“WARUNG SAMBEL WADER YANG PAMIT PELAN–PELAN” ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

“WARUNG SAMBEL WADER YANG PAMIT PELAN–PELAN”

-

Baca Juga



WARUNG NASI SAMBEL WADERNYA CAK AGUS ISMANTO MNC TV KEBOMAS GRESIK JAWA TIMUR 



Pagi itu matahari Gresik muncul lebih ramah dari biasanya. Langit cerah, daun pisang bergoyang pelan, dan angin seolah membawa kabar baik. Tapi di sudut Kebomas, tepat di sebuah warung sederhana bercat biru yang berdiri sejak 2010, pagi itu justru terasa lebih sesak dari biasanya.

Warung Nasi Sambel Wader Kebomas, tempat ribuan cerita bersarang selama 15 tahun, harus menutup pintunya.
Bukan karena pelanggan pergi.
Justru sebaliknya, karena perjalanan hidup memaksanya pamit.

Di depan meja-meja kayu yang biasanya penuh tawa, Cak Agus Ismanto berdiri lama. Tangannya memegang papan warung, matanya kosong menatap ruangan yang sudah ditata rapi untuk terakhir kalinya. Suara sendok, panci, dan pelanggan setia seakan masih menggema di kepalanya.

Cak Agus menelan ludah.
Hari ini bukan hari biasa.
Hari ini ia menutup warung yang telah menjadi bagian hidupnya.


“Studio Mini” Para Kru Televisi

Bagi warga Gresik, warung ini bukan sekadar tempat makan, ini rumah kedua. Tapi bagi jurnalis dan kru televisi nasional, warung ini adalah studio mini yang selalu hidup.

Setiap kali kompetisi bola voli PROLIGA berlangsung, sebelum siaran live, rombongan kru MNC TV selalu mampir. Mereka datang lengkap dengan kamera, tripod, tas kabel, dan wajah-wajah yang penuh lelah. Tapi begitu aroma sambel wader menyeruak dari dapur, semua lelah itu hilang.

“Cak, sambelnya jangan pedes-pedes rek, iki bentar lagi live! Nek kringeten, dirasani produser aku!” ujar salah satu kru, disambut tawa teman-temannya.

Lalu pemandangan klasik pun dimulai:
Piring bertumpuk.
Wader goreng kriuk-kriuk.
Sambel wader yang pedasnya nendang.
Es teh manis yang dinginnya seperti anugerah.

Di pojok warung, obrolan teknis tentang lighting, angle kamera, rundown siaran bercampur dengan tawa receh khas kru lapangan. Semua lebur dalam kehangatan warung sederhana yang selalu memeluk siapa pun yang datang.


Markas Dadakan Para Jurnalis

Warung ini juga rumah bagi para jurnalis berbagai media, baik lokal maupun nasional.
Ada yang duduk sambil mengetik naskah berita, ada yang menelepon narasumber sambil nyendok sambel, bahkan ada yang menyelesaikan deadline liputan sambil nambah nasi.

Di warung ini, berita besar pernah disusun sambil tangan kiri pegang sendok dan tangan kanan mengetik cepat di keyboard.
Di warung ini, banyak wartawan belajar bahwa inspirasi seringkali datang bukan dari kantor redaksi, tapi dari warung rakyat yang jujur rasanya.


Tempat Istirahat Para Prajurit

Tak sedikit pula anggota TNI/POLRI yang menjadikan warung ini tempat singgah.
Seragam mereka selalu membuat warung tampak lebih hidup.
Ada yang makan cepat sebelum apel, ada yang santai sambil ngobrol dengan pelanggan lain.

Di warung ini, pangkat tak pernah jadi soal.
Semua orang setara di depan sepiring sambel wader.


Ruang Kenangan Pelanggan Setia

Warung Nasi Sambel Wader Kebomas bukan cuma tempat makan.
Ia adalah ruang pertemuan:
antara lapar dan rasa,
antara lelah dan penghiburannya,
antara orang-orang dengan profesi yang berbeda-beda tapi dipertemukan oleh satu hal: cita rasa sambel wader Cak Agus yang tak tertandingi.

Dan kini ruangan itu terlihat lengang.
Meja-meja sudah dibersihkan.
Kursi-kursi ditumpuk.
Beberapa bagian warung mulai dibongkar.

Dalam diam, suara masa lalu seperti kembali hidup.
Tawa kru televisi.
Diskusi para wartawan.
Canda prajurit.
Sapaan ramah pelanggan setia.

Semuanya kini tinggal kenangan dalam ruangan biru yang perlahan memudar.






Cak Agus, Perjalananmu Belum Selesai

Ketika pintu warung itu ditutup hari ini, yang padam bukan warungnya, tapi cerita yang terpaut padanya. Pelanggan setia masih menunggu. Mereka akan mencari di mana pun Cak Agus membuka warung baru.

Sebab warung ini bukan dikenal karena bangunannya, tapi karena hati di balik masakannya.

Dan hati itu tetap hidup.
Tidak bisa dibongkar.
Tidak bisa ditutup permanen.

“Semoga segera mendapat tempat baru ya, Cak,” bisik banyak pelanggan dalam hati.
“Pelanggan setiamu pasti akan menemukanmu.”

Warung Sambel Wader Kebomas memang pamit hari ini.
Tapi legenda rasanya tidak pernah pamit dari lidah siapa pun yang pernah mampir.



PUISI :

 “RINDU SAMBEL WADER Cak Agus”


Pedas yang Kini Jadi Kenangan

Di warung kecil warna biru,

ada aroma yang dulu menyapa setiap lelahku,

pedas sambel wader,

yang mengajak lidah menari,

dan hati kembali percaya

bahwa dunia masih punya tempat sederhana

untuk merasa bahagia.


Kini wajan itu dingin,

piring-piring tak lagi berisik,

kursi kayu berdiri di pojok

menunggu cerita yang tidak pulang.


Cak Agus…

di tiap sendok pedasmu,

ada doa, ada tawa, ada semangat kami yang kau pulihkan.


Hari ini,

yang tersisa hanya rindu,

dan rasa pedas yang masih menetap

di sudut lidah dan kenangan.



Di Meja yang Kini Kosong

Meja itu pernah penuh nama,

dari jurnalis, prajurit, sampai kru televisi.

Di sanalah cerita dicampur dengan sambel,

dan tawa ditukar dengan wader goreng hangat.


Kini meja itu diam.

Ruang itu sunyi.

Tapi setiap kali aku mengingatnya,

aku merasa duduk sekali lagi

di antara mereka,

mencicip pedas yang membuat hati pulang.



Warung Biru yang Mengajariku Rasa

Bukan sambelmu saja yang kurindu,

tapi cara kehidupan menetes pelan

dari wajan ke piring,

dari piring ke cerita,

dari cerita ke rasa syukur.


Cak Agus,

warungmu mungkin dibongkar,

tapi kenangan

tak pernah bisa dirobohkan.









Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode