PPP: Dari Senayan yang Hilang hingga Muktamar Ancol yang Membara
-Baca Juga
JAKARTA — Sabtu 27 September 2025 memanas siang itu. Langit tanpa awan, angin kencang, terik menyengat seolah menjadi metafora paling pas bagi suasana politik di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di Ancol, muktamar yang seharusnya jadi panggung konsolidasi justru menjelma gelanggang pertarungan. Kata-kata keras, kursi yang bergeser, hingga adu fisik antar kader mewarnai sidang. PPP, partai Islam yang lahir dari fusi ormas besar sejak 1973, kini terjerembab dalam pusaran dualisme kepemimpinan.
Luka Kekalahan 2024
Pemilu 2024 menjadi catatan kelam. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pascareformasi, PPP gagal menembus ambang batas parlemen 4 persen. Suara hanya berkisar 3,8 persen cukup untuk bertahan sebagai partai peserta pemilu, tapi tak cukup untuk duduk di Senayan.
Kursi parlemen nasional lenyap. Konsekuensinya besar: hilangnya panggung politik utama, berkurangnya bantuan dana partai, serta goyahnya legitimasi pengurus pusat. Di akar rumput, kekecewaan memuncak. Elit dituding gagal menjaga marwah Ka’bah.
Retakan di Tubuh DPP
Kekalahan membuat bara lama kembali menyala. Kepemimpinan Plt Ketua Umum Muhammad Mardiono dipersoalkan. Sejumlah kader menyebut arah partai kehilangan visi, terlalu pragmatis, dan gagal menjaga basis tradisional.
Bagi sebagian lainnya, Mardiono dianggap mampu menjaga PPP tetap eksis di tengah badai. Perpecahan inilah yang kemudian bermuara ke Muktamar X di Ancol forum tertinggi yang seharusnya jadi ruang rekonsiliasi, malah berubah jadi ajang adu kekuasaan.
Muktamar Ancol: Panas Membara
Tanggal itu tercatat sebagai hari penuh gejolak. Muktamar X PPP di Ancol diwarnai drama sejak sidang-sidang awal. Ketegangan kian meninggi saat pembahasan soal syarat calon ketua umum.
Kubu Mardiono melancarkan manuver. Dengan cepat, diumumkan bahwa ia terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP periode 2025–2030. Sorak kemenangan bergema dari sebagian peserta.
Namun, seketika muncul bantahan keras. Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Romahurmuziy alias Rommy, menuding klaim itu tidak sah. Ia menegaskan muktamar masih berlangsung dan belum ada pemungutan suara resmi. Nama Agus Suparmanto pun disodorkan sebagai figur alternatif.
Benturan tak terhindarkan. Adu mulut berubah jadi adu fisik. Saling dorong, saling tonjok, hingga interupsi beruntun membuat muktamar ini menjadi sorotan publik nasional. PPP kembali mempertontonkan perpecahan di panggung terbuka.
Duet Klaim: Mardiono vs Rommy
Hasil muktamar akhirnya melahirkan dualisme kepemimpinan.
Kubu Mardiono: mengklaim kemenangan aklamasi, mengantongi dukungan mayoritas DPW dan DPC.
Kubu Rommy & pendukung Agus Suparmanto: menyebut proses itu cacat aturan, bertentangan dengan AD/ART, dan tidak sah secara hukum partai.
Fenomena ini bukan baru. PPP pernah pecah pada era Suryadharma Ali vs Rommy, juga era Djan Faridz vs Rommy. Sejarah seakan berulang: partai Ka’bah kembali terjebak dalam pusaran perebutan kursi ketua umum.
Siapa yang Sah?
Pertanyaan besar muncul: siapa yang sah memimpin PPP?
Jawaban sesungguhnya bukan di arena muktamar, tapi di meja birokrasi. Menurut UU Partai Politik, kepengurusan baru sah ketika disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Dirjen AHU) melalui SK resmi. Hingga kini, SK itu belum keluar. Artinya, klaim Mardiono maupun penolakan Rommy masih sebatas narasi politik.
PPP kini berada dalam status abu-abu: partai besar dengan kepemimpinan yang belum final.
Partai Tua di Persimpangan
PPP menghadapi krisis eksistensial. Hilang dari Senayan membuat daya tawar politik melemah drastis. Basis tradisional Islam sudah direbut PKB, PKS, dan PAN. Anak muda Islam urban lebih banyak melirik partai baru.
Alih-alih melakukan konsolidasi untuk bangkit, PPP justru terjebak dalam pertarungan elit. Dualisme kepemimpinan makin menjauhkan partai ini dari harapan rakyat.
Seorang kader senior di Jawa Timur menyindir getir: “PPP sedang bertengkar memperebutkan mahkota kosong. Di luar sana, rakyat tak lagi menoleh.”
Jalan Sunyi PPP
Panasnya muktamar Ancol adalah cermin suram perjalanan PPP hari ini. Dari partai tua yang dulu jadi lokomotif politik Islam, kini terancam hanya jadi catatan sejarah.
“Di bawah terik Ancol, PPP mencari pemimpin. Tapi yang muncul hanyalah klaim dan dualisme. Partai ini kini berdiri di persimpangan: bangkit dari luka kekalahan, atau tenggelam selamanya dalam pertengkaran internal.”