“Mutasi Setengah Hati: Dari Pendopo Graha ke Arena Tong Setan”
-Baca Juga
Pendopo Berguncang, Birokrasi Bergeming
Rabu, 27 Agustus 2025. Pendopo Graha Majatama Pemkab Mojokerto bergemuruh, bak tong setan di pasar malam. Musik protokoler menggema, kamera wartawan berjejer, dan senyum pejabat mekar setengah wajah — sisanya mungkin kaku karena detak jantung ikut dipanggil Job Fit.
Bupati Mojokerto Muhammad AlBarra memimpin pelantikan 16 pejabat baru hasil Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama.
Seremonialnya manis, sumpahnya khidmat, senyumnya penuh harapan.
Tapi… bisik-bisik di belakang layar justru lebih gaduh daripada suara microphone.
“Ini reformasi birokrasi, atau sekadar ganti baju lama?” tanya seorang aktivis LSM sambil mengaduk kopi pahitnya.
Wajah Baru, Napas Lama
Mari kita bicara fakta, bukan basa-basi.
Dari 30 pejabat yang mengikuti seleksi, hanya 16 orang yang dapat kursi empuk.
Namun, kursi ring satu kekuasaan masih aman sentosa.
Teguh Gunarko tetap menjabat Sekda, sang maestro di balik tirai birokrasi lama.
Ardi Sepdianto masih nyaman di Bapenda.
Iwan Abdillah tetap gagah di BPKAD.
Direktur RSUD Soekandar Mojosari? Masih Plt.
Sejumlah camat dan kepala OPD? Masih lowong, bro.
Mutasi ini ibarat ganti cat rumah tua: warnanya baru, tapi rangkanya masih dimakan rayap.
MUBAROK, Loyalis, dan Politik Amnesia
Ada kisah getir di balik euforia pelantikan.
Orang-orang yang berdarah-darah memenangkan MUBAROK dalam Pilkada 2024,
yang rela turun hujan-panas pasang baliho,
yang jungkir balik ngopi tengah malam,
justru tersisih dari kursi kekuasaan.
Seorang loyalis berbisik lirih:
“Kami ini kayak kawan lama yang lupa diundang kondangan, bro.
Tahu-tahu kursinya sudah penuh pejabat lama semua.”
Sementara di atas podium, AlBarra terus menggaungkan filosofi Jawa:
“Mikul Duwur, Mendhem Jero.”
Filosofi luhur? Iya.
Tapi kalau dijadikan tameng melanggengkan struktur lama, publik mulai gerah.
Di warkop-warkop Mojokerto, orang-orang nyinyir sambil menyeruput kopi:
“Janji bersih-bersih birokrasi kok malah nyapu debu,
bukan nyabut akar yang busuk?”
Tong Setan Birokrasi Mojokerto
Politik Mojokerto kini mirip tong setan di pasar malam:
motor-motor melaju kencang, penonton teriak histeris,
tapi ujung-ujungnya ya… muter di situ-situ saja.
Pejabat lama memegang kemudi.
Pejabat baru ikut menempel di dinding.
Loyalis MUBAROK jadi penonton di bawah, cuma bisa bertepuk tangan.
Kalau kondisi ini dibiarkan, publik khawatir Pilkada 2024 cuma jadi ritual ganti pemain, bukan ganti panggung.
Alias, keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau.
Bedanya, kali ini harimaunya pakai dasi.
Pertanyaan yang Tak Terjawab
Kenapa Sekda Teguh Gunarko belum diganti?
Apa kriteria sebenarnya pansel Job Fit?
Kenapa jabatan strategis dibiarkan kosong?
Dan… sampai kapan loyalis MUBAROK harus jadi penonton di kursi pinggir?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan:
Apakah Muhammad AlBarra benar-benar pemimpin era baru,
atau sekadar pelayan lama dengan wajah segar.
Publik Tidak Butuh Janji, Butuh Bukti
Bupati AlBarra boleh seribu kali pidato soal reformasi birokrasi.
Tapi publik Mojokerto sudah bosan jadi penonton sinetron politik yang ceritanya itu-itu saja.
Kalau MUBAROK ingin dikenang bukan sekadar nama pasangan, mereka harus berani memutus rantai status quo:
Istirahatkan pejabat yang cuma jadi beban.
Beri ruang pada profesional muda dan loyalis yang punya integritas.
Dan hentikan budaya “balas budi politik” yang bikin Mojokerto jalan di tempat.
Kalau tidak, sejarah akan mencatat:
“Pilkada 2024 hanyalah pesta demokrasi yang melahirkan penguasa baru dengan cara lama.”