BULAN RAJAB TELAH TIBA, DI IRINGI HUJAN BERKAH, DAN PUASA YANG MEMBUNGAKAN HATI ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

BULAN RAJAB TELAH TIBA, DI IRINGI HUJAN BERKAH, DAN PUASA YANG MEMBUNGAKAN HATI

-

Baca Juga




Zikir Sunyi dari tempat tempat ibadah dan hati manusia beriman 


Hujan turun pelan sejak sore. Tidak deras, tidak pula tergesa. Seperti tahu dirinya sedang ditunggu. Di sebuah langgar kecil, suara pujian anak-anak mengalun lirih. Lafal istighfar, shalawat, dan doa Rajab bergantian memenuhi ruang sempit yang hangat oleh kebersamaan.

Tidak ada mimbar tinggi. Tidak ada pengeras suara berlebihan. Hanya tikar pandan, dinding kusam, dan hati-hati yang perlahan dilunakkan.


Rajab telah tiba.

Di Nusantara, khususnya di kampung-kampung pesantren, Rajab bukan sekadar nama bulan dalam kalender hijriyah. Ia adalah isyarat batin. Tanda agar manusia berhenti sejenak dari riuh dunia, membersihkan niat, dan menyiapkan rasa. Di bulan inilah, Islam kembali terasa sebagai jalan pulang, bukan sekadar aturan.



BULAN PEMBERSIHAN HATI

Dalam tradisi tasawuf, Rajab dikenal sebagai bulan pembersihan. Jika Ramadhan adalah cahaya, maka Rajab adalah jendela tempat cahaya itu kelak masuk. Bukan bulan pamer ibadah, melainkan bulan merapikan batin.

Para masyayikh sufiyah sering mengingatkan,
“Rajab itu bukan soal banyaknya amalan, tapi bersihnya niatan.”

Karena itu, amalan di bulan Rajab justru sederhana: istighfar, shalawat, puasa sunah, dan doa yang diulang dengan tenang. Tidak tergesa mengejar pahala, tidak sibuk menghitung angka. Yang dikejar adalah rasa ayem ketenangan yang tidak bisa dibeli oleh dunia.

Puasa Rajab, bagi sebagian orang, terasa berbeda. Bukan sekadar menahan lapar, tapi melonggarkan ego. Pikiran menjadi lebih jernih, emosi lebih jinak, dan hati seperti menemukan ruang bernapas. Ada rasa berbunga-bunga yang hadir tanpa sebab yang bisa dijelaskan logika.



PUJIAN, ANAK-ANAK, DAN LANGGAR KECIL

Di sinilah Islam Nusantara menemukan wajahnya yang paling ramah.

Pujian-pujian Rajab dilantunkan dengan bahasa Arab bercampur Jawa. Tidak baku, tidak kaku. Anak-anak ikut menyimak, kadang salah melafazkan, kadang tersenyum malu. Namun justru dari situlah nilai diwariskan bukan lewat ceramah panjang, tapi lewat kebiasaan yang hidup.

“Allahumma barik lana fi Rajab wa Sya’ban, wa ballighna Ramadhan…”

Doa itu diulang saban malam. Tidak pernah bosan. Karena setiap kali diucap, ia bukan hanya permohonan umur panjang, tapi harapan agar hati sempat dibersihkan sebelum Ramadhan tiba.

Di langgar-langgar kecil itulah, Islam tidak berdiri sebagai doktrin yang menghakimi, melainkan sebagai rasa yang menenangkan. Tidak menghardik, tidak memaksa. Ia mengalir, seperti hujan sore yang jatuh di awal Rajab.



PUASA SEBAGAI JALAN SUNYI

Bagi para pejalan ruhani, puasa Rajab adalah jalan sunyi. Tidak ramai, tidak dipublikasikan. Ia dijalani diam-diam, seperti dialog personal antara hamba dan Tuhannya.

Di tengah dunia yang semakin gaduh oleh ambisi, puasa Rajab mengajarkan satu hal sederhana: pelan. Pelan berpikir. Pelan berbicara. Pelan menilai orang lain. Dan pelan menilai diri sendiri.

Dalam kesunyian itulah, seseorang mulai menyadari bahwa banyak luka batin lahir bukan karena kekurangan, tapi karena ketergesaan mengejar dunia.

Rajab datang bukan untuk menghakimi manusia, tapi mengundang:
“Berhentilah sejenak. Duduklah. Dengarkan hatimu.”



KONTRAS DENGAN DUNIA YANG RIUH

Di luar langgar, dunia terus berlari. Politik gaduh, kekuasaan saling sikut, korupsi diperdebatkan tanpa rasa malu. Segalanya keras, cepat, dan penuh kepentingan.

Namun di dalam langgar, waktu seakan melambat.

Rajab mengajarkan bahwa kekuatan sejati lahir dari kejernihan batin, bukan dari kerasnya suara. Bahwa keadilan tanpa nurani hanya akan melahirkan kezaliman baru. Dan bahwa iman yang paling kokoh justru tumbuh dari ruang-ruang sunyi yang jarang disorot kamera.

Tasawuf tidak mengajak lari dari realitas, tapi membersihkan hati sebelum menghadapi realitas.



RAJAB SEBAGAI UNDANGAN PULANG

Rajab datang setiap tahun. Tapi tidak semua hati menyambutnya. Sebagian orang terlalu sibuk mengejar dunia, sebagian lain terlalu bising untuk mendengar suara batinnya sendiri.

Bagi mereka yang mau berhenti sejenak, Rajab bukan sekadar bulan. Ia adalah undangan pulang kembali ke diri yang jujur, iman yang sederhana, dan Islam yang meneduhkan.

Hujan kembali turun pelan di malam hari. Di langgar kecil, pujian Rajab ditutup dengan doa. Anak-anak bersiap pulang. Lampu dimatikan satu per satu.

Namun rasa tenang itu tidak ikut padam. Ia dibawa pulang ke rumah, ke dada, ke perjalanan hidup masing-masing.

Rajab telah datang. Dan bagi yang siap, hati pun kembali berbunga.


Catatan Redaksi Detak Inspiratif:
Di tengah kerasnya zaman, spiritualitas bukan pelarian, melainkan sumber daya moral. Rajab mengingatkan kita: perubahan besar selalu dimulai dari hati yang bersih.








Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode