“MOJOKERTO BERPESTA, WARKOP MERANA”. Ketika Lampu Panggung Lebih Terang dari Dapur Rakyat
-Baca Juga
“Di kota yang sedang berpesta, ada rakyat kecil yang tertidur bukan karena kantuk… tetapi karena beban hidup.”
Glamor Panggung Korpri vs Nestapa Pedagang Pinggir Kota
Malam itu, WARKOP SI HITAM PAHIT di pinggiran Mojokerto terasa seperti ruang isolasi ekonomi.
Seorang pedagang, tubuhnya ringkih, bersandar pada meja lusuh, menunggu pembeli yang tak pernah datang.
Sementara di pusat kota, panggung Hari Jadi Korpri berkilau bak konser raksasa.
Artis ibu kota didatangkan. Dai kondang dibayar mahal.
Walikota tampil glowing, panggung meriah, kamera siap merekam pencitraan.
Kontrasnya nendang seperti sandal jepit kena kabel listrik.
HARGA NAIK, PEMBELI TURUN, PEMERINTAH TERSENYUM DEPAN KAMERA
Harga cabe: Rp 80.000/kg
Harga bawang naik.
Sayur naik.
Minyak naik.
Semuanya naik…
Kecuali pendapatan pedagang.
Di satu sudut warkop, seorang bapak bergumam:
“Iki dalan rejeki opo dalan derita? Bayar SPP wae wis ngos-ngosan…”
Di sudut lain, ibu-ibu bakul wliyo nyeletuk:
“Walikotane glowing terus… aku mangan tiap hari wae mikir.”
“PANGGUNG KORPRI TAK PERLU SEGLAMOR ITU, KECUALI RAKYAT SUDAH MAKAN CUKUP”
Hari Jadi Korpri seharusnya momentum memperbaiki pelayanan publik.
Namun Mojokerto justru menjadikannya panggung glamor yang memamerkan:
Artis ibu kota,
Honor fantastis,
Lampu panggung jutaan,
Skincare pejabat yang lebih mahal dari uang belanja warga seminggu.
Sementara rakyat?
Membawa keresahan pulang ke rumah.
Pemerintah harusnya peka:
ketika warkop sepi, itu bukan sekadar “musim hujan”…
itu alarm tanda ekonomi rakyat sedang megap-megap.
“WALIKOTA GLAMOUR SHOW”
Sebuah Panggung Kosmetik Berbiaya Fantastis
Pegawai Non ASN Kondisi Resah? “Nanti ditinjau.”
Harga sembako naik? “Akan dikaji.”
Pedagang warkop sepi? “Akan diupayakan.”
Tapi undang artis ibu kota? “ACC CEPAT!!!”
Seandainya kebutuhan dapur rakyat bisa distabilkan hanya dengan senyum walikota di panggung,
Mojokerto sudah jadi kota paling makmur di planet ini.
OPINI RAKYAT
“DARI WARKOP UNTUK PEMERINTAH”
Beberapa kutipan satir rakyat:
“Sing penting artis teko, rakyat ra mangan yo ora apa…”
“Korpri kok kaya festival K-pop?”
“Pemerintah seneng cahaya, rakyat kepanasan.”
“Warkop ku sepi, tapi IG pejabat rame.”
KENAPA PEDAGANG MENJERIT?
Daya beli turun
Harga sembako meroket
Kompetisi makin ketat
Event glamor menyedot anggaran
Tidak ada subsidi langsung ke pedagang
Bantuan UMKM inkonsisten
“MOJOKERTO: KOTA PANGGUNG ATAU KOTA RAKYAT?”
Foto pedagang warkop tertunduk lelah itu adalah editorial paling jujur:
Satu gambar yang menjelaskan semua kesenjangan tanpa satu kata pun terucap.
Selama pemerintah sibuk menggandeng artis ibu kota,
rakyat kecil tetap menggandeng keresahan tiap malam.
Dan warkop-warkop pinggiran kota akan terus menjadi saksi:
bahwa bukan hanya kopi yang pahit,
tapi juga nasib rakyat yang ditinggalkan.
