KAPAL MAJAPAHIT DI ATAS TANAH PULOREJO. Ketika Proyek Oligarki Berlayar di Atas Sertifikat Lama
-Baca Juga
Selasa, 4 November 2025. Ruang sidang Pengadilan Tipikor Surabaya mendadak tegang.
Saksi Rianto, pejabat yang dikenal super sibuk karena rangkap jabatan Kepala Bappeda sekaligus Plt. Kepala BPKPD Kota Mojokerto menjawab dengan nada datar tapi menohok:
“Wilayah pembangunan Kapal Majapahit itu di Kelurahan Pulorejo, tapi dulu Pulorejo masih desa. Sertifikatnya tahun 1999.”
Kalimat sederhana itu seperti cambuk di ruang sidang.
Bukan hanya menggugah hakim dan jaksa, tapi juga menguak fakta bahwa proyek superambisius “Kapal Majapahit Taman Bahari” bisa jadi berdiri di atas tanah yang belum jelas status hukumnya.
MIMPI YANG TERLALU MEGAH UNTUK TANAH SEKECIL ITU
Kapal Majapahit simbol kemaritiman, kebanggaan sejarah, dan cita rasa pariwisata lokal dibangun di bantaran anak Sungai Brantas (Kali Ngotok).
Lokasi ini sejatinya berada di wilayah kewenangan BBWS Surabaya dan Kementerian PUPR RI, bukan murni aset Pemkot Mojokerto.
Tapi siapa peduli? Di balik layar, proyek ini terus melaju dengan anggaran jumbo dari APBD, di bawah kendali Dinas PUPR PERAKIM sebagai leading sector, dengan berbagai OPD ikut “nimbrung” dalam nomenklatur anggaran.
“Yang penting kapal berdiri dulu, urusan aset belakangan,” ujar seorang sumber internal Pemkot yang minta identitasnya dirahasiakan.
Dan seperti biasa, dalam dunia birokrasi lokal yang belakangan disebut-sebut “oligarki kecil” urusan “belakangan” itulah yang akhirnya berubah jadi perkara besar di Tipikor.
MEMO BUKTI – DOKUMEN YANG TAK TERBANTAHKAN
1. Sertifikat Tanah Tahun 1999
Masih tercatat atas nama Desa Pulorejo, bukan milik Pemkot Mojokerto.
2. Surat Alih Status Kelurahan Pulorejo
Tidak memuat pengalihan aset dari desa ke Pemkot.
3. Dokumen Perencanaan BAPPEDA
Tidak mencantumkan status legal tanah sebagai syarat proyek.
4. SK Penetapan Aset BMD (Barang Milik Daerah)
Tidak ditemukan di arsip BPKAD hingga proyek dimulai.
5. Dokumen Tender & SPK Proyek
Diterbitkan dengan klaim “lokasi milik daerah”, tanpa verifikasi sertifikat.
Dari catatan itu, jelas terlihat potensi pelanggaran administratif sekaligus malpraktik pengelolaan aset daerah.
KETIKA KAPAL BERLABUH DI PENGADILAN TIPIKOR SURABAYA
Perkara ini kini bergulir di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Ada 7 terdakwa dan 1 orang DPO.
Dua di antaranya adalah ASN aktif, masing-masing menjabat sebagai PPK dan PPTK.
Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Kota Mojokerto menyebut, ada manipulasi volume pekerjaan, penggelembungan harga material, dan pembayaran fiktif.
Total kerugian negara Rp. 1,91 M dari nilai kontrak Rp. 2,5 M.
Sementara di luar ruang sidang, isu paling santer adalah: mengapa Pemkot memaksakan proyek besar di atas tanah yang belum resmi menjadi aset daerah?
KETIDAKSINKRONAN YANG DIBIARKAN
Fakta menarik lainnya, Dinas PARIWISATA PEMUDA OLAHRAGA menjadi pelaksana kegiatan, padahal secara tupoksi, proyek infrastruktur besar seharusnya ada di DPUPR-Perakim.
Di sinilah mulai muncul istilah baru di kalangan ASN sendiri:
“Proyek ini kapal tanpa kompas, dinasnya aja nyasar.”
Lebih parah lagi, aset tanah di Pulorejo masih dalam peta wilayah aliran sungai (DAS) yang menjadi domain BBWS Surabaya.
Dengan kata lain, izin lokasi dan pemanfaatan ruang seharusnya mendapat rekomendasi dari Kementerian PUPR RI.
Apakah izin itu ada?
Dalam sidang dan dokumen yang diperoleh redaksi, tak satu pun surat rekomendasi itu muncul.
TIMELINE PERKARA TIPIKOR KAPAL MAJAPAHIT
2021 – Konsep awal “Kapal Majapahit” disetujui Walikota Mojokerto dan diluncurkan Dinas PUPR PERAKIM.
2022 – Lelang dimenangkan oleh kontraktor lokal, diduga lewat pengaturan.
2023 – Proyek molor, muncul laporan ketidaksesuaian fisik dan nilai kontrak.
2024 – Kejari Kota Mojokerto mulai penyelidikan.
Juli 2025 – Kasus naik ke penyidikan.
September 2025 – Berkas dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Surabaya, 7 terdakwa disidang.
4 November 2025 – Saksi Rianto buka suara: “Sertifikat tanah masih atas nama Desa Pulorejo.”
KAJIAN HUKUM & ADMINISTRASI
Menurut hasil kajian yang disusun tim redaksi dan pakar administrasi publik, proyek ini terindikasi melanggar:
Pasal 3 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999) tentang penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (penyalahgunaan wewenang).
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, karena pembangunan dilakukan di zona sempadan sungai tanpa rekomendasi BBWS.
Kesimpulan awal:
Kapal Majapahit bukan hanya masalah korupsi pengadaan, tapi juga soal “tanah tanpa dasar” aset yang dibangun di ruang abu-abu birokrasi.
SUARA RAKYAT PULOREJO
“Kami heran, lahan itu dulunya sawah desa. Kok tiba-tiba jadi proyek besar? Kami enggak pernah dilibatkan,” ujar seorang warga Pulorejo yang tinggal tak jauh dari lokasi proyek.
Sementara tokoh masyarakat lainnya menambahkan:
“Kalau tanahnya belum sah jadi aset Pemkot, itu berarti pembangunan tanpa dasar hukum. Itu uang rakyat, bukan uang pribadi pejabat.”
KAPAL YANG KEHILANGAN HALUAN
Kini, kapal raksasa itu berdiri megah di bantaran sungai, dengan cat mengkilat dan lampu warna-warni di malam hari.
Tapi di balik gemerlapnya, tersimpan tanda tangan pejabat, tumpukan berkas aset, dan aroma kasus hukum yang belum tuntas.
Kapal Majapahit memang sudah berlayar tapi ia berlayar tanpa peta, tanpa izin, dan tanpa arah yang pasti.
Ia bukan simbol kejayaan Majapahit, melainkan cermin dari birokrasi modern yang kehilangan kompas moral.
Catatan Redaksi :
Rakyat tidak butuh kapal megah untuk selfie.
Yang rakyat butuh adalah kejelasan, keadilan, dan pengelolaan uang negara yang berpihak pada kepentingan publik.
