PANGGUNG RAKYAT & KURSI TERDAKWA. Babak Akhir Kapal Majapahit ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

PANGGUNG RAKYAT & KURSI TERDAKWA. Babak Akhir Kapal Majapahit

-

Baca Juga


Di tepi Sungai Avour Ngotok Rejoto, Panggung Utama Lomba Perahu Naga berdiri hidup.
Tenda biru, kursi penuh, warga berjubel.
Anak-anak, orang tua, atlet, aparat, semua menyatu dalam satu perayaan air.

Perahu bersandar rapi.
Sungai berfungsi.
Rakyat hadir.
Budaya bekerja.

👉 Inilah Majapahit yang nyata.



Ruang sidang Pengadilan Tipikor Surabaya.
Kursi kayu berjejer.
Enam terdakwa duduk diam.
Satu lainnya DPO/buron.
Di depan mereka, layar sidang daring menyala.
Di atas, Garuda membentangkan sayap dingin, tak berpihak.

Tak ada sorak.
Tak ada tepuk tangan.
Hanya waktu yang menunggu palu hakim.

👉 Inilah Majapahit yang dipertanggungjawabkan.


DUA PANGGUNG, SATU CERITA

Senin sore, 15 Desember 2025:

  • Di Mojokerto, Grand Final Lomba Perahu Naga berlangsung meriah.

  • Di Surabaya, para terdakwa Tipikor Kapal Majapahit menunggu vonis.

Air yang sama.
Wilayah yang sama.
Nama besar yang sama: Majapahit.

Namun jalannya berbeda total.

  • Perahu rakyat → berpacu, bergerak, hidup.

  • Kapal proyek → disegel, disidangkan, menunggu vonis.


ANGKA-ANGKA YANG TAK BISA DIAYUN DAYUNG

Proyek: Pembangunan Kapal Majapahit – TBM Rejoto
Nilai anggaran: Rp 2,5 miliar
Kerugian negara: Rp 1,91 miliar

Terdakwa:

  • 6 orang hadir di persidangan

  • 1 orang DPO (buron)

Agenda:
📅 Jumat, 19 Desember 2025
📍 Putusan Majelis Hakim PN Tipikor Surabaya

Tak ada lagi lomba.
Tak ada lagi narasi.
Yang tersisa hanya putusan hukum.








DAYUNG RAKYAT, KAPAL TERDAKWA

Ironi Air di Langit Majapahit

Langit Majapahit cerah berawan. Angin sepoi menyisir Sungai Avour Ngotok Rejoto, anak Sungai Brantas yang sejak berabad lalu menjadi urat nadi kehidupan Mojokerto. Senin sore, 15 Desember 2025, sungai itu kembali hidup. Dentum genderang, aba-aba dirijen, dan dayung yang bergerak serempak menyulap air menjadi panggung peradaban.

Grand Final Lomba Perahu Naga berlangsung meriah. Sepuluh atlet mendayung, satu dirijen memberi komando, satu penabuh bedug menjaga ritme. Rakyat berjubel di bantaran. Tak ada mesin. Tak ada proposal. Hanya disiplin, kebersamaan, dan sportivitas.

Cukup menoleh ke selatan sungai, ironi berdiri tegak. Bangkai Kapal Majapahit, ikon wisata yang tak pernah berlayar, diam membeku. Disertai papan segel kejaksaan, ia berubah dari simbol kebanggaan menjadi barang bukti.

Di sungai, perahu rakyat berpacu. Di darat, kapal proyek menunggu palu hakim.







PERAHU NAGA: BUDAYA AIR YANG HIDUP TANPA PROYEK

Lomba Perahu Naga di Sungai Avour Ngotok Rejoto menunjukkan satu hal sederhana: budaya dapat hidup tanpa biaya mahal. Ritme dayung menautkan atlet, penonton, aparat, dan warga. Sungai berfungsi sebagai ruang bersama.

Di sinilah pelajaran itu terasa tajam: ketika rakyat mengelola air dengan gotong royong, sungai menjadi pesta. Ketika kekuasaan mengelola air dengan anggaran tanpa amanah, daratan berubah menjadi berkas perkara.



SURAT SUNGAI NGOTOK KEPADA PENGUASA

Wahai para pengelola amanah,

Aku mengalir sejak sebelum nama-nama kalian disebut. Aku menyaksikan perahu rakyat berpacu dengan jujur. Aku juga melihat kapal megah berdiri tanpa jiwa.

Aku tak meminta monumen. Aku hanya butuh kejujuran. Jika dayung bisa menggerakkanku, mengapa anggaran justru menenggelamkan?

Belajarlah dari ritme rakyat. Air tak bisa dibohongi.

Sungai Ngotok







PERAHU BERPAKU, KAPAL MENUNGGU PALU

Rakyat Mojopahit telah berpesta air. Kini, hukum mengambil giliran. Jumat, 19 Desember 2025, palu hakim PN Tipikor Surabaya akan menentukan nasib Kapal Majapahit dan para terdakwanya.

Sejarah akan mencatat: siapa yang menjaga air dengan amanah, dan siapa yang karam oleh anggaran.


Genderang berhenti ditabuh. Panggung dibongkar. Sungai kembali mengalir.

Di ruang sidang, waktu menahan napas.

Detak sejarah berdetak pelan, menunggu satu ketukan palu.






Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode