MERAJUT LUPA HAUL MAKAM TROLOYO
-Baca Juga
Haul Syech Jumadil Kubro Troloyo Mojokerto |
Haul Syech Jumadil Kubro ke 643 di komplek makam Troloyo Dusun
Sidodadi Desa Sentorejo Mojokerto Jawa Timur yang digelar Kamis, (27/9) menarik
animo masyarakat setempat dan sekitarnya.
Setiap kali hari ulang tahun mbahnya para wali songo ini, senantiasa
banyak dikunjungi warga dari berbagai daerah untuk ngalab berkah ( mencari
barokahnya dari sang Wali tersebut).
Mengapa demikian? Dalam acara haul tersebut selalu dibumbui dengan
berbagai acara menarik. Seperti kirab tumpeng dari hasil bumi warga setempat,
juga diwarnai dengan karnaval.
Menariknya, kirab tumpeng yang diselingi dengan uri-uri budaya walisongo,
serta tidak lupa pengibaran sang saka merah putih.
KOMPLEK MAKAM TROLOYO
Menurut cerita
rakyat, Troloyo merupakan tempat peristirahatan bagi kaum niagawan muslim dalam
rangka menyebarkan agama Islam kepada Prabu Brawijaya V beserta para pengikutnya.
Di hutan Troloyo tersebut kemudian dibuat petilasan untuk menandai peristiwa
itu.
Tralaya berasal dari
kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah lapang tempat pembuangan
bangkai (mayat), sedangkan pralaya
berarti rusak/mati/kiamat. Kata setra dan pralaya disingkat menjadai ralaya.
Situs Troloyo
terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa pemerintahan Presiden
Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan
kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat itu, tempat ini banyak
dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari daerah lain, bahkan dari
luar Jawa Timur.
Ketenaran Makam
Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat
tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Legi, haul
Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang
semakin menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini.
Situs Troloyo
merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada masa Majapahit.
Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan Trowulan
kearah selatan sejauh ± 2 km.
Dahulu komplek makam
Troloyo berupa sebuah hutan, seperti hutan Pakis yang terletak lebih kurang 2
Km di sebelah selatannya. Peneliti pertama kali P.J. Veth, hasil penelitiannya
diterbitkan dalam buku Java II yang diterbitkan dalam tahun 1878. Kemudian L.C.
Damais seorang
sarjana berkebangsaan Perancis,hasil penelitiannya dibukukan dalam “Etudes
Javanaises I. Les Tombes Musulmanes datees de Tralaya” yang dimuat dalam BEFEO
(Bulletin de Ecole francaise D’extrement-Orient). Tome XLVII Fas. 2. 1957.
Menurut Damais angka-angka tahun yang terdapat di komplek makam Troloyo yang
tertua berasal dari abad XIV dan termuda berasal dari abad XVI.
Kepurbakalaan yang
ada di Troloyo adalah berupa makam Islam kuna yang berasal dari masa Majapahit.
Adanya makam kuna ini merupakan bukti adanya komunitas muslim di wilayah
ibukota Majapahit. Adanya komunitas muslim ini disebutkan pula oleh Ma-Huan
dalam bukunya Ying Yai - Sing Lan, yang ditulis pada tahun 1416 M.
Dalam buku The Malay
Annals of Semarang and Cherbon yang diterjemahkan oleh HJE. de Graaf disebutkan
bahwa utusan-utusan Cina dari Dinasti Ming pada abad XV yang berada di
Majapahit kebanyakan muslim. Sebelum sampai di Majapahit, muslim Cina yang
bermahzab Hanafi membentuk masyarakat muslim di Kukang (Palembang), barulah
kemudian mereka bermukim di tempat lain termasuk wilayah kerajaan Majapahit.
Pada masa
pemerintahan Suhita (1429-1447 M), Haji Gen Eng Cu yang diberi gelar A Lu Ya
(Arya) telah diangkat menjadi kepala pelabuhan di Tuban. Selain itu, duta besar
Tiongkok bernama Haji Ma Jhong Fu ditempatkan di lingkungan kerajaan Majapahit.
Dalam perkembangannya, terjadi perkawinan antara orang-orang Cina dengan
orang-orang pribumi.
Adanya situs makam
ini menarik perhatian para sarjana untuk meneliti, antara lain P.J. Veth,
Verbeek, Knebel, Krom, dan L.C. Damais. Menurut L.C. Damais, Makam Troloyo meliputi
kurun waktu antara 1368 - 1611 M.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, hanya diketahui nama seorang yang dimakamkan di kompleks Makam
Troloyo, yaitu Zainudin. Namun nisan dengan nama tersebut tidak lagi diketahui
tempatnya, sedangkan nama-nama tokoh yang disebutkan di makam ini berasal dari
kepercayaan masyarakat.
Kesimpulannya bahwa
ketika Majapahit masih berdiri orang-orang Islam sudah diterima tinggal di
sekitar ibu kota. Ada dua buah kelompok atau komplek pemakaman : sebuah komplek
terletak di bagian depan yakni di bagian tenggara dan sebuah lagi di bagian
belakang (barat laut). Komplek makam yang terletak di sebuah bagian depan
berturut-turut sebagai berikut :
Makam yang dikenal
dengan nama Pangeran Noto Suryo, nisan kakinya berangka tahun dalam huruf Jawa
Kuno 1397 Saka (= 1457 M) ada tulisan arab dan lambang ‘surya Majapahit”.
Makam yang dikenal
dengan nama Patih Noto Kusumo, berangka tahun 1349 Saka (1427 M) bertuliskan
Arab yang tidak lengkap dan lambang surya.
Makam yang dikenal
dengan sebutan Gajah Permodo angka tahunnya ada yang membaca 1377 Saka tapi ada
yang membaca 1389 Saka, hampir sama dengan atasnya.
Makam yang dikenal
dengan sebutan Naya Genggong, angka tahunnya sudah aus, pembacaan ada dua
kemungkinan : tahun 1319 Saka atau tahun 1329 Saka serta terpahat tulisan Arab
kutipan dari surah Ali Imran 182 (menurut Damais 1850).
Makam yang dikenal
sebagai Sabdo palon, berangka tahun 1302 Saka dengan pahatan tulisan Arab
kutipan surah Ali Imran ayat 18.
Makam yang dikenal
dengan sebutan Emban Kinasih, batu nisan kakinya tidak berhias. Dahulu pada
nisan kepala bagian luar menurut Damais berisi angka tahun 1298 Saka.
Makam yang dikenal
dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan. Menurut Damais pada nisan
kepala dahulu terdapat angka tahun 1340 Saka pada bagian luar dan tulisan Arab
yang diambil dari hadist Qudsi terpahat pada bagian dalamnya.
Sebagian dari
nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak
asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang
terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama
unsur-unsur pendatang (Islam) nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara
Hindu dan Islam.
Sedangkan apabila
diperhatikan adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah thoyyibah
dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan nampaknya masih pemula dalam
mengenal Islam.
Dengan banyaknya
peziarah yang datang ke kompleks makam ini mempunyai nilai positif bagi
masyarakat sekitar situs. Dampak posistif itu dapat dilihat dari segi ekonomi,
di mana pendapatan masyarakat sekitar menjadi bertambah.
Hal ini menjadi
perhatian dari pemerintah daerah untuk membangun sarana dan prasarana yang
ditujukan untuk menarik pengunjung. Namun demikian terdapat juga sisi
negatifnya, yaitu pembangunan yang mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian.Dari
keadaan sekarang yang ada di situs Makam Troloyo diketahui bahwa sarana-sarana
bangunan yang ada menyimpang dari penataan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pelestarian. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 Pasal 27 ayat (1)
dan (2) disebutkan bahwa
pemugaran
sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keaslian
bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak, serta nilai sejarahnya. Pengrusakan
situs Troloyo dalam arti luas telah merubah bentuk secara keseluruhan, antara
lain denah halaman makam, serta benda cagar budayanya itu sendiri. Denah
halaman yang dimaksud adalah tambahan bangunan baru berbentuk lorong beratap,
serta jirat dan nisan diganti bahan keramik baru warna putih sehingga sangat
terlihat tidak asli. Perubahan tersebut jelas tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip pelestarian benda cagar budaya.
Kompleks makam Troloyo
ada dua kelompok makam. Di bagian depan (tenggara) dan di bagian belakang
(barat laut). Makam di bagian depan diantaranya: Kelompok makam petilasan Wali
Sanga, Kemudian di sebelah barat daya dikenali dengan sebutan Syech Mulana
Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula Syech
Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan
Ngudung. Kompleks makam di bagian belakang meliputi: Bangunan cungkup dengan
dua makam yaitu Raden Ayu Anjasmara Kencanawungu, kemudian terdapat pula
kelompok makam yang disebut Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai
Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo, Gajah permodo, Naya Genggong, Sabdo
palon, Emban Kinasih dan Polo Putro. (*)