Karangkedawang, Desa Perjuangan Jadi Panggung HUT ke-80 RI
-Baca Juga
Dari perkebunan tebu Belanda, Kompi Kucing Hitam, hingga upacara kemerdekaan masa kini.
MOJOKERTO , Jawa Timur – Di tengah terik Minggu pagi (17/8/2025), lapangan sepakbola Desa Karangkedawang, Kecamatan Sooko, menjadi pusat perhatian ribuan pasang mata. Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimcam) Sooko menggelar upacara bendera memperingati HUT ke-80 Republik Indonesia.
Camat Sooko memimpin jalannya upacara sebagai Inspektur, sementara naskah Proklamasi dibacakan dengan lantang oleh Muhammad Agus Fauzan, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Mojokerto. Dari anggota TNI/POLRI, pelajar, mahasiswa, tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga pimpinan wilayah, semua larut dalam suasana khidmat.
Namun Karangkedawang bukan sekadar latar upacara. Desa ini adalah saksi bisu sejarah bangsa.
Jejak Perkebunan dan Pipa Air 1925
Pada era kolonial Belanda, Karangkedawang menjadi kawasan perkebunan tebu. Irigasinya ditopang air murni dari Pacet. Bukti jejak kolonial masih tersisa sebuah pipa air PDAM berangka tahun 1925 yang baru ditemukan, menjadi pengingat bahwa desa kecil ini pernah jadi denyut nadi industri gula Hindia Belanda.
Dari Ladang Tebu ke Medan Perlawanan
Karangkedawang tak hanya dikenal karena perkebunan. Desa ini pernah jadi basis pertahanan pejuang dalam revolusi kemerdekaan. Dari tanah ini lahir Kolonel Kamas Setyoadi, sosok fenomenal pendiri Kompi Kucing Hitam.
Kompi legendaris itu menorehkan kisah gerilya heroik mulai sabotase jalur logistik Belanda hingga aksi-aksi nekat di tengah perkebunan dan rel kereta api. Nama Kamas Setyoadi pun melekat sebagai simbol keberanian arek Mojokerto.
Napak Tilas di HUT ke-80 RI
Kini, delapan dekade sejak proklamasi, Karangkedawang kembali menjadi panggung sejarah. Bedanya, kali ini bukan dentuman mortir yang terdengar, melainkan suara tegap pasukan pengibar bendera dan lantunan Indonesia Raya.
“Bagi warga, upacara ini bukan hanya seremonial. Ini penghormatan untuk sejarah desa, untuk para pejuang, dan untuk Kolonel Kamas Setyoadi yang lahir dari sini,” ujar seorang tokoh masyarakat.
Semangat itu nyata. Dari anak-anak sekolah yang berbaris rapi, hingga para veteran yang tetap tegap meski usia renta. Karangkedawang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu tekad: menjaga Merah Putih tetap berkibar. 🇮🇩
“Suara dari Karangkedawang”
“Di Karangkedawang, kemerdekaan bukan sekadar seremoni. Ini tanah yang pernah jadi ladang tebu Belanda, lalu berubah jadi medan perlawanan. Upacara ini penghormatan untuk para pejuang.”
— Tokoh masyarakat Desa Karangkedawang
“Kami bangga bisa membaca Proklamasi di desa bersejarah ini. Semangat 17 Agustus harus diwariskan ke generasi muda, agar mereka tahu dari mana kita berasal.”
— Muhammad Agus Fauzan, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Mojokerto
“Meski panas terik, anak-anak tetap tegak baris. Itulah bentuk sederhana dari cinta tanah air.”
— Guru pendamping pelajar peserta upacara
📊 Karang Kedawang: Dari Kolonial ke Kemerdekaan
1925 –➡️ Pipa air PDAM peninggalan Belanda dipasang untuk mendukung perkebunan tebu. Air bersumber dari kawasan Pacet.
1930–1940-an –➡️ Karangkedawang berkembang sebagai pusat perkebunan tebu kolonial, jadi bagian penting industri gula Hindia Belanda.
1945–1949 –➡️ Masa revolusi kemerdekaan. Karangkedawang jadi basis pertahanan pejuang rakyat Mojokerto.
➡️ Lahir Kolonel Kamas Setyoadi, pendiri Kompi Kucing Hitam yang fenomenal dengan aksi sabotase terhadap Belanda.
1950–1970-an –➡️ Desa terus dikenang sebagai daerah pejuang. Cerita Kompi Kucing Hitam melegenda di kalangan veteran.
2025 –➡️ Minggu, 17 Agustus. Lapangan sepakbola Karangkedawang dipilih sebagai lokasi Upacara Bendera HUT ke-80 RI.
➡️ Inspektur upacara: Camat Sooko.
➡️ Pembaca Proklamasi: Muhammad Agus Fauzan, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Mojokerto.