“Kapal Majapahit yang Terombang-Ambing: Pusaran Proyek, Politik, dan Panggung Tipikor” ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

“Kapal Majapahit yang Terombang-Ambing: Pusaran Proyek, Politik, dan Panggung Tipikor”

-

Baca Juga








Hujan baru saja reda di Mojokerto. Aroma tanah basah menyeruak di antara jalan-jalan menuju lokasi Taman Bahari Majapahit (TBM)  proyek yang dulu digadang sebagai ikon wisata maritim kebanggaan kota kecil ini. Di tengah taman yang sepi, berdiri sebuah bangunan aneh: sebuah pujasera berbentuk kapal Majapahit, namun lambung dari Viber kini retak, catnya kusam, dan tak berpenghuni.


Ironis. Kapal yang dibangun dengan anggaran Rp 2,5 miliar dari APBD Kota Mojokerto ini justru kandas di tengah perkara hukum. Dari audit aparat penegak hukum, kerugian negara ditaksir mencapai Rp 1,9 miliar. Majelis hakim Tipikor Surabaya kini sedang mempertanyakan status asetnya: tanah tempat kapal itu berdiri ternyata masih masuk wilayah administratif Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas Surabaya. Artinya, bangunan megah itu berdiri di atas lahan yang bukan milik Pemerintah Kota Mojokerto.


Proyek ini digagas pada era kepemimpinan Wali Kota Ika Puspitasari dkk. dengan visi ambisius, menjadikan Mojokerto sebagai “Venice of Java”, kota wisata air yang berpadu dengan nilai sejarah Majapahit. Proposalnya terdengar indah di atas kertas: taman bahari, arena bermain, kuliner khas, dan kapal simbol kejayaan Majapahit.








Pujangga Joedha Hadi Soewignjo pun berkata:

“Yang indah di kata belum tentu indah di wujud; sebab cinta sejati tak butuh rencana, hanya kejujuran yang menghidupkan.”

Cita-cita itu pun kandas di tengah perjalanan. Di lapangan, kualitas pekerjaan tak seindah brosur. Beton dikerjakan tergesa, besi berkarat, drainase tak jelas. Anggaran berputar cepat, namun hasilnya menguap seperti kabut di atas kali Brantas.


Antara Panggung Politik dan Panggung Tipikor

Kini, ketika proyek itu menjadi perkara hukum di Pengadilan Tipikor Surabaya, publik mulai bertanya: siapa dalang di balik kapal yang karam ini?
Majelis hakim menyoal bukan hanya soal kualitas, tapi juga status aset. Jika tanahnya milik BBWS Brantas, maka bagaimana Pemkot bisa mengeluarkan izin dan mencairkan dana untuk pembangunan di atas lahan negara lain?


Pertanyaan itu seperti menampar logika birokrasi: siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
Kepala Dinas PUPR PERAKIM? PPTK? Konsultan pengawas? Atau mungkin kebijakan politis di balik meja rapat anggaran?

Seorang sumber di lingkaran Pemkot Mojokerto yang enggan disebut namanya mengatakan,

“Proyek ini dulunya bukan sekadar taman, bro. Ini proyek prestise. Simbol citra kekuasaan yang ingin dikenang. Tapi ketika rezim oligarki tetap berkuasa, kapal ini masih kehilangan pelabuhan.”

Warga sekitar TBM kini hanya bisa menyaksikan bangunan bangkai Kapal Viber itu membisu. Tidak ada geliat wisata, tidak ada kuliner, tidak ada ekonomi tumbuh. Yang ada hanyalah kapal Viber mati di tengah taman sunyi.

Sementara itu, di ruang sidang Tipikor, jaksa dan hakim berdebat tentang siapa yang harus menanggung kerugian. Negara kehilangan uang, tapi rakyat kehilangan ruang.

Dalam pandangan hukum tata pemerintahan, proyek semacam ini masuk wilayah pelanggaran administratif sekaligus pidana, karena pembangunan di atas tanah tanpa kejelasan status hak pakai negara bisa dikategorikan maladministrasi dan perbuatan melawan hukum.
Jika majelis hakim memutuskan tanah tersebut milik BBWS Brantas, maka aset itu tidak bisa dicatat sebagai milik daerah, dan seluruh pembiayaan otomatis menjadi pemborosan keuangan negara.

Di luar gedung pengadilan, seorang aktivis muda Mojokerto berkomentar dengan nada satir :

“Kapal Majapahit ini sebenarnya bukan tenggelam, tapi sedang mencari pelabuhan baru… mungkin di hatinya pejabat yang masih ingin berkuasa.”

Sementara seorang pegiat budaya menulis di media sosial:

“Majapahit itu dulu membangun kejayaan dengan rasa tanggung jawab, bukan tender kilat dan proposal manis.”









Tender Siluman di Balik Layar

Dari hasil penelusuran tim investigasi, proyek Kapal Majapahit ini masuk kategori tender cepat. Proses administrasi dipadatkan, revisi desain berubah hingga dua kali, dan panitia pengadaan nyaris tak punya waktu melakukan evaluasi menyeluruh.

Sumber internal di Dinas PU mengakui,


Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terungkap bahwa pembayaran dilakukan meski progres pekerjaan belum mencapai 100%. Pengawas proyek justru menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST) lebih awal, demi pencairan sebelum tutup tahun anggaran.

Sisa pekerjaan diserahkan ke subkontraktor dengan sistem “ganti rugi”  istilah halus untuk bagi hasil dalam proyek publik.


Di sinilah benang kusutnya:

Anggaran cair cepat, tapi volume pekerjaan tidak sesuai spesifikasi.

Tanah belum sah milik Pemkot, tapi sudah dibangun.

Pengawasan longgar, karena sebagian personel pengawas juga terlibat dalam tim perencana.


Dalam dunia hukum administrasi, ini disebut konflik kepentingan vertikal, dan dalam bahasa satir OVJ

“Saking cepatnya proyek ini, mungkin malaikat pencatat amal pun bingung mau menulis di kolom pahala atau dosa.”



Politik di Balik Panggung Kapal

Kapal Majapahit dibangun di penghujung masa jabatan wali kota Ika Puspitasari 2023. Di tengah suhu politik menjelang pilkada, proyek ini jadi “monumen pamit” pesan visual bahwa pemerintahan pertamanya  2018-2023 telah meninggalkan jejak monumental.


Sempat vakum 1 tahun 2024, Kota Mojokerto dijabat Penjabat Walikota. Kemudian Ika Puspitasari terpilih di Pilkada serentak 2024. Di awal masa Jabatan kali keduanya atau periode dua,  kapal itu kehilangan kendali dan berlabuh di meja hijau PN Tipikor Surabaya. 


Seseorang di lingkaran DPRD berbisik:

 “Ini bukan sekadar proyek gagal, tapi pertarungan gengsi antar kubu politik Kota Mojokerto.”


Kembali Pujangga Joedha Hadi Soewignjo berkata kata: 

 “Ketika cinta berubah jadi ambisi, laut pun enggan memantulkan cahaya bulan.”

Dan di Kota Mojokerto, cinta pada rakyat kadang tenggelam di antara proposal dan rapat paripurna.


Majelis hakim Tipikor kini berada di tengah badai: apakah memutus dengan hati, atau dengan pasal?

Jika dinyatakan bersalah, proyek itu akan dicatat sebagai kerugian permanen negara, dan bangunan di atas tanah BBWS Brantas bisa dikategorikan barang tidak sah. Tapi jika dibebaskan, publik akan bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang harus menanggung kesalahan sistemik ini?


Seorang pemerhati hukum publik berpendapat:

“Masalahnya bukan hanya pada pelaksana teknis, tapi pada akar budaya anggaran di birokrasi kita yang menjadikan proyek bukan alat pelayanan, tapi alat pencitraan.”


Malam usai hujan turun di langit Mojokerto. Di pinggiran Taman Bahari Majapahit, kapal Viber itu masih berdiri sunyi, seperti menunggu pengampunan. Lampu-lampu taman mati separuh, air sungai mulai merendam TBM, dan papan nama proyek sudah pudar dimakan waktu.


Pujangga Gunung Gedangan itu pun bilang:

“Kapal bukanlah tujuan, tapi perjalanan. Jika engkau menipu perjalananmu, laut akan menelannya.”






Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode