“KAPAL MAJAPAHIT: AUTOPSI SEBUAH SISTEM GELAP”. Ketika Polisi, Pejabat, Lembaga DKD, dan Orang-Orang Pandai Bersatu Dalam Tragedi Uang Rakyat
-Baca Juga
SEBUAH MONUMENTAL KAPAL YANG BERLAYAR DI RANAH HUKUM
Hujan masih menggantung di langit Mojokerto pagi itu ketika ruang sidang Tipikor Surabaya dipenuhi aroma tegang.
Majelis Hakim ad hock PN Tipikor Surabaya, I Made Yuliada, Manambus Pasaribu dan Lujianto yang dikenal tegas dan berkarakter, mendadak meninggikan suara, menghentak seluruh ruangan.
Pemerintah Kota Mojokerto telah menggelontorkan Rp 2,5 miliar untuk membangun sebuah ikon wisata berupa Kapal Majapahit.
Namun hasil pemeriksaan BPKP menunjukkan kerugian negara mencapai Rp 1,91 miliar.
Angka itu bukan sekadar mark up.
Itu adalah sinyal bahwa sistem yang seharusnya menjaga keuangan rakyat, telah bocor dari dalam.
Dan lebih parahnya lagi, sebagian besar pelaku kebocoran itu adalah orang-orang berpendidikan.
AUTOPSI SISTEM YANG GAGAL
Kerusakan Tidak Dimulai dari Proyek — Tapi Dari Budaya Kerja
Proyek Kapal Majapahit seharusnya menjadi etalase masa lalu kejayaan maritim Majapahit.
Tapi yang terjadi justru ironi: kapal itu menjadi simbol tenggelamnya integritas di tubuh Pemkot Mojokerto.
Diagnosis Luka Pertama
PPK proyek, Yustian Suhandinata, bersaksi bahwa ia:
digiring,
diarahkan,
dipertemukan dengan orang-orang tertentu yang tidak seharusnya ikut campur.
Di dalam BAP 65, muncul nama mantan Kasatreskrim Polresta Mojokerto, oknum polisi yang disebut menitip orang untuk mengerjakan struktur proyek.
Luka Kedua — Bendera Pinjaman
CV Sentosa Berkah Abadi digunakan untuk pekerjaan “cover kapal” sebuah istilah yang justru menjadi kata kunci penyimpangan.
Direktur asli terdakwa M.Kudori, meminjamkan bendera perusahaan untuk dikerjakan oleh pihak yang bukan kontraktor resmi (terdakwa Cholik Idris - Nugroho) Pelaksana pekerjaan Cover Kapal Majapahit.
Luka Ketiga — Proyek Tanpa Pengawasan
DPUPR PERAKIM sebagai leading sector gagal melakukan:
verifikasi mutu,
validasi spesifikasi,
kontrol progres,
audit teknis internal.
Dan ini bukan kesalahan teknis semata.
Ini adalah kelumpuhan struktural.
ANATOMI KELAM: JEJAK LINTAS PROFESI DALAM PROYEK GELAP
Polisi. Pejabat. Lembaga DKD. Perupa. Semua Terhubung.
Kasus Kapal Majapahit menjadi unik bukan karena nilai korupsinya,
tapi karena beragamnya profesi yang ikut tercantum dalam persidangan.
Oknum Polisi — Bayang-Bayang PARCOK
Nama Perwira Polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi, mantan Kasatreskrim, dipertanyakan dalam persidangan PN Tipikor Surabaya dalam kasus pembangunan kapal Majapahit Kota Mojokerto "sebagai pemberi arahan bahwa struktur akan dikerjakan oleh “orangnya”.
Ini membuka luka lama tentang candaan publik soal PARCOK (Partai Coklat), satire bahwa polisi sering dianggap “alat kekuasaan”.
Ketika polisi masuk ke ranah proyek pemerintah daerah, yang terjadi bukan lagi sekadar intervensi, tetapi abrasi terhadap kedaulatan sipil.
Nara Nupiksaning Utama eks. Plt. Kepala OPD DPUPR PERAKIM dalam sebuah persidangan dugaan TPK Pembangunan Kapal Majapahit Kota Mojokerto beberapa waktu lalu sebagai Saksi.
Pejabat DPUPR PERAKIM — Pusat Pusaran
Nama-nama pejabat OPD muncul beruntun:
Nara Nupiksaning Utama – eks. Plt.Kepala OPD DPUPR PERAKIM
Mashudi – Pensiunan DPUPR PERAKIM
Nugroho – Perupa Lembaga DKD Kota Mojokerto yang kini menjadi terdakwa
Pejabat teknis lainnya yang mempertemukan PPK dengan pihak-pihak luar struktur
DPUPR PERAKIM yang seharusnya menjadi pilar integritas pembangunan, justru dipenuhi retakan.
Dewan Kebudayaan Daerah — Moral yang Ikut Tercoreng
Nama AYUHANAFI alias Yuhan, anggota DKD, disebut dalam pusaran peminjaman bendera CV Sentosa Berkah Abadi. Agar Yustian Suhandinata selaku PPK, menggunakan terdakwa Nugroho - Cholik Idris sebagai pelaksana pekerjaan Cover Kapal Majapahit.
Lembaga budaya yang seharusnya berdiri sebagai benteng moral dan intelektual, malah ikut terseret.
Budaya Majapahit, yang dulu agung dan adil, tercoreng oleh tindakan anak cucunya sendiri.
TRAGEDI ORANG-ORANG PANDAI
Ketika Gelar Akademik Tidak Mampu Menyelamatkan Hati
Inilah sisi paling memilukan dari skandal ini.
Mereka yang terlibat bukan orang bodoh.
Mereka adalah orang cerdas:
ASN terdidik
Polisi paham hukum
Praktisi DKD mengerti etika
Perupa memahami estetika
Kepala dinas menguasai regulasi
Pejabat teknis disekolahkan dengan uang rakyat
Tetapi kecerdasan tidak menjadi benteng moral.
Pengetahuan yang Menyimpang
Regulasi tidak lagi dilihat sebagai pagar etika, tetapi sebagai peta untuk mencari celah.
Keahlian Dijadikan Senjata
Seorang pejabat teknis yang paham standar konstruksi bisa jadi lebih berbahaya jika ia sengaja merusak spesifikasi.
Seorang aparat yang mengerti hukum bisa lebih berbahaya jika ia melanggarnya.
Seorang praktisi DKD yang mengerti moralitas bisa lebih berbahaya jika ia membenarkan ketidakbenaran dengan bahasa seni.
Intelektualitas Tanpa Integritas = Bencana
Inilah yang terjadi di Kota Mojokerto.
Skandal Kapal Majapahit bukan sekadar kegagalan proyek.
Ini adalah kegagalan karakter.
KAPAL YANG MENUNGGU UNTUK DIPERBAIKI
Dan Kota Mojokerto Menunggu Pemimpinnya Untuk Mengambil Sikap
Saat ini kasus berada di Tipikor.
Nama-nama sudah muncul.
Jejaknya sudah terbuka.
Dan publik Mojokerto menunggu langkah berani dari pemerintah baru.
Reformasi Polri sedang digodok secara nasional oleh Jimly Asshiddiqie dan Ibu Siti Nuriyah Wahid agar alat negara tidak lagi menjadi alat kekuasaan.
Di Mojokerto, harapan itu terasa relevan.
Sebab tidak ada Kedaulatan Sipil
jika Anggaran Publik bisa dimainkan oleh segelintir orang cerdas yang kehilangan nurani.
Dan sejarah Kota Mojokerto, tanah Majapahit, menuntut satu hal:
Keadilan.
Bukan untuk membalas,
tapi untuk menyembuhkan.
