Dari Panggung Ceramah Sang Kiai: Seruan di Antara Tawa dan Keresahan Rakyat
-Baca Juga
MOJOKERTO — Senin siang itu 18 Agustus 2025, udara serasa panas. Beruntung ada angin berembus sejuk di halaman kantor DPRD Kabupaten Mojokerto. Seolah langit pun sedang ingin diam dan mendengarkan. Di panggung sederhana yang dihiasi spanduk kemerdekaan HUT RI ke-80, seorang kiai naik ke mimbar. Matahari dari arah barat menerawang masuk di sela sela panggung sangat kiai yang bersahaja, suara beliau langsung menggema:
"Wong dadi pemimpin kui kudu iso ngladeni, dudu mung numpak kursi lan nunggu hormat!"
Itulah gaya khas KH. Anwar Zahid, Mubaligh kondang asal Bojonegoro, yang siang itu tak hanya menghibur, tapi menyentil dengan gaya jenaka, namun penuh makna. Pengajian yang digelar dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia 80 tahun itu mendadak menjadi muara keresahan rakyat kecil, yang selama ini sering tak terdengar di ruang-ruang kekuasaan.
Dari Ceramah, Muncul Gema Nurani
KH. Anwar Zahid tidak menyebut nama, tidak pula mengarah langsung pada individu. Tapi semua tahu, pesan beliau mengarah ke para pemegang amanah anggota DPRD dan pejabat eksekutif Kabupaten Mojokerto. Ia mengajak mereka untuk meninggalkan gaya feodal dan selebgram, dan kembali membumi bersama rakyat.
"Ulama dan umaro itu harus peka. Jangan cuma duduk di balik meja dan kaca kantor. Rakyat itu bukan angka statistik. Mereka punya air mata, punya lapar, punya harapan."
Di Tengah Riuh Kemerdekaan, Ada Rasa yang Terluka
Indonesia mungkin telah 80 tahun merdeka. Tapi di balik gegap gempita bendera, konser, dan lomba-lomba, masih banyak luka yang belum disembuhkan. Dari ujung desa hingga kota, rakyat masih bertanya-tanya:
“Apakah kemerdekaan ini hanya milik segelintir orang di balik jabatannya?”
Kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah soal arogansi dinasti dan gaya otoriter disinggung sebagai alarm keras: bahwa pemimpin muda zaman sekarang lebih sibuk minta dilayani, ketimbang melayani.
Seruan yang Harusnya Menggema di Gedung Dewan
Ceramah siang itu bukan sekadar pengajian. Ia adalah mimbar rakyat, tempat suara nurani berkumandang. Dan Kantor DPRD tempat para wakil rakyat biasa bersidang siang itu berubah fungsi menjadi tempat tafakur dan muhasabah nasional.
“Kalau kiai saja bisa dekat dengan rakyat tanpa protokol, kenapa pejabat harus sembunyi di balik ajudan dan pendingin ruangan?”
KH. Anwar Zahid tidak sedang menggurui, ia sedang mengingatkan. Bahwa kekuasaan itu bukan milik pribadi, tapi titipan dari rakyat. Dan titipan itu bukan untuk dibanggakan, tapi dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
Detak Rakyat: Mojokerto Butuh Pemimpin yang Mengayomi
Pengajian siang itu menjadi momentum penting bagi Mojokerto. Seruan Sang Kiai menegaskan bahwa rakyat sudah jenuh dengan gaya pemimpin yang hanya pandai tampil di media sosial, tapi abai pada realita sosial. Sudah saatnya:
DPRD dan pejabat eksekutif turun ke bawah, menyapa yang kecil, mendengar yang lemah.
Ulama tidak hanya ceramah di mimbar, tapi mendampingi masyarakat secara nyata.
Pemimpin muda tidak sekadar pamer gaya, tapi belajar makna melayani dalam sunyi.
"Di tengah sorak perayaan, ada suara lirih dari rakyat. Semoga pengajian siang itu bukan hanya tawa sehari, tapi menjadi awal kebangkitan nurani para pemimpin Mojokerto."