Politik di Mojokerto Janji Dana BK Desa Fantastis Gagal Total Setelah Pilkada
-Baca Juga
Awan panas tak hanya menggantung di langit Mojopahit, tapi juga di meja-meja audiensi DPRD. Puluhan Kepala Desa yang tergabung dalam Persaudaraan Kepala Desa Indonesia (PKDI) mendatangi wakil rakyat untuk meminta kejelasan atas janji dana Bantuan Keuangan Desa (BK Desa) yang kini tak kunjung cair
Masalahnya bukan sekadar anggaran yang tertunda, melainkan dugaan adanya praktik politik ijon “cashback” 10 hingga 35 persen dari total dana proyek yang dijanjikan, sebagai bentuk “balas jasa” atas dukungan mereka kepada Bupati petahana, dalam kontestasi Pilkada Serentak 2024.
Selama masa kampanye dan sebelum Pilkada berlangsung, sejumlah Kepala Desa pendukung petahana disebut dijanjikan dana BK Desa hingga di atas Rp5 miliar per desa. Namun dana itu tak serta-merta diberikan secara cuma-cuma. Sebagian dari mereka mengaku diminta “menyetorkan ijon” antara 10–35% dari nilai yang dijanjikan, sebagai syarat tidak tertulis.
“Ibarat kami sudah bayar ‘tiket’ untuk masuk pembangunan. Tapi sekarang proyeknya dibatalkan sepihak,” ungkap salah satu Kepala Desa yang enggan disebut namanya
Kekalahan petahana dalam Pilkada menjadi titik balik. Kepemimpinan baru di Kabupaten Mojokerto melakukan evaluasi besar-besaran terhadap belanja infrastruktur. Dengan alasan efisiensi anggaran dan keadilan pemerataan, seluruh program BK Desa yang sebelumnya dijanjikan dihapus dari struktur keuangan daerah.
Situasi ini diperparah dengan kebijakan efisiensi fiskal dari pemerintah pusat. Transfer dana ke daerah kini diprioritaskan untuk program strategis nasional, bukan untuk janji politik lokal yang tak punya dasar hukum kuat.
Kini, PKDI mengambil langkah serius. Mereka resmi mengajukan audiensi dengan DPRD Kabupaten Mojokerto untuk menyampaikan tuntutan. Fokusnya adalah keadilan anggaran, serta transparansi penggunaan dana pembangunan desa pasca-Pilkada.
“Kami bukan menuntut janji politik, kami menuntut keadilan pembangunan. Kalau anggaran sudah dibayar dulu, ya harusnya ada realisasi. Kalau tidak, ini penipuan berjamaah,” ujar salah satu oknum individu.
Sejumlah LSM dan aktivis anggaran mendorong agar DPRD dan aparat penegak hukum turut menyelidiki adanya praktik “ijon politik” ini. Jika terbukti, maka ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi juga bisa masuk ranah korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Dana desa adalah hak rakyat. Bukan alat dagang politik untuk mempertahankan kekuasaan,” tegas Elianor De Marseso dari unsur Masyarakat sipil Anti Korupsi dalam rilisnya.
Di tengah jalan-jalan desa yang masih rusak dan kantor-kantor desa yang menunggu renovasi, kini menyisakan satu pertanyaan: Siapa yang akan bertanggung jawab atas janji yang kandas ini? Apakah hanya rakyat desa yang kembali harus menanggung beban permainan elite?
Writer Riendr
Editor AGan