PENANGGUNGAN MENANGIS DALAM DIAM. Ketika Gunung Suci Dikeruk Atas Nama Pembangunan ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

PENANGGUNGAN MENANGIS DALAM DIAM. Ketika Gunung Suci Dikeruk Atas Nama Pembangunan

-

Baca Juga








Di ujung timur Mojokerto, berdirilah Gunung Penanggungan, gunung tua yang oleh leluhur dipercaya sebagai replika Mahameru — pusat dunia dan persemayaman para dewa. Lerengnya dipenuhi peninggalan Majapahit: candi-candi bata, petirtaan suci, dan jalan setapak yang menjadi lintasan spiritual para resi.

Namun kini, di sela sisa kabut pagi, Penanggungan tak lagi tenang.
Suara breaker dan excavator menggantikan kidung doa.
Truk-truk bermuatan batu dan pasir turun setiap menit, menggerus kesunyian yang dulu disakralkan.

“Gunung itu bukan lagi tempat semedi, tapi ladang bisnis,” ujar seorang warga Kunjorowesi lirih. “Yang nambang bukan orang kecil, bro. Dari pejabat, pengusaha, sampai tokoh pondok.”



Tambang Berjubah Agama dan Kekuasaan

Fenomena tambang di kawasan Ngoro dan Watesnegoro bukan cerita baru. Sejak lama, sejumlah titik tambang galian C di kaki Penanggungan beroperasi tanpa pengawasan ketat.
Ironisnya, sebagian mengatasnamakan kegiatan sosial, koperasi, bahkan lembaga pendidikan agama.

Menurut data Dinas ESDM Jawa Timur, dari sekian banyak lokasi tambang di Kabupaten Mojokerto, hanya sembilan yang memiliki izin sah. Sisanya  tak tercatat dalam sistem, namun tetap beroperasi siang malam.

Salah satu organisasi masyarakat Lingkungan Hidup dalam rilis terbarunya menyebut, tambang ilegal itu diduga dikelola oleh oknum aparat dan elit politik lokal. Beberapa warga yang melapor ke pemerintah daerah bahkan sempat diintimidasi.

“Kalau yang punya tambang itu orang kuat, ya kita bisa apa?” ujar warga lainnya.
“Cuma bisa menonton gunung terkikis pelan-pelan.”



Reklamasi yang Tak Pernah Ada

Dari udara, lereng Penanggungan tampak seperti kulit bumi yang terkelupas. Setiap hujan deras, air coklat mengalir deras ke sawah-sawah warga. Bekas galian dibiarkan terbuka, tanpa reklamasi, tanpa pemulihan vegetasi.

Padahal, PP No.78/2010 dan Permen ESDM No.26/2018 mewajibkan setiap pemegang izin tambang menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang.
Namun di lapangan, kewajiban itu seolah hanya teks mati di kertas negara.

Kementerian ESDM sendiri baru-baru ini mengeluarkan Surat T-1533/MB.07/DJB.T/2025, yang menghentikan sementara 190 perusahaan tambang di seluruh Indonesia karena gagal memenuhi kewajiban jaminan reklamasi. Tapi hingga kini, belum ada satu pun kabar bahwa tambang-tambang Ngoro termasuk dalam daftar itu.




Pusat Sudah Tahu, Tapi Penegakan Masih Mandek

Dalam wawancara dengan Detak Inspiratif, seorang pejabat Direktorat Jenderal Minerba di Jakarta mengakui, Gunung Penanggungan telah masuk radar pemantauan pusat.
Namun, koordinasi dengan pemerintah daerah disebut “belum rampung”.

“Kami sudah dapat laporan dari masyarakat dan lembaga lokal. Tapi memang ada kendala teknis dan politik di daerah,” ujarnya singkat.

Di sisi lain, Bupati Mojokerto, Muhammad AlBarra (Gus Barra), mengaku sudah bersurat ke pemerintah pusat untuk meminta penertiban.
Namun, para pemain tambang masih bebas mengeruk gunung di bawah bendera “izin lama” dan “kegiatan masyarakat”.




 Dari Candi ke Lubang Tambang

Tak jauh dari lokasi tambang di Kunjorowesi, berdiri reruntuhan Candi Kendalisodo, Candi Jolotundo, dan Petirtaan Belahan, situs suci peninggalan Majapahit.
Di masa lalu, airnya diyakini menyembuhkan penyakit dan membersihkan jiwa.
Kini, airnya mulai keruh. Lumpur turun dari atas, membawa jejak tambang ke dalam aliran suci.

Seorang arkeolog dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI menilai, aktivitas tambang di sekitar situs-situs tersebut mengancam kestabilan geologi lereng Penanggungan.
“Kerusakan di atas berarti risiko longsor dan sedimentasi di bawah. Dan itu bisa menghancurkan situs-situs bersejarah,” ujarnya.

Gunung yang dulu menjadi tempat laku spiritual kini berubah jadi ladang material. Dari tapa brata menjadi tata niaga.



Gunung yang Meminta Reklamasi Nurani

Bersih-bersih tambang yang sedang digelorakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia patut diapresiasi. Tapi akan sia-sia jika tak menjangkau gunung-gunung yang menyimpan ruh peradaban bangsa.

Gunung Penanggungan bukan sekadar lahan tambang. Ia penyangga ekologi, sumber air, dan nadi spiritual Mojokerto–Pasuruan.
Jika terus digerogoti, bukan hanya alam yang runtuh, tapi juga identitas dan sejarah yang ikut ambruk.

“Bumi ini bukan warisan nenek moyang, tapi titipan anak cucu,” kata seorang aktivis di lereng Trawas.
“Kalau Penanggungan hancur, siapa nanti yang mau menanggung dosanya?”


Gunung Penanggungan masih berdiri, tapi tak lagi tegak.
Tubuhnya luka, tapi diam.
Dan di balik diamnya, ada seribu jerit yang tak terdengar  jerit batu, jerit tanah, jerit nurani manusia yang mulai pudar.

Kita mungkin tak bisa menyembuhkan gunung sendirian.
Tapi kita bisa mulai mengembalikan rasa hormat kepada bumi.
Karena dari tanah itulah, kita datang dan ke tanah jugalah, kita akan kembali.







Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode