ASN Jadi Korban Penyebaran Foto Pribadi: Hati-Hati, Privasi Bukan Konsumsi Publik
-Baca Juga
Malang, Jawa Timur – Sorotan tajam publik terhadap seorang ASN di lingkungan Pemerintah Kota Malang kini berbalik menjadi kekhawatiran atas pelanggaran privasi. Pejabat berinisial NRW dikabarkan menjadi korban penyebaran foto pribadi yang memicu isu poligami, padahal pihak yang bersangkutan mengaku tidak pernah menyebarluaskan informasi apapun terkait kehidupan pribadinya, termasuk dokumentasi pernikahan.
Sumber internal menyebutkan, NRW tidak mengetahui bagaimana foto tersebut bisa tersebar dan diunggah ke media sosial serta menjadi materi pemberitaan. Ia juga tidak pernah memberikan pernyataan resmi atau membuka akses terhadap dokumentasi pribadi tersebut.
Sementara itu, muncul dugaan kuat adanya pihak ketiga yang secara sengaja menyebarkan informasi pribadi tersebut ke ruang publik, dengan tujuan menjatuhkan reputasi NRW di institusi tempatnya bertugas. Hal ini mencuatkan isu yang lebih serius: penyebaran data pribadi dan foto seseorang tanpa izin adalah pelanggaran hukum.
Privasi Bukan Konsumsi Publik
Dalam era keterbukaan informasi, penting untuk membedakan antara hak publik untuk tahu dan hak individu atas privasi. ASN memang merupakan abdi negara yang harus transparan, tetapi bukan berarti kehidupan pribadinya dapat dijadikan objek konsumsi bebas, apalagi tanpa izin dan tanpa dasar hukum.
Pakar hukum menyebut penyebaran dokumen atau foto pribadi tanpa persetujuan pemilik bisa dikenai sanksi pidana sesuai UU ITE Pasal 26 dan 27, serta Pasal 32 dan 36 tentang distribusi informasi elektronik yang melanggar privasi atau menyebabkan kerugian pihak lain.
“Jika benar pihak yang bersangkutan tidak pernah menyebarkan, dan informasi itu tiba-tiba jadi konsumsi publik, maka ini bisa dikategorikan sebagai tindakan ilegal,” ujar seorang ahli hukum digital dari Universitas Negeri Surabaya
Klarifikasi Bukan Kewajiban Bila Tak Ada Keterlibatan
Menariknya, NRW memilih tidak memberikan klarifikasi resmi karena merasa tidak punya kaitan dengan penyebaran informasi tersebut. Pihaknya berpendapat bahwa kewajiban klarifikasi justru berada di tangan media atau pihak yang menyebarkan, bukan kepada korban yang tidak pernah menyebarkan.
Sikap tersebut sekaligus menjadi pengingat bahwa seseorang yang menjadi korban penyebaran konten pribadi tidak serta-merta dapat dibebani tanggung jawab publik untuk menjawab sesuatu yang bukan tindakannya.
Tuntut Penyebar, Bukan Korban
Masyarakat perlu bijak membedakan antara isu publik dan pelanggaran hukum. Ketika kehidupan pribadi seseorang dipublikasikan tanpa seizin yang bersangkutan, maka pelaku penyebaran yang seharusnya diusut dan dipertanggungjawabkan, bukan korban yang tidak tahu-menahu.
Kasus ini sekaligus menjadi preseden penting agar media dan masyarakat lebih kritis terhadap asal-usul informasi yang beredar, serta menjunjung tinggi etika digital, privasi, dan keadilan.
Writer: Damar
Editor: AGanstrongking