“Sidang Paripurna: Antara Janji, Fiskal, dan Segelas Kopi Pahit” ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

“Sidang Paripurna: Antara Janji, Fiskal, dan Segelas Kopi Pahit”

-

Baca Juga






Di ruang paripurna DPRD Kabupaten Mojokerto, kursi empuk berjejer rapi, mikrofon menyala, dan kertas pidato berjejer seperti skrip sandiwara.
Hari itu, Senin 27 Oktober, rakyat diwakili sembilan fraksi sedang berdebat bukan soal kopi mana yang lebih nikmat tapi soal nasib fiskal daerah yang mulai sesak napas.


“Potongan dana transfer pusat besar sekali,” seru salah satu juru bicara fraksi, nada suaranya seperti aktor kawakan yang baru tahu honor sinetronnya dipotong separo.
Sementara di barisan depan, wajah para pejabat eksekutif terlihat datar.
Bukan tanpa ekspresi hanya saja ekspresi yang tersisa adalah senyum hemat anggaran.



 Fiskal Menyempit, Retorika Melebar

Pemerintah daerah mengaku siap menjalankan efisiensi, refocusing, dan optimalisasi PAD.
Istilah yang terdengar keren di telinga teknokrat, tapi di telinga rakyat kecil kadang artinya cuma satu:

“Yang kecil makin dihemat, yang besar tetap aman.”


Potongan transfer dari pusat disebut mencapai ratusan miliar rupiah, dan strategi penyelamatan keuangan daerah dijelaskan dengan istilah indah seperti “penajaman prioritas”.
Sayangnya, tak ada penajaman di perut rakyat yang sudah tumpul oleh harga beras dan pupuk.









SILPA dan Piutang: Dua Bayangan di Balik Angka

Dalam jawaban eksekutif yang dibacakan dengan tenang, disebutlah istilah SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran).
Namanya saja sudah lebih panjang dari nasib proyek-proyek rakyat di desa.
Nilainya mencapai Rp150 miliar, menandakan ada uang yang belum sempat dipakai.
Entah karena kehati-hatian, entah karena kehati-hatian yang terlalu hati-hati.


Sementara piutang daerah menembus hampir Rp90 miliar.
Seakan daerah ini punya banyak “teman” yang berutang, tapi tak tahu caranya menagih tanpa bikin suasana jadi canggung.
Katanya akan dikirim surat peringatan dan melibatkan Satpol PP, tapi kita tahu, kadang surat itu hanya sampai di meja birokrasi, lalu istirahat siang.


Eksekutif juga bicara tentang Arsitektur Pemerintahan Digital 2025–2029.
Istilah yang terdengar seperti masa depan, tapi di lapangan kadang berarti pengadaan server baru, bukan layanan publik yang lebih cepat.


Kata “transformasi digital” kini jadi mantra baru birokrasi.
Semua ingin digital, meski sebagian masih bingung membedakan antara aplikasi dan pelaporan Excel.
Kalimat yang disampaikan di podium penuh semangat:

“Kita menuju smart governance Kabupaten Mojokerto.”
Namun di warung kopi dekat gedung dewan, rakyat menimpali pelan:
“Yang penting jangan smart budget buat proyek, tapi slow service buat rakyat.”



PAD dan Janji Inovasi yang Tertunda

PAD, Pendapatan Asli Daerah, disebut sebagai “tulang punggung kemandirian daerah”.
Tapi kalau tulang punggungnya terlalu sering dibebani jargon, bisa juga patah pelan-pelan.
Langkah-langkah yang disebutkan dari intensifikasi pajak hingga kerja sama dengan kejaksaan menunjukkan keseriusan.
Tapi belum ada gebrakan ekonomi baru, belum ada “nafas Mojokerto masa depan”.


Seolah-olah PAD adalah lagu lama yang dinyanyikan dengan aransemen baru.
Nada-nadanya masih sama, hanya gendangnya saja diganti nama program.


Sidang paripurna kali ini mengingatkan pada naskah-naskah teater dalam panggung politik:
semua tokoh berbicara dengan intonasi yang tinggi, tetapi sering lupa siapa penonton sebenarnya.
Dan seperti retorika sastra politik:

“Ketika politik tak bisa bicara jujur, maka sastra harus bicara.”


Maka biarlah berita ini menjadi catatan syiir yang sopan,
tentang bagaimana janji efisiensi bisa terdengar manis, tapi meninggalkan getir di lidah rakyat yang menunggu bukti.


Sidang ditutup dengan tepuk tangan, senyum lelah, dan foto bersama.
Di luar gedung, seorang pedagang kopi keliling berkata lirih:

“Kalau anggarannya efisien, semoga bukan kopi saya yang ikut dihemat.”


Karena pada akhirnya, pembangunan tak hanya diukur dari tabel dan grafik,
tetapi dari seberapa banyak rakyat yang masih mampu tersenyum sambil menyesap kopi hitam tanpa takut harga naik.









EDITORIAL DETAK INSPIRATIF:


“Kabupaten Mojokerto dan Seni Bertahan di Tengah Krisis Fiskal”

Ada masa ketika rakyat percaya bahwa setiap sidang paripurna adalah ruang sakral tempat lahirnya kebijakan besar.

Kini, ruang itu lebih sering menjadi panggung retorika, tempat kata-kata berbaris rapi tapi langkah nyata masih tertatih.

Sidang paripurna DPRD Kabupaten Mojokerto dua hari terakhir adalah cermin itu cermin yang memperlihatkan wajah fiskal yang mulai kusut tapi tetap dipoles dengan senyum politis.


Pemotongan dana transfer pusat menjadi momok yang sama-sama diketahui semua pihak, namun sedikit yang berani bicara lantang:

bahwa Kabupaten Mojokerto kini sedang berada di ambang ujian kemandirian fiskal.

Bukan soal angka, tapi soal keberanian berpikir kreatif di tengah keterbatasan.


Pemerintahan MUBAROK yang baru berjalan delapan bulan mewarisi struktur lama yang kompleks.

Birokrasi belum sepenuhnya lentur, para pejabat lama masih mendominasi jabatan kunci, dan kebijakan efisiensi pusat memaksa daerah untuk “mendem jero, mikul nduwur” menahan perih sambil tetap menjaga martabat.

Namun rakyat tentu tahu, pepatah itu bukan alasan untuk diam.

Ia mestinya menjadi dorongan untuk menemukan cara baru agar pelayanan publik tetap hidup, bukan sekadar bertahan.


DPRD dalam sidang kemarin cukup tajam menyoroti potongan dana dan kejelasan arah kebijakan.

Sebuah tanda baik, bahwa fungsi pengawasan masih berdenyut.

Namun, kritik tanpa arah bisa seperti menyalakan lilin di siang hari terang tapi tak berguna.

Karena itu, sudah saatnya dewan dan eksekutif berhenti saling mengukur bayangan, lalu duduk satu meja membicarakan masa depan Mojokerto secara jujur.


Di tengah suasana fiskal yang sempit, program relokasi pusat pemerintahan sebaiknya tidak menjadi prioritas.

Sebab rakyat lebih butuh jalan yang tidak rusak, air irigasi yang mengalir, dan rumah yang tak roboh sebelum direnovasi.

Membangun kantor baru untuk aparat tanpa membangun kepercayaan publik hanyalah menukar bata dengan kata.


Dalam kondisi seperti ini, kemandirian daerah bukan lagi slogan, melainkan keharusan.

PAD Kabupaten Mojokerto tak bisa hanya berharap pada retribusi dan pajak yang membuat rakyat mengeluh.

Pemkab harus mulai membuka lahan baru: investasi sektor pertanian modern, pariwisata berbasis budaya, hingga BUMD yang berani menanggung risiko demi rakyat.

Karena sejatinya, ekonomi daerah akan kuat bila pemerintah berani menanam bukan hanya menghitung hasil panen.


Dan di atas segalanya, politik kebijakan harus kembali bernapas seperti rakyat bernapas.

Tak perlu berapi-api di podium jika dapur rakyat masih dingin.

Tak perlu pidato efisiensi jika yang dikorbankan adalah pelayanan dasar.

Karena keberhasilan pemerintahan bukan diukur dari banyaknya program, melainkan dari sedikitnya rakyat yang tertinggal.


Kabupaten Mojokerto kini sedang belajar satu hal penting:

bahwa seni bertahan bukan soal menghemat, tapi soal menata ulang cara berpikir.

Krisis fiskal bisa menjadi ancaman, tapi juga kesempatan jika keberanian dan kejujuran dijadikan kompas.


Rakyat sudah terlalu sering mendengar janji.

Kini mereka hanya ingin satu hal:

pemerintah yang tidak hanya pandai bicara tentang efisiensi, tapi juga efisien dalam bicara dan jujur dalam bekerja.










Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode