GEGER GEDEN MOJOKERTO “BOYO PUTIH MLEBU KAMPUNG: TANDA ALAM DI TENGAH SOROTAN KAPAL MAJAPAHIT” ~ Detak Inspiratif | Berita dan informasi terkini Indonesia
RUNNING STORY :
Loading...

GEGER GEDEN MOJOKERTO “BOYO PUTIH MLEBU KAMPUNG: TANDA ALAM DI TENGAH SOROTAN KAPAL MAJAPAHIT”

-

Baca Juga




**GEGER GEDEN BOYO PUTIH

Tanda Alam dari Brantas untuk Kota Mojokerto**


Mojokerto—Detak Inspiratif.
Hujan lebat yang mengguyur Kota Mojokerto kemarin sore tidak hanya membawa banjir kecil dan angin menggigil. Ia membawa tamu tak diundang yang membuat seluruh warga Cakar Ayam, Kelurahan Mentikan, Kecamatan Prajurit Kulon, sontak riuh: seekor buaya putih berukuran kecil tiba-tiba muncul di antara genangan.


Warga berhamburan keluar rumah. Ada yang mengucap astaghfirullah, ada yang spontan merekam, dan ada pula yang berdiri terpaku.
Di Mojokerto, boyo putih bukan sekadar satwa liar  ia adalah legenda, firasat, simbol yang hidup dalam ingatan kolektif warga sejak puluhan tahun.


Tim Damkar Kota Mojokerto bergerak cepat, mengamankan buaya tersebut ke kantor mereka, menunggu kedatangan petugas konservasi. Tapi bagi warga, bencana atau keselamatan bukan hanya soal teknis. Ini pertanda. Dan Mojokerto kembali geger.






Antara Fakta Sungai dan Cerita Mistis Mojokerto

Kota yang dialiri Sungai Brantas dan kali-kali cabang seperti Surodinawan memang punya sejarah panjang dengan buaya. Bagi generasi tua, kemunculan buaya apalagi yang berwarna putih adalah kabar besar yang jarang terjadi.


“Belum tentu satu abad muncul sekali, Le…” ujar seorang warga sepuh dengan nada setengah berbisik.


Pada era 1970–80-an, catatan kelam sungai masih membekas:
orang hilang, tenggelam, atau dimakan buaya bukan cerita langka. Tiap banjir, buaya-buaya sering muncul ke permukaan, menyapu rasa aman kampung-kampung di bantaran Brantas.


Waktu itu, di tengah rasa takut warga, ada satu nama yang menjadi cahaya:
Abah Yat — Almaghfirulloh KH. A. Yat Chalimi.


Abah Yat: Sang Penyelam Brantas, Waliyullah Mojokerto

Bagi warga Mojokerto, Abah Yat bukan sekadar kiai sakti.
Beliau adalah Waliyullah, pejuang Laskar Hizbullah, penjaga moral masyarakat Mojokerto, dan sosok yang kisahnya terus hidup hingga generasi TikTok.


Konon, ketika sungai menelan korban, Abah Yat-lah yang turun tangan. Beliau menyelam seperti buaya, masuk ke arus deras Brantas atau Surodinawan, dan selalu muncul dengan membawa korban tenggelam  hidup atau meninggal.


Warga percaya, buaya-buaya memberi jalan.
Bahasa alam, bahasa air, bahkan bahasa buaya, seakan difahami beliau.


Karena itulah, ketika kabar “boyo putih mlebu kampung” meledak kemarin, warga langsung menghubungkannya dengan legenda dan firasat.





Kota Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Kemunculan buaya putih bukan hanya heboh karena langka.
Ia muncul di momen ketika Mojokerto sedang berada di bawah sorotan nasional.


Kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) Proyek Kapal Majapahit tengah disidangkan di PN Tipikor Surabaya. Publik Mojokerto panas, awas, sinis, gelisah, dan penuh tanda tanya.


Di tengah tekanan besar itu, tiba-tiba seekor buaya putih masuk pemukiman.
Warga pun membaca alam sesuai tradisi lisan Mojokerto:


“Iki tandha tandha… bakal ono GEGER GEDEN nang Mojokerto…”


Bukan menakut-nakuti.
Inilah cara masyarakat Mojokerto menafsirkan kejadian, karena mereka hidup dalam irisan antara spiritualitas wali, sejarah Majapahit, dan realitas sosial yang bergejolak.


Geger Geden 2025

Peristiwa buaya putih itu memantik kembali memori lama, menyalakan kembali cerita-cerita yang hampir hilang, dan menghubungkan masa lalu Mojokerto dengan keresahan masa kini.


Bagi anak muda di warkop, ini jadi bahan cerita.
Bagi para sepuh, ini firasat.
Bagi kota, ini geger geden.


Satu hal yang pasti:
Buaya putih itu kecil, tapi gaungnya mengguncang Mojokerto.


Sungai punya bahasanya sendiri.
Dan mungkin, Mojokerto memang sedang diajak mendengarkan sesuatu.






Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
Hukum Kriminal
Olahraga

 
Atas
Night Mode