“Kopi Pahit Perbup 34/2025 Ketika Sepatu Lokal Melangkah di Tanah Panas Mojokerto”
-Baca Juga
Pacet malam ini bukan lagi sejuk, bro.
Suhu 36 derajat, tapi bukan karena El Niño melainkan El Bupatino,
fenomena panas birokrasi yang datang tiap lima tahun sekali
setelah Pilkada usai dan janji manis berubah jadi peraturan formal.
Di pojok warung kopi depan kantor kecamatan,
beberapa ASN Mojokerto lagi ngadem dengan kipas bambu dan ucapan lirih:
“Katanya sekarang sepatu wajib produk lokal, rek…”
“Lha iyo, tapi duit tetep impor, bro?”
Sepatu Lokal, Langkah Nasional
Perbup Nomor 34 Tahun 2025 resmi disahkan.
Isinya sederhana tapi maknanya dalem:
ASN diwajibkan memakai sepatu buatan Mojokerto sendiri “mengutamakan produk lokal,” katanya.
Di atas kertas, ini patriotik banget.
Di lapangan? Ya bisa jadi preketiuuu.
Karena di tengah harga beras naik, TPP molor, dan cuaca panas,
ASN harus beli sepatu baru yang katanya lokal tapi harga global.
Kalau tak pakai, dibilang tak cinta daerah.
Kalau pakai tapi lecet, dibilang kurang nasionalis.
Dilema kayak lomba voli Tarkam:
bola tanggung, maju kena, mundur malu.
Cuaca Ekonomi dan Iklim Politik
Kata BMKG, suhu tinggi bisa bikin pusing.
Kata rakyat, suhu politik bikin kepala ASN tambah cenat-cenut.
Setelah Pilkada, udara Mojokerto mendadak kental bukan kabut, tapi intrik.
Yang dulu disenyumin, sekarang disuruh minggir.
Yang kemarin melawan, mendadak promosi.
Mutasi jabatan jadi semacam olahraga ekstrem,
dan sepatu lokal itu, bisa jadi simbol:
siapa yang masih bisa “melangkah aman” dalam cuaca politik tak menentu.
“ASN itu kayak cuaca, rek,” kata salah satu pegawai senior,
“bisa cerah kalau bupatinya adem,
bisa seperti puting beliung kalau suasana batinnya kelam.”
Ekonomi Lokal atau Lokal yang Diekonomikan?
Tak bisa disangkal, niat Perbup ini mulia:
mengangkat UMKM sepatu, menghidupkan industri kulit Mojokerto,
biar pengrajin tak kalah sama pabrik luar.
Tapi dalam praktik, yang sering untung duluan bukan pengrajin,
melainkan “penyalur lokal” yang dekat dengan “jaringan istana kecil.”
Kebijakan ini seperti MC voli Tarkam yang teriak di pengeras suara:
“Ayo dukung produk lokal… tapi jangan lupa, sponsor tetap nomor satu!”
Rakyat tepuk tangan, ASN senyum tipis,
dan pengrajin lokal masih bingung:
“Sepatu lokalnya siapa dulu, bro?”
Filsafat Kopi Pahit dan Langkah Berat
Kopi di cangkir sudah dingin, tapi obrolan makin panas.
Seorang ASN muda berbisik,
“Saya bangga pakai sepatu lokal, tapi apakah langkah saya juga lokal?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi menusuk dalam.
Karena di negeri yang cuacanya ekstrem dan politiknya fluktuatif,
kadang kebijakan lebih cepat berubah daripada arah angin.
Adiguna Sutowo mungkin akan bilang,
“Kebijakan itu harus punya arah, bukan sekadar gaya.”
Dan Butet Kertaradjasa pasti nambahin,
“Kalau sudah salah gaya, rakyat yang kena gaya-gayaan.”
Pada akhirnya, Perbup ini bukan soal sepatu, tapi soal jejak.
Apakah langkah ASN Mojokerto akan makin kokoh,
atau malah terpeleset di jalan yang makin panas?
Kita doakan semoga sepatu lokal itu tak hanya tahan panas,
tapi juga tahan godaan politik lima tahunan.
Karena sepatu boleh lokal,
tapi moral birokrasi harus internasional.
Dan buat para ASN yang setia melayani di bawah langit Mojokerto,
jangan lupa kata MC voli Tarkam:
“Main cantik ae, rek. Bola panas jangan dipantulkan ke rakyat!”
Suhu 36 derajat masih terasa, tapi setidaknya kita tahu:
bukan cuma cuaca yang anomali
tapi juga kebijakan yang sering lupa,
bahwa rakyat dan ASN itu bukan perabot politik,
melainkan jantung dari pemerintahan itu sendiri.