Di Persimpangan Brantas: Kisah Diak Eko Purwoto
-Baca Juga
Di Antara Kamera dan Kanvas
Kabut pagi menyelimuti Desa Blimbing Kecamatan Kesamben Kabupaten Jombang, Jawa Timur membasahi sawah-sawah yang menghijau di sisi selatan Sungai Brantas. Di sebuah rumah gedung besar, Diak Eko Purwoto, pemuda tinggi besar terbangun. Bukan suara adzan yang membangunkannya, melainkan deru mesin motor kristal bututnya, siap mengantarnya menjelajahi dunia sebagai jurnalis sebuah media lokal. Anak seorang kiai kharismatik dan ustadzah yang lembut, Diak memilih jalan berbeda. Ia lebih tertarik menguak cerita hidup melalui lensa kameranya daripada memimpin jamaah sholat.
Namun, di balik keasyikan meliput pasar tradisional, wawancara dengan tokoh masyarakat, dan mengabadikan moment-moment unik di sepanjang aliran Brantas, tersimpan rahasia Diak: bakat melukisnya. Bakat yang semula terpendam, seperti biji emas yang terkubur di dalam tanah subur, kini mulai memancarkan sinarnya.
Pandemi dan Mekarnya Bakat
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada tahun 2021 menjadi titik balik dalam hidup Diak. Terkurung di rumah, jauh dari hiruk-pikuk liputan, ia mencurahkan seluruh energinya pada melukis. Kanvas-kanvas putih menjadi tempat ia menuangkan segala perasaannya, kekhawatirannya, dan observasinya terhadap kehidupan di sekitarnya. Ia memilih aliran realisme, menciptakan lukisan-lukisan yang detail dan memikat. Lukisan-lukisan tentang kehidupan di desa, tentang tangguhnya para petani menghadapi pandemi, dan tentang kerinduan akan keramaian pasar tradisional.
Galeri Omah Samping
Ribuan lukisan tercipta selama pandemi. Kabar tentang bakat Diak tersebar cepat, menarik perhatian banyak orang. Dengan dukungan keluarganya, Diak mendirikan galeri lukis di samping rumahnya: "Galeri Lukis Omah Samping”. Nama yang sederhana, mencerminkan kerendahan hati dan kedekatannya dengan akar budaya Jawa.
Galeri sederhana itu menjadi magnet bagi para pecinta seni. Pejabat, pengusaha, bahkan kolektor lukisan dari Jakarta dan kota-kota lain berbondong-bondong datang. Lukisan-lukisannya, terutama yang dibuat menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, selalu menjadi rebutan. Lukisan Gus Dur yang seakan tersenyum bijak, lukisan binatang-binatang yang hidup kembali di kanvas, serta pemandangan perkotaan dan pedesaan yang begitu detail, menjadi bukti kejeniusannya.
Penyihir Warna dari Kesamben Jombang
Diak bukan hanya sekadar melukis. Ia menyulam realitas dengan interpretasi pribadinya, menciptakan mahakarya yang sarat makna. Ia seperti seorang arkeolog seni, mengungkap detail terkecil, menemukan keindahan tersembunyi dalam setiap objek. Setiap goresan kuasnya adalah simbol pergulatan batin, ekspresi jiwa yang mampu menyentuh hati para penikmat seni. Salah satu lukisan unggulannya: "Brantas di Sore Hari," menggambarkan sungai Brantas dengan detail yang luar biasa, dari warna airnya hingga refleksi matahari terbenam. Lukisan itu seakan membawa penikmatnya untuk berlayar di sungai tersebut, merasakan kesejukan dan kedamaian yang terpancar darinya.
Jejak di Atas Kanvas
Diak Eko Purwoto membuktikan bahwa kreativitas tak mengenal batasan. Dari desa kecil di Jombang, karyanya mampu berbicara, menceritakan kisah kehidupan yang kaya dan menginspirasi banyak orang. Ia tidak hanya seorang jurnalis yang handal, tetapi juga seorang pencerita ulung melalui goresan kuasnya. Kisah Diak adalah sebuah bukti bahwa setiap jiwa manusia menyimpan potensi luar biasa yang menunggu saatnya untuk mekar. Dan Diak, di persimpangan Jombang dan Mojokerto, menemukan jalannya. Jalan yang membawanya ke puncak kreativitas, di antara kamera dan kanvas, di sepanjang aliran Sungai Brantas.
Writer Riendr
Editor AGan