapkan, tapi dipahami semesta.
Dan ketika jalan mulai sepi, aroma nasi gorengnya masih tertinggal di udara
bukan sekadar bau bawang dan kecap,
melainkan wangi kehidupan yang tulus:
bahwa bahagia bukan soal banyaknya uang,
melainkan kemampuan untuk tetap tersenyum
di antara asap, lelah, dan hujan yang tak menentu.
Mojokerto mungkin terus berubah,
tapi di gerobak kecil milik Cak Widi,
waktu seolah berhenti sejenak
mengajari kita arti rasa syukur yang tak lekang oleh malam. 🌙🍳
