6711 Pejuang Langkah & 500 Sepeda Juang Warnai MOJOSURO 2025 — Tapi Ada yang Ganjil Tahun Ini… ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

6711 Pejuang Langkah & 500 Sepeda Juang Warnai MOJOSURO 2025 — Tapi Ada yang Ganjil Tahun Ini…

-

Baca Juga



Peserta Gerak Jalan Perjuangan Mojokerto Suroboyo 55 Km, start Kota Mojokerto - finish Monumen Tugu Pahlawan Suroboyo, Sabtu 15 Nopember 2025.




MOJOKERTO – Hari ini tercatat sebagai salah satu momentum terbesar dalam sejarah penyelenggaraan Gerak Jalan Perjuangan Mojokerto–Surabaya (MOJOSURO).
Sebanyak 6711 peserta memadati Lapangan Raden Wijaya Surodinawan untuk menempuh rute 55 Km, sebuah angka yang mencerminkan betapa dalamnya cinta rakyat kepada perjuangan 10 November 1945.

Tak hanya itu, tahun ini MOJOSURO semakin hidup dengan hadirnya 500 peserta Sepeda Juang, yang menambah warna historis perjalanan panjang menuju Kota Pahlawan. Suara bel sepeda, bendera kecil yang berkibar, dan semangat peserta menyatu menjadi satu harmoni “napas arek-arek rekonstruksi perjuangan”.

Pelepasan peserta dilakukan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, Adhy Karyono, didampingi Wakil Wali Kota Mojokerto dan Wakil Bupati Mojokerto.

Namun…







Tahun ini ada yang ganjil.

Sebuah hal yang jarang — bahkan hampir tak pernah — terjadi.

Pelepasan peserta MOJOSURO 2025 tidak dihadiri oleh Gubernur Jawa Timur, Wakil Gubernur, serta kepala daerah Kota dan Kabupaten Mojokerto.

Padahal, dalam tradisi panjang MOJOSURO, sejak era Gubernur Pakde Karwo selalu hadir melepas secara langsung, mengirimkan pesan moral bahwa perjuangan adalah napas Jawa Timur.

Tahun ini, panggung utama itu terasa kosong secara simbolis.

Tidak ada sambutan gubernur.
Tidak ada pekik resmi dari pemimpin tertinggi provinsi.
Tidak ada kepala daerah setempat yang biasanya duduk di kursi depan.

Dan itu menjadi percakapan kecil di antara peserta, mulai dari veteran lari, kelompok sepeda, hingga anak muda yang baru pertama kali mengikuti event legendaris ini.

Ada apa?
Mengapa panggung simbolik itu kosong?
Mengapa tradisi ini terasa patah di tahun 2025?

Di tengah euforia 6711 langkah dan denting pedal 500 Sepeda Juang, pertanyaan itu mengambang seperti kabut tipis di pagi hari.

Namun satu hal yang tak pernah kosong adalah semangat rakyat.

Mereka tetap melangkah.
Tetap tertawa.
Tetap mengibarkan Merah Putih.
Karena bagi mereka, penghormatan tertinggi bukan berasal dari pejabat yang berdiri di panggung…
tetapi dari darah pahlawan yang tumpah di tanah Surabaya 1945.









**LANGKAH ANAK MUDA, JEJAK PAHLAWAN —


Barisan anak-anak muda itu melangkah tegap. Wajah mereka serius, fokus, tanpa banyak bicara. Seragam rapi, topi biru serasi, nomor dada terpasang mantap seolah-olah mereka sedang masuk ke halaman sejarah, bukan sekadar lomba.

Di belakang mereka, ribuan peserta lain menunggu giliran diberangkatkan. Sebanyak 6711 pejalan kaki dan 500 peserta Sepeda Juang memenuhi jalur start Gerak Jalan Perjuangan Mojokerto–Surabaya 2025.

Ini bukan lomba biasa.
Ini ritual sejarah.
Ini ziarah langkah menuju napas perjuangan 10 November 1945.








Semangat yang Tak Pernah Padam

Melihat para peserta muda dengan langkah tegap, tangan mengepal konsisten, irama barisan rapat membuat siapa pun tahu bahwa gen keberanian arek-arek 1945 itu belum punah.
Bahkan semakin hidup.

Mereka tidak membawa bambu runcing.
Mereka membawa semangat yang sama.

Dan di antara ribuan orang, ada yang datang karena ingin menghormati pahlawan, ada yang ingin menguji diri, dan ada yang sekadar ingin merasakan aura Surabaya 1945 dari Mojokerto.

Tapi hari ini, aura itu terasa sedikit berbeda.

Tahun ini, pelepasan peserta dilakukan oleh Sekda Provinsi Jawa Timur, Adhy Karyono, didampingi Wakil Wali Kota dan Wakil Bupati.

Namun ada satu catatan penting:
Gubernur, Wakil Gubernur, dan Kepala Daerah Kota serta Kabupaten Mojokerto  tidak hadir.

Padahal sejak dulu, dari gubernur ke gubernur, dari kepala daerah ke kepala daerah, Gerak Jalan Perjuangan MOJOSURO selalu dilepas langsung pemimpin daerah sebagai simbol penghormatan kepada pahlawan bangsa.

Tahun ini panggung terasa kosong secara simbolik.

Tidak ada suara pemimpin provinsi.
Tidak ada simbol kehormatan tertinggi.
Tidak ada tradisi yang biasanya menjadi ciri khas pembuka.

Ada apa?
Ini dipertanyakan tidak dengan amarah, tapi dengan heran dan rasa ingin tahu publik.
Karena sejarah bukan hanya tentang mengenang masa lalu… tapi bagaimana pemimpin hari ini menghargai warisan itu.


Kursi Kosong, Langkah Tetap Berjalan

Meski begitu, para peserta tidak peduli panggung VIP kosong atau penuh.
Yang penting langkah mereka tetap hidup.

Bahkan di antara peserta, ada yang nyeletuk:

“Sing penting derap kaki melangkah gak kosong, kursi panggung kosong emang gue pikirin, hahaha…”

GERAK JALAN PERJUANGAN MOJOSURO memang begitu:
jika pemimpin tidak hadir, rakyat tetap melangkah.
Jika kursi pejabat kosong, jalanan tetap penuh semangat.

Karena perjuangan tidak pernah bergantung pada kursi pencitraan…
tetapi pada orang-orang yang mau berjalan.

Dan hari ini, anak-anak muda seperti di foto itu telah membuktikan:
Indonesia masih punya generasi yang siap melanjutkan napas perjuangan.





Gilang Siswa SDN 3 Tawangsari Sepanjang Sidoarjo Kelas 6.











Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode